Saturday, April 13, 2013

Kebahagiaan, Kebenaran, Pernikahan (1)

"Menikahlah. Jika anda mendapatkan istri yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika Anda mendapatkan yang buruk, Anda akan menjadi seorang filsuf." (Socrates)

Benarkah adagium tersebut? Sulit untuk membuktikan jika pernikahan yang tidak bahagia akan membuat kita jadi filsuf. Kecuali, ada lembaga sebesar Nielsen yang bersedia melakukan studi tak berguna (secara komersial) untuk membuktikan salah tidaknya pandangan tersebut secara induktif.

Benar-salah.

Bagi kaum skeptis, dan dalam tataran ekstrimnya; kaum ateis, kebenaran, tidak muncul dari ruang hampa. Dia harus bisa dibuktikan, dan diuji hingga tak lekang oleh falsifikasi-falsifikasi dan perangkat ilmiah yang dilancarkan terhadapnya.

Mereka akan menerima keberadaan Tuhan, jika mereka bisa melihatnya, atau MINIMAL merekam imajinya dalam alat yang bisa mengukur keberadaan angin dan molekul. Atau,.. dengan menggunakan logika untuk mengukur layak-tidaknya keberadaan Tuhan.

Misal: “bagaimana ada Tuhan Yang Maha Kuasa jika ketidakadilan masih bertebaran di muka bumi ini?” “Jika Tuhan ada, mintalah kamu jadi kaya, dan lihat apakah Tuhan bisa mewujudkannya.” Atau “Jika Tuhan ada, biarlah dia bikin saya yang atheis ini, mati sekarang juga!”

Sebagai bagian dari manusia yang memercayai Tuhan, tentu saya bisa menjawab protes mereka. Keberadaan Tuhan tidak merupakan prasyarat dari keadilan di muka bumi, karena memang Dia menciptakan kehidupan di dunia ini sebagai ujian manusia. 

Kecuali, mereka bisa menunjukkan ayat di kitab suci yang menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini sebagai tempat yang penuh keadilan.

Soal tantangan mereka, jawabannya simpel. Kehendak Tuhan lebih tinggi dari kehendak manusia, apalagi atheis. :D Ini menjelaskan kenapa ateis, yang teriak-teriak menantang Tuhan agar membunuhnya,  belum tentu mampus saat itu juga. Kenapa? Karena kehendak-Nya tidak bergantung pada mahluk-Nya.

Namun, jika mereka meminta BUKTI MATERIAL atau fakta keras keberadaan Tuhan. Saya tidak akan bisa menyodorkannya. Sama seperti mereka tidak mungkin bisa memberikan BUKTI MATERIAL atau fakta keras tentang Gamma Ray Busters (GRBS) atau ledakan sinar gamma.

Secara struktural, pembuktian Tuhan dan GRBS itu sama. Kita hanya bisa menangkap imaji tentang keberadaan GRBS dari alat. Kita tak melihatnya langsung, melainkan dari penangkap pesan, yakni alat itu sendiri.

Lalu, bagaimana GRBS bisa dipercaya ada, ketika imaji yang ditangkap itu berjalan jutaan tahun cahaya. Artinya, materi asli GRBS sudah hilang jutaan tahun lalu tepat ketika citra GRBS itu tertangkap di alat ukur kita (observer), atau katakanlah di lensa teropong kita?

Sama seperti Tuhan. Citra Tuhan ditangkap oleh alat, yakni nabi, yang hidup ratusan tahun lalu. Jika kepercayaan mereka atas GRBS berbasis pada teropong tersebut, maka kepercayaan kaum agamawan juga berbasis pada para nabi.

Layakkah dipercaya para nabi saat itu? Khalayak saat itu melakukan pengujian mereka sendiri, dan muncullah mukjizat.  Apakah saya percaya itu? Ya, percaya. Sama seperti mereka percaya bahwa Galileo pernah meneropong Saturnus. Keduanya berasal dari kisah masa lampau, yang tercatat dalam sejarah.

Mereka mungkin akan membantah: oh, teropong jelas beda dengan manusia. Kita bisa menengok teropong itu sekarang, sementara kita tak bisa menguji langsung para nabi di masa lampau. 

Jika demikian kasusnya, maka mereka menafikan adanya kebenaran sejarah.

Terakhir, jurus pamungkas mereka mungkin ini: teropong atau alat ukur itu bisa dipercaya, karena tak bisa berbohong, sementara manusia (para nabi) bisa saja berbohong. Jika demikian kasusnya, maka jawabannya ada 2.

Pertama, para nabi dicatat karena rekam jejak mereka yang diakui masyarakat sebagai sosok yang jujur (sidiq). Ini alasan ideologis yang membuat nabi layak untuk dipercaya seperti alat tersebut. Kedua, alat pun tidak sempurna. Apakah dia bsia menangkap ether? Tidak. Bagaimana jika ada deviasi yang tidak terjangkau oleh alat yang terbatas itu, tapi memengaruhi resepsinya?

Argumen kedua terdengar seperti retorika, karena menyangsikan kepastian sebuah alat dengan pertanyaan-pertanyaan, dan bukannya bukti bahwa alat tersebut flaw.

Baiklah.. but with my humble opinion, bukankah itu yang dilakukan kaum atheis? Mereka menyangsikan keberadaan Tuhan dengan mempertanyakan, dan bukannya menyodorkan bukti bahwa alat ukurnya menyimpan flaw?

Menurut saya, baik atheis maupun agamawan berada pada titik ekstrim yang sederajat, meski berada di kutub yang berbeda. Dan keduanya, bisa sama-sama menjalankan institusi pernikahan. Jika tidak bahagia, mengutip Socrates (yang juga bisa keliru), keduanya sama-sama bisa menjadi filsuf.

Subscribe to: Post Comments (Atom)