Kebahagiaan, Kebenaran, Pernikahan (1)
"Menikahlah. Jika anda mendapatkan istri yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika Anda mendapatkan yang buruk, Anda akan menjadi seorang filsuf." (Socrates)
Benarkah adagium tersebut? Sulit untuk membuktikan jika pernikahan yang tidak bahagia akan membuat kita jadi filsuf. Kecuali, ada lembaga sebesar Nielsen yang bersedia melakukan studi tak berguna (secara komersial) untuk membuktikan salah tidaknya pandangan tersebut secara induktif.
Benar-salah.
Bagi kaum
skeptis, dan dalam tataran ekstrimnya; kaum ateis, kebenaran, tidak muncul dari
ruang hampa. Dia harus bisa dibuktikan, dan diuji hingga tak lekang oleh
falsifikasi-falsifikasi dan perangkat ilmiah yang dilancarkan terhadapnya.
Mereka akan
menerima keberadaan Tuhan, jika mereka bisa melihatnya, atau MINIMAL merekam imajinya
dalam alat yang bisa mengukur keberadaan angin dan molekul. Atau,.. dengan
menggunakan logika untuk mengukur layak-tidaknya keberadaan Tuhan.
Misal: “bagaimana
ada Tuhan Yang Maha Kuasa jika ketidakadilan masih bertebaran di muka bumi ini?”
“Jika Tuhan ada, mintalah kamu jadi kaya, dan lihat apakah Tuhan bisa
mewujudkannya.” Atau “Jika Tuhan ada, biarlah dia bikin saya yang atheis ini, mati
sekarang juga!”
Sebagai bagian
dari manusia yang memercayai Tuhan, tentu saya bisa menjawab protes mereka.
Keberadaan Tuhan tidak merupakan prasyarat dari keadilan di muka bumi, karena memang
Dia menciptakan kehidupan di dunia ini sebagai ujian manusia.
Kecuali, mereka bisa menunjukkan ayat di kitab suci yang menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini sebagai tempat yang penuh keadilan.
Kecuali, mereka bisa menunjukkan ayat di kitab suci yang menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini sebagai tempat yang penuh keadilan.
Soal tantangan
mereka, jawabannya simpel. Kehendak Tuhan lebih tinggi dari kehendak manusia,
apalagi atheis. :D Ini menjelaskan kenapa ateis, yang teriak-teriak menantang Tuhan
agar membunuhnya, belum tentu mampus
saat itu juga. Kenapa? Karena kehendak-Nya tidak bergantung pada mahluk-Nya.
Namun, jika
mereka meminta BUKTI MATERIAL atau fakta keras keberadaan Tuhan. Saya tidak akan
bisa menyodorkannya. Sama seperti mereka tidak mungkin bisa memberikan BUKTI
MATERIAL atau fakta keras tentang Gamma Ray Busters (GRBS) atau ledakan sinar
gamma.
Secara struktural,
pembuktian Tuhan dan GRBS itu sama. Kita hanya bisa menangkap imaji tentang
keberadaan GRBS dari alat. Kita tak melihatnya langsung, melainkan dari
penangkap pesan, yakni alat itu sendiri.
Lalu,
bagaimana GRBS bisa dipercaya ada, ketika imaji yang ditangkap itu berjalan
jutaan tahun cahaya. Artinya, materi asli GRBS sudah hilang jutaan tahun lalu
tepat ketika citra GRBS itu tertangkap di alat ukur kita (observer), atau
katakanlah di lensa teropong kita?
Sama
seperti Tuhan. Citra Tuhan ditangkap oleh alat, yakni nabi, yang hidup ratusan
tahun lalu. Jika kepercayaan mereka atas GRBS berbasis pada teropong tersebut, maka
kepercayaan kaum agamawan juga berbasis pada para nabi.
Layakkah dipercaya
para nabi saat itu? Khalayak saat itu melakukan pengujian mereka sendiri, dan muncullah
mukjizat. Apakah saya percaya itu? Ya, percaya.
Sama seperti mereka percaya bahwa Galileo pernah meneropong Saturnus. Keduanya
berasal dari kisah masa lampau, yang tercatat dalam sejarah.
Mereka mungkin
akan membantah: oh, teropong jelas beda dengan manusia. Kita bisa menengok teropong
itu sekarang, sementara kita tak bisa menguji langsung para nabi di masa
lampau.
Jika demikian kasusnya, maka mereka menafikan adanya kebenaran sejarah.
Terakhir,
jurus pamungkas mereka mungkin ini: teropong atau alat ukur itu bisa dipercaya,
karena tak bisa berbohong, sementara manusia (para nabi) bisa saja berbohong. Jika
demikian kasusnya, maka jawabannya ada 2.
Pertama, para nabi dicatat karena rekam jejak
mereka yang diakui masyarakat sebagai sosok yang jujur (sidiq). Ini alasan ideologis yang membuat nabi layak untuk dipercaya
seperti alat tersebut. Kedua, alat
pun tidak sempurna. Apakah dia bsia menangkap ether? Tidak. Bagaimana jika ada
deviasi yang tidak terjangkau oleh alat yang terbatas itu, tapi memengaruhi
resepsinya?
Argumen kedua
terdengar seperti retorika, karena menyangsikan kepastian sebuah alat dengan
pertanyaan-pertanyaan, dan bukannya bukti bahwa alat tersebut flaw.
Baiklah.. but with my humble opinion, bukankah itu
yang dilakukan kaum atheis? Mereka menyangsikan keberadaan Tuhan dengan
mempertanyakan, dan bukannya menyodorkan bukti bahwa alat ukurnya menyimpan flaw?
Menurut saya, baik atheis maupun agamawan berada pada titik ekstrim yang sederajat, meski berada di
kutub yang berbeda. Dan keduanya, bisa sama-sama menjalankan institusi
pernikahan. Jika tidak bahagia, mengutip Socrates (yang juga bisa keliru), keduanya sama-sama bisa
menjadi filsuf.
0 pendapat:
Post a Comment