Warisan yang Hilang
Saya dulu menyimpan dua benda "warisan" ibu, yakni sebuah telepon genggam motorolla warna biru sian, dan sebutir kecik sawo manilo. Hape itu hilang bersama satpam kantor saya, yang dulu adalah teman dan menjadi "ojek" pribadi selama liputan dan kegiatan jurnalistik (sampai ke Sukabumi).
Sementara, sawo itu hilang bersama gantungan kunci saya ketika saya mengalami kecelakaan dan kunci motor dititipkan ke bengkel karena motor sedang diperbaiki.
Dari kedua benda itu, sawo lah yang lebih bernilai bagi saya, karena memiliki pesan yang kuat. Saya menemukan sawo itu dalam tas Ibu sewaktu di rumah sakit, tas sama yang dipegangnya ketika terjatuh mengalami pendarahan di trotoar.
“Niki napa, Bu?” tanya saya.
“Apa? Ooo.. kuwi kecik seka wit sawo ning Kantor Pos. Pas metu seko kantor Pos, Bu’e nemu sawo mateng tiba. Terus Bu’e jupuk, tapi durung kober dimaem, wis bosok. Yo takguwak, tapi wijine keri ning tas,” tuturnya ketika terbaring di ranjang rumah sakit.
Saat itu saya baru tiba dari Jakarta dan beliau masih tersenyum.
Satu hal yang saya ingat, ketika ibu bilang “Bu’e ikhlasna yo, Le..” saya menjawab lirih, “Lha mangkih (nanti--red) nek kula wisuda sing teko sinten? Pas kulo nikah sing teko sinten? Mosok emak (panggilan saya untuk ibu kedua--red)?”
Ibu menerawang. Dia terdiam, terlihat sedih. Saya tak kuasa memandangnya. Tapi setelah itu Beliau berusaha makan banyak, berusaha minum jus jambu agar kadar HB-nya naik dan segera dapat diterapi sinar X (sehingga bisa menunda kematian demi membahagiakan kami, anak-anaknya).
Saat itulah saya menyadari betapa dia menyayangi kami, anak-anaknya. Beliau tahu ajalnya telah mendekat, tapi berusaha tetap bertahan hidup demi kami. Allah, dengan sifat Kuasa dan Kehendak-Nya menghentikan usaha ibu. Setelah makan dan minum jus jambu banyak, dalam sekian jam, wajahnya kembali pucat karena darahnya terkuras, pendarahan lagi.
Lama-kelamaan, kondisi itu berulang dengan tempo lebih cepat, tak lagi dalam hitungan jam, tapi memendek menjadi perempat jam, lalu memendek lagi menjadi beberapa menit, hingga kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir. Meski demikian, Allah memberi kami kesempatan untuk berkumpul menghantarkan Beliau menuju keabadian.
Sekian jam setelah ibu wafat, saya dan mbak-mbak saya membereskan perlengkapan ibu di rumah sakit. Saya teringat biji sawo itu, mencarinya, menceritakannya pada adik. Adik memandangi lama saat saya memutuskan menyimpan biji itu.
Almarhum Ibu memang sangat suka sawo. Tapi saya tak pernah menyangka beliau akan memungut sawo yang jatuh di depan Kantor Pos (atau kantor Taspen, saya lupa). Mendengar itu, saya sedih dan terharu, melihat sisi kepolosan ibu. Beliau bagaikan anak-anak, yang girang menemukan sawo matang, dan beliau ambil untuk dimakan.
Inilah kenangan pribadi ibu yang berharga, menunjukkan kepolosan, kesederhanaan, sisi lain dari ibu yang tersembunyi dari ketabahan dan kekuatan yang selama ini beliau tunjukkan kepada kami. Setiap saya memandang putri saya, Namu, saya teringat kepolosan ibu.
"Duhai,… ibu. Jangankan menghadiri wisuda putramu. Untuk makan sawo jatuh saja Allah tak mengizinkanmu. Dia ingin segera memelukmu lagi."
0 pendapat:
Post a Comment