Monday, December 03, 2012

Menakar Prospek Gencatan Senjata Israel-Palestina


Israel dan Hamas telah mencapai kesepakatan gencatan senjata yang diumumkan dalam konferensi pers di Kairo, Mesir dihadiri Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dan Menteri Luar Negeri Mesir Mohamed Kamel Amr pada Kamis (22/11) pukul 02.00 dini hari.

Menteri Luar Negeri Mesir Mohamed Kamel Amr pada Rabu malam menyatakan telah dicapai gencatan senjata di Jalur Gaza mulai pukul 21.00 waktu Kairo, atau Kamis dini hari pukul 02.00 WIB.

Meshaal berterima kasih kepada Mesir atas perannya, dan kepada Iran atas bantuan dan dukungan terhadpa gerakan perjuangan Palestina di Gaza.

Sesuai kesepakatan gencatan senjata tersebut, Israel harus "menghentikan semua kekejaman di darat, laut dan udara termasuk serbuan dan menargetkan individu-individu".

Dalam perjanjian itu juga disebutkan, Israel akan mengizinkan masuknya barang-barang ke Gaza, yang telah diblokade Israel sejak 2007. Dengan kesepakatan itu, berarti semua perlintasan ke Gaza akan dibuka.
Di sisi lain, faksi-faksi Palestina juga harus menghentikan "serangan-serangan roket dan semua serangan di sepanjang perbatasan".

Menlu Amr mengumumkan gencatan senjata itu dalam konferensi pers bersama Menlu AS Hillary Clinton, setelah bertemu dengan Presiden Mesir Mohamed Moursi. Gencatan senjata dicapai setelah delapan hari pertempuran antara Israel dan pejuang Hamas yang menguasai Jalur Gaza.

Agresi militer Israel ke Jalur Gaza yang berlangsung sejak Rabu pekan lalu menewaskan lebih dari 130 warga Palestina dan tiga warga Yahudi.

Menlu Hillary tiba di Kairo pada Rabu dari Ramallah, Tepi Barat, setelah bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, menyusul pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Tel Aviv.

Menyusul kesepakatan gencatan senjata dalam konflik Gaza pada Kamis (22/11) dini hari, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendapat pujian dari Presiden AS Barack Obama. Hal ini disampaikan oleh juru bicara Gedung Putih.

Pernyataan Gedung Putih tersebut mengatakan Obama telah berbicara dengan Netanyahu melalui telepon dan meyakinkan dirinya bahwa tidak ada negara yang diperkirakan menoleransi serangan roket terhadap penduduk sipil.

Obama menyambut baik kemauan Netanyahu untuk bekerja sama dengan upaya Mesir guna mengatur gencatan senjata dalam konflik di mana Hamas menembakkan roket ke Israel dan jet, kapal serta artileri Israel menghantam sasaran di Gaza.

Dia juga mengatakan Amerika Serikat akan menggunakan kesempatan yang ditawarkan sebuah gencatan senjata dengan mengintensifkan upaya membantu Israel mengatasi kebutuhan keamanannya, terutama isu penyelundupan senjata dan amunisi ke Gaza.

Demikian juga dengan tambahan dana untuk membangun kubah besi (Iron Dome) dan program pertahanan rudal AS-Israel lain.

PBB Bertele-Tele
Dewan Keamanan PBB sudah mengadakan rapat darurat pada Rabu lalu untuk mendiskusikan serangan Israel terhadap Gaza. Namun rapat tersebut tidak menghasilkan langkah nyata.

Rusia juga mengatakan bahwa bahwa anggota Dewan Keamanan yang lain dengan sengaja membuat pembicaraan mengenai konflik berlarut-larut. Utusan Rusia untuk PBB mengatakan negaranya akan mengusulkan resolusi  lebih kuat dibandingkan dengan pernyataan resmi, jika anggota Dewan Keamanan tidak mencapai kesepakatan.

"Salah satu anggota Dewan Kemanan, anda tahu siapa (Amerika Serikat-red), mengindikasikan akan menolak semua usulan dari negara anggota lain," kata Churkin yang tidak bersedia menyebut Amerika Serikat secara langsung.

Tindakan anggota itu, lanjutnya, dapat merusak semua upaya perdamaian yang sedang dilakukan Mesir dan Timur-Tengah. Resolusi akan lolos jika mendapat persetujuan dari setidaknya sembilan anggota dan tidak ada veto dari lima anggota tetap, yaitu China, Inggris, Amerika Serikat, Prancis, dan Rusia.

Lebih jauh lagi, di balik gencatan senjata tersebut ada isu penting lain yang terabaikan. UN Relief and Works Agency for Palestinian Refugees in the Near East (UNRWA) melaporkan pengungsi Palestina kini jumlahnya mencapai 5 juta orang, mengacu pada warga Palestina yang terusir ke West Bank, Gaza, Jordan, Lebanon, dan Syria.

Definisi ‘pengungsi Palestina’ itu menjadi bahan perdebatan karena memasukkan anak-cucu para pengungsi yang telah tinggal di negara-negara penampung para pengungsi tersebut. Para pengungsi itu terusir sejak 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948.

Namun, keputusan itu ditentang oleh AS yang membatasi dana bantuan kepada UNRWA melalui Kirk Amendment yang disahkan pada 24 Mei tahun ini. Amandemen yang diajukan oleh senator Republikan dari llinois Mark Kirk, yang kemudian disebut-sebut memangkas jumlah pengungsi Palestina menjadi hanya 30.000 orang.

Padahal, selama ini AS menyumbang UNRWA US$250 juta per tahun. Jika angka itu diturunkan, maka bantuan kemanusiaan AS pun akan turun. Ini jelas tidak adil mengingat, AS mengucurkan bantuan militer ke Israel senilai US$8,5 juta per hari atau US$3 miliar per tahun (dan nol untuk Palestina).

Selain itu, jika anak-cucu pengungsi tersebut tidak diakui statusnya, maka hak untuk kembali ke kampung halaman bapak-ibunya atau kakek-neneknya tidak akan mereka miliki, dan mereka tidak bisa kembali lagi. Artinya, mereka akan menjadi pengungsi abadi, karena tidak akan pernah bisa kembali ke kampung halamannya.

Liga Arab Tempe
Di pertemuan Beirut pada 28 Maret 2002, Liga Arab mengadopsi Arab Peace Initiative, yang didorong Arab Saudi. Di situ, mereka menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel, asalkan negara zionis itu menarik diri dari semua wilayah pendudukan, termasuk dataran tinggi Golan, dan mengakui kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, serta solusi yang adil bagi pengungsi.

Namun, sampai sekarang proposal itu menjadi angin lalu. Bahkan, dalam krisis Palestina-Israel yang berjudul Pillar of Defense itu menilai respon Liga Arab terlalu lambat. Ketika Israel melancarkan serangan pada Rabu (7/11), Liga Arab baru memutuskan menggelar ‘rapat darurat’ di Kairo pada Minggu dan mengunjungi Gaza pada Selasa lalu (20/11).

Rapat darurat pada Minggu itu hanya berujung pada kutukan resmi atas serangan israel, tapi tidak ada respon kongkrit lainnya. Semuanya hanya berbicara soal gencatan senjata, perdamaian, bantuan kemanusiaan, tapi tidak ada sama sekali soal bantuan militer.

Ini sangat ironis mengingat Liga Arab telah melakukan 36 pertemuan besar selama lebih dari 50 tahun terakhir, tetapi tidak pernah juga terwujud perdamaian dan tidak pernah ada negara Palestina merdeka.

Seharusnya, Liga Arab memperkuat konsolidasi di antara mereka sendiri, dengan mengesampingkan perbedaan mazhab. Tanpa persatuan, maka Arab hanya menjadi pasir yang tidak berguna apapun untuk membantu menyelesaikan penjajahan atas Palestina.

Arogansi AS
Amerika Serikat pada Selasa (20/11) memblokir pernyataan Dewan Keamanan PBB mengenai konflik Jalur Gaza, mengatakan itu sebagai “kontra-produktif” di tengah upaya intensif untuk mencapai gencatan senjata.
Rusia mengatakan pihaknya akan mendorong adanya resolusi dewan penuh untuk menyerukan diakhirinya permusuhan jika pernyataan usulan Arab diblokir.

Amerika Serikat mengirim surat kepada dewan lain hanya beberapa saat sebelum batas waktu Selasa untuk menyetujui pernyataan itu, dan menilainya “gagal mengatasi akar penyebab” pertempuran Israel dan penguasa Gaza Hamas.

Surat AS itu menyebut pernyataan tersebut “kontra-produktif” dan menambahkan bahwa pernyataan itu “gagal untuk berkontribusi diplomasi”.

Karena tindakan tersebut, Rusia menuduh Amerika Serikat menghalangi langkah Dewan Keamanan PBB menghentikan kekerasan yang semakin meluas antara Israel dan Palestina di jalur Gaza.

Sikap AS ini jelas tidak akan berubah karena Israel adalah sekutu utama mereka di Timur Tengah. Dunia berharap AS menghentikan standar ganda ini, dengan bersikap lebih adil. Jika tidak, maka konflik akan terus berlarut.

Mesir dan Indonesia
Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah lama mengklaim mendukung Palestina. Kini mereka membuktikan posisinya itu dengan menuju gencatan senjata, yang menurut  Haaretz berujung pada dipenuhinya tuntutan Palestina yang jauh lebih penting dari tuntutan mereka selama perang Castlead 4 tahun silam.

Mesir seharusnya membuka gerbang Rafah secara permanen, agar tidak memperberat penderitaan warga Palestina untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Demikian juga dengan tetap memperkuat keamanan di perbatasan tersebut, agar tidak terulang serangan dari Jihadis Salafi yang bisa memperkeruh suasana perdamaian.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia hanya bisa mengutuk serangan Israel ke Jalur Gaza setelah serangan 5 hari berturut-turut, dan menyerukan berbagai pihak untuk menghentikan tindakan brutal dan tidak berprikemanusiaan Israel tersebut pada warga sipil Palestina.

Situasi konflik di Gaza seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat persatuan umat Islam di Tanah Air, antara sunni dan syiah, agar tidak terulang tragedi pembantaian warga Syiah oleh warga Sunni di Sampang.

Perdamaian di Gaza ini memberi pelajaran bahwa Hamas yang notabene Sunni menerima bantuan teknologi pengembangan rudal Fajr-5 dari Iran yang merupakan negara Syiah, meski keduanya berbeda mazhab. Persatuan yang berujung pada meningkatnya kemampuan tempur Palestina terbukti membuat Israel bersedia menghentikan serangan dan menandatangani gencatan senjata.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)