Kebahagiaan, Kebenaran, Pernikahan (2)
Harus diakui, sungguh menyenangkan jika kita berada pada titik yang diambil kaum atheis, yakni zona nyaman manusia. Kenapa zona nyaman? Karena kita secara sengaja membatasi kebenaran berdasarkan ‘keterbatasan’ manusia dalam meresepsi gejala alam.
‘Apa yang ada’ dan ‘apa yang tak ada’ kita batasi dalam satu mesin penyortir: panca indera atau alat reseptor BUATAN manusia yang bisa menangkap gelombang atau citra alam sekitar. Oh well.. jagad alam ini boleh diringkus dalam alat buatan manusia. Apa yang tak teringkus, maka dia tak ada. Itulah zona nyaman mereka..
Yang menyenangkan di sini adalah kita bisa membuat diri yakin dan percaya bahwa tidak ada setan, pengadilan akhirat, atau hal-hal lain yang tak tertangkap panca indera dan mengganggu kebebasan kita. Yang ada adalah kita, kesenangan dunia, keseharian, televisi, musik, well.. kesialan, bencana alam, dll. Kita tak perlu dipusingkan lagi untuk mengindahkan “yang lain” tersebut.
Di titik tolak kaum agamawan, di mana kebenaran yang mereka pegang bisa dengan mudah diganggu oleh metode pembuktian fakta keras ala kaum modern, mereka berpegang pada runutan sejarah dan teks kitab suci yang diyakini dari Tuhan.
Sama seperti teks lain, sisi “kelemahan” kitab suci di sini justru bisa menjadi penyelamatnya sendiri. “kelemahan” apa? Sifat multitafsir. Dalam Islam, misalnya, teks kitab suci terbagi menjadi dua ayat, yakni ayat muhkamat (yang maknanya jelas) dan ayat yang mutasyabihat (yang maknanya tersamar di balik tirai “gaib” alias hanya Tuhan yang tahu makna absolutnya).
Sifat multitafsir (bahkan dalam ayat muhkamat) inilah yang bermuara pada berbagai penafsiran, yang juga dimaklumi Nabi semasa hidup, ketika ada dua orang bertengkar soal pengucapan ayat yang berbeda dialek (yang bisa berbeda makna), tapi keduanya dibenarkan oleh Rasulullah karena kebetulan memang tidak prinsipil.
Di luar akidah (sebagai dogma yang pondasinya telah terbangun kuat lewat berbagai peristiwa sejarah), kaum agamawan sejati tidak akan memberikan jawaban pasti atas tuntunan beragama, karena kebenaran itu sendiri ada di tangan Allah.
Dalam Islam, mereka hanya menunjukkan ikhtiar berupa ijtihad dan tafsir atas persoalan ibadah (fiqih) dan keseharian (muamalah), untuk membantu kita mendekati kebenaran-Nya. Mereka akan menutup fatwa atau opininya dengan: wallahu a’lam.. yang berarti masih terbuka koreksi, karena yang tahu hanyalah Allah.
Ya, mereka hanya bisa membantu mendekati kebenaran Allah. Sebaliknya, mereka yang berusaha meringkus dan merasa sudah berada di titik absolut kebenaran agama, akan menjelma menjadi “setan” yang menyebar kerusakan di muka bumi, sebuah hasil kontraproduktif dari prinsip ajaran agama: bahagia (Hindu), damai (Budha), rahmat (Islam), kasih (Kristen), harmoni (Tao), dll.
Tidak heran kita melihat kaum wahabbi takfiri ekstrim dalam Islam yang berujung pada pengeboman pasar, masjid, hanya karena MERASA sudah berada di titik absolut kebenaran Islam. Mereka merebut otoritas Allah hingga kehilangan esensi agama sebagai tuntunan bagi mahluk, bukannya tuntunan untuk menjadi tuhan baru (fir'aun).
Menurut saya, agama dalam satu hal memberikan kita kebenaran yang bisa ditelusuri laiknya sains (studi historis dan teks), di sisi lain memposisikan kita sebagai seorang penikmat seni yang tengah membaca karya yang multi tafsir.
Ada jalinan antara kebenaran mutlak, dan kebenaran relatif. Antara fundamentalis dalam mempertahankan dogma di satu sisi, dan sikap rendah hati menjalankan “proses ilmiah” dalam tuntunan agama. Mereka yang menafikan salah satunya, akan merusak agama itu sendiri: baik kaum liberal, maupun kaum radikal.
Namun, ada titik lain di antara dua titik tersebut yang menurut saya paling berat. Yakni, tatkala kita terposisikan hanya menelan sesuatu sebagai kebenaran, atau dikondisikan untuk menelannya. Meski, tidak ada landasan apapun (atau dalam istilah modern; tidak ada basis fakta valid) untuk membuat kita mempercayainya layaknya kaum ilmiah, atau membuktikannya dalam runutan pembuktian kaum agamawan.
Misalnya: keperawanan. Seorang kawan berkisah bagaimana dia terposisikan sebagai orang yang percaya bahwa istrinya seorang perawan meski tak ada fakta keras (seperti darah di malam pertama), atau runutan yang membuktikan bahwa dia benar-benar clear dari persetubuhan bebas sebelumnya.
Apalagi, diari sang pacar menunjukkan bahwa sang pacar mengaku “melakukannya dua kali” dalam sebuah kesempatan bersama pria lain yang kita kenal sebagai mantan pacar. Pada akhirnya, pilihan yang diambil kawan saya tersebut adalah mempercayai, dan menganggapnya tidak menjadi prinsip yang bersifat dogmatis.
Selanjutnya, sekian tahun setelah menikah, dia menemukan dirinya mengidap infeksi kelamin, setelah bersetubuh dengan istrinya yang baru pulang dari tugas ke luar negeri beberapa minggu. Dia 100% setia dan tidak ke mana-mana menaruh burungnya. Sementara, sang istri kadang bekerja ke luar kota dengan kolega-koleganya, dan seringkali pulang malam, terkadang pagi. Tuntutan pekerjaan.
Apa pilihan yang dia ambil? Dia memilih percaya bahwa infeksi itu karena sang istri terlalu sibuk bekerja sehingga tidak menjaga higienitas vagina. Kalau ini kemungkinannya 50:50 karena memang dalam dunia medis bisa saja kelamin terinfeksi akibat faktor tidak higienis, dan bukannya akibat gonta-ganti pasangan.
Terakhir, dalam sebuah persetubuhan, dia menemukan gurat merah di tengkuk istrinya, mirip cupang. Padahal, dia tak pernah mencupang istrinya. Berdasarkan obrolan pancingan, sang istri mengaku tidak sedang gatal di tengkuk, dan tidak ada pukulan di bagian tersebut. Namun, demi mengetahui sang suami menemukan ada “cupang” di bagian itu, dia tak bisa menjelaskan kenapa.
Fakta ilmiah ala kaum atheis membuktikan tak ada penjelasan logis dari “cupang” yang datang tiba-tiba selaiknya “mukjizat” itu. Intinya, tak ada penjelasan yang masuk akal, it’s just there. Maka, runutan pembuktian ala kaum agamawan dipake: metode sumpah.
Dan apa yang dia pilih? Dia memilih percaya. Bukan karena pertaruhan di balik sumpahnya mengukuhkan argumen sang istri, tapi karena dia memilih demikian. Yang tersisa adalah kepercayaan absurd, yang diyakini atas dasar mimpi; bahwa akan ada kehidupan lebih baik dengan seorang kawan yang sekarang menemani.
Dari situlah saya menemukan, bahwa di titik inilah Socrates salah. Sekalipun kawan saya bertutur panjang-lebar soal pasangannya, laiknya filsuf, tapi saya lihat dia bahagia dan mensyukuri kehidupan secara holistik yang melingkupinnya; istri cantik, angin sepoi-sepoi, dan anak-anaknya.
Konstanta terakhir inilah yang tidak ada dalam sikap atheis, tapi seharusnya dimiliki oleh mereka yang merasa beragama.***
‘Apa yang ada’ dan ‘apa yang tak ada’ kita batasi dalam satu mesin penyortir: panca indera atau alat reseptor BUATAN manusia yang bisa menangkap gelombang atau citra alam sekitar. Oh well.. jagad alam ini boleh diringkus dalam alat buatan manusia. Apa yang tak teringkus, maka dia tak ada. Itulah zona nyaman mereka..
Yang menyenangkan di sini adalah kita bisa membuat diri yakin dan percaya bahwa tidak ada setan, pengadilan akhirat, atau hal-hal lain yang tak tertangkap panca indera dan mengganggu kebebasan kita. Yang ada adalah kita, kesenangan dunia, keseharian, televisi, musik, well.. kesialan, bencana alam, dll. Kita tak perlu dipusingkan lagi untuk mengindahkan “yang lain” tersebut.
Di titik tolak kaum agamawan, di mana kebenaran yang mereka pegang bisa dengan mudah diganggu oleh metode pembuktian fakta keras ala kaum modern, mereka berpegang pada runutan sejarah dan teks kitab suci yang diyakini dari Tuhan.
Sama seperti teks lain, sisi “kelemahan” kitab suci di sini justru bisa menjadi penyelamatnya sendiri. “kelemahan” apa? Sifat multitafsir. Dalam Islam, misalnya, teks kitab suci terbagi menjadi dua ayat, yakni ayat muhkamat (yang maknanya jelas) dan ayat yang mutasyabihat (yang maknanya tersamar di balik tirai “gaib” alias hanya Tuhan yang tahu makna absolutnya).
Sifat multitafsir (bahkan dalam ayat muhkamat) inilah yang bermuara pada berbagai penafsiran, yang juga dimaklumi Nabi semasa hidup, ketika ada dua orang bertengkar soal pengucapan ayat yang berbeda dialek (yang bisa berbeda makna), tapi keduanya dibenarkan oleh Rasulullah karena kebetulan memang tidak prinsipil.
Di luar akidah (sebagai dogma yang pondasinya telah terbangun kuat lewat berbagai peristiwa sejarah), kaum agamawan sejati tidak akan memberikan jawaban pasti atas tuntunan beragama, karena kebenaran itu sendiri ada di tangan Allah.
Dalam Islam, mereka hanya menunjukkan ikhtiar berupa ijtihad dan tafsir atas persoalan ibadah (fiqih) dan keseharian (muamalah), untuk membantu kita mendekati kebenaran-Nya. Mereka akan menutup fatwa atau opininya dengan: wallahu a’lam.. yang berarti masih terbuka koreksi, karena yang tahu hanyalah Allah.
Ya, mereka hanya bisa membantu mendekati kebenaran Allah. Sebaliknya, mereka yang berusaha meringkus dan merasa sudah berada di titik absolut kebenaran agama, akan menjelma menjadi “setan” yang menyebar kerusakan di muka bumi, sebuah hasil kontraproduktif dari prinsip ajaran agama: bahagia (Hindu), damai (Budha), rahmat (Islam), kasih (Kristen), harmoni (Tao), dll.
Tidak heran kita melihat kaum wahabbi takfiri ekstrim dalam Islam yang berujung pada pengeboman pasar, masjid, hanya karena MERASA sudah berada di titik absolut kebenaran Islam. Mereka merebut otoritas Allah hingga kehilangan esensi agama sebagai tuntunan bagi mahluk, bukannya tuntunan untuk menjadi tuhan baru (fir'aun).
Menurut saya, agama dalam satu hal memberikan kita kebenaran yang bisa ditelusuri laiknya sains (studi historis dan teks), di sisi lain memposisikan kita sebagai seorang penikmat seni yang tengah membaca karya yang multi tafsir.
Ada jalinan antara kebenaran mutlak, dan kebenaran relatif. Antara fundamentalis dalam mempertahankan dogma di satu sisi, dan sikap rendah hati menjalankan “proses ilmiah” dalam tuntunan agama. Mereka yang menafikan salah satunya, akan merusak agama itu sendiri: baik kaum liberal, maupun kaum radikal.
Namun, ada titik lain di antara dua titik tersebut yang menurut saya paling berat. Yakni, tatkala kita terposisikan hanya menelan sesuatu sebagai kebenaran, atau dikondisikan untuk menelannya. Meski, tidak ada landasan apapun (atau dalam istilah modern; tidak ada basis fakta valid) untuk membuat kita mempercayainya layaknya kaum ilmiah, atau membuktikannya dalam runutan pembuktian kaum agamawan.
Misalnya: keperawanan. Seorang kawan berkisah bagaimana dia terposisikan sebagai orang yang percaya bahwa istrinya seorang perawan meski tak ada fakta keras (seperti darah di malam pertama), atau runutan yang membuktikan bahwa dia benar-benar clear dari persetubuhan bebas sebelumnya.
Apalagi, diari sang pacar menunjukkan bahwa sang pacar mengaku “melakukannya dua kali” dalam sebuah kesempatan bersama pria lain yang kita kenal sebagai mantan pacar. Pada akhirnya, pilihan yang diambil kawan saya tersebut adalah mempercayai, dan menganggapnya tidak menjadi prinsip yang bersifat dogmatis.
Selanjutnya, sekian tahun setelah menikah, dia menemukan dirinya mengidap infeksi kelamin, setelah bersetubuh dengan istrinya yang baru pulang dari tugas ke luar negeri beberapa minggu. Dia 100% setia dan tidak ke mana-mana menaruh burungnya. Sementara, sang istri kadang bekerja ke luar kota dengan kolega-koleganya, dan seringkali pulang malam, terkadang pagi. Tuntutan pekerjaan.
Apa pilihan yang dia ambil? Dia memilih percaya bahwa infeksi itu karena sang istri terlalu sibuk bekerja sehingga tidak menjaga higienitas vagina. Kalau ini kemungkinannya 50:50 karena memang dalam dunia medis bisa saja kelamin terinfeksi akibat faktor tidak higienis, dan bukannya akibat gonta-ganti pasangan.
Terakhir, dalam sebuah persetubuhan, dia menemukan gurat merah di tengkuk istrinya, mirip cupang. Padahal, dia tak pernah mencupang istrinya. Berdasarkan obrolan pancingan, sang istri mengaku tidak sedang gatal di tengkuk, dan tidak ada pukulan di bagian tersebut. Namun, demi mengetahui sang suami menemukan ada “cupang” di bagian itu, dia tak bisa menjelaskan kenapa.
Fakta ilmiah ala kaum atheis membuktikan tak ada penjelasan logis dari “cupang” yang datang tiba-tiba selaiknya “mukjizat” itu. Intinya, tak ada penjelasan yang masuk akal, it’s just there. Maka, runutan pembuktian ala kaum agamawan dipake: metode sumpah.
Dan apa yang dia pilih? Dia memilih percaya. Bukan karena pertaruhan di balik sumpahnya mengukuhkan argumen sang istri, tapi karena dia memilih demikian. Yang tersisa adalah kepercayaan absurd, yang diyakini atas dasar mimpi; bahwa akan ada kehidupan lebih baik dengan seorang kawan yang sekarang menemani.
Dari situlah saya menemukan, bahwa di titik inilah Socrates salah. Sekalipun kawan saya bertutur panjang-lebar soal pasangannya, laiknya filsuf, tapi saya lihat dia bahagia dan mensyukuri kehidupan secara holistik yang melingkupinnya; istri cantik, angin sepoi-sepoi, dan anak-anaknya.
Konstanta terakhir inilah yang tidak ada dalam sikap atheis, tapi seharusnya dimiliki oleh mereka yang merasa beragama.***
0 pendapat:
Post a Comment