Menyambut OJK, Mengantisipasi Century II
Bulan ini, 4 tahun yang lalu, sebuah skandal keuangan besar yang sampai sekarang belum juga tuntas mulai terkuak. Nasabah PT Bank Century Tbk yang dana depositonya ditanam di PT Antaboga Deltasekuritas Indonesia mulai melihat gelagat aneh di perusahaan sekuritas tersebut.
Perusahaan yang berdiri sejak 1989 ini pun diadukan nasabah ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dengan dugaan penggelapan uang milik investor, yang kala itu nilai kerugiannya ditaksir sebesar Rp233 miliar.
Kita semua tentu masih ingat dengan kejadian selanjutnya, ketika dua otoritas yakni Bank Indonesia—yang bertanggung-jawab mengawasi Bank Century—dan Bapepam-LK—yang bertanggung-jawab mengawasi Antaboga—justru terkesan saling lempar tanggung-jawab.
Tersembunyi di balik keriuhan konferensi pers kedua lembaga keuangan tersebut ketika saling “mengamankan posisi”, ada fakta sederhana yang terabaikan, yakni ruang, sebuah celah irisan, antara wilayah pasar modal dan perbankan yang tidak tersentuh radar kedua otoritas tersebut.
Irisan tersebut sebenarnya bisa dimitigasi sejak awal jika Bank Indonesia dan Bapepam-LK memiliki kesatuan sistem pengawasan. Ketika otoritas moneter melihat pengalihan deposito nasabah Bank Century ke produk discre fund Antaboga, mestinya ada semacam mekanisme konfirmasi ke otoritas pasar modal yang memastikan bahwa produk tersebut telah berizin dan bukannya abal-abal.
Inilah yang dulu tidak terjadi, dan ini jugalah yang menjadi salah satu harapan besar yang terhembus ke ruang publik berbarengan dengan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan satu lembaga yang memiliki kewenangan padu-padan mengawasi bank, asuransi, dana pensiun, sekuritas, serta manajer investasi secara bersamaan, ruang irisan tersebut diharapkan tidak lagi kosong.
Hanya saja, di tengah kebahagiaan tersebut saya khawatir ada ruang irisan lain yang belum terisi, dan berpotensi menjadi sarang “Robert Tantular-Robert Tantular” yang lain untuk menyelewengkan dana masyarakat lewat lembaga lintas-industri keuangan miliknya. Ruang tersebut adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Berbagai kalangan telah menyerukan mengenai perlunya LKM masuk ke dalam lingkup pengawasan OJK, seiring dengan rencana integrasi pengawasan lembaga keuangan bank dan nonbank. Salah satu alasannya adalah usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia yang terus berkembang pesat dan kian erat terkait dengan lembaga keuangan lain seperti bank.
Sebagai contoh, terobosan dari Bank Bukopin bernama Swamitra, yang memungkinkan koperasi dan LKM mengatasi masalah kelangkaan modal, kepercayaan dan manajemen melalui kerjasama kemitraan menggunakan teknologi mutakhir untuk menjamin pelayanan profesional serta jaringan pelayanan terpadu.
Kerja-sama yang memposisikan koperasi dan LKM sebagai mitra dan debitor Bank Bukopin ini tunduk pada Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Simpan Pinjam.
Namun secara bersamaan, ada wilayah bisnis yang masuk dalam pengawasan otoritas moneter, terkait dengan posisi Bank Bukopin sebagai pemrakarsa program kemitraan tersebut. Program semacam Swamitra ini tentu saja positif, karena memungkinkan LKM memberikan layanan yang bersifat bank-like, kepada para nasabahnya yang terkategori unbankable.
Secara umum, posisi LKM dalam pemberdayaan UKM sangatlah strategis karena sekitar 90% usaha kecil di Tanah Air adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Namun, ini bukan berarti kita tidak perlu memperjelas wilayah pengawasan bisnis lintas-industri antara Kementerian Koperasi dan UKM serta OJK.
Pengembangan UKM tetap memerlukan kehadiran lembaga pengawasan yang tanggap dan memiliki sistem untuk mengawasai aliran dana dan uang di masyarakat, agar posisi LKM, penabung dan peminjam terlindung dari risiko fraud.
Jika koperasi ingin berkembang dengan memaksimalkan asetnya, mau-tidak mau mereka harus menjadi bank, atau melibatkan bank seperti yang terjadi dalam program Swamitra Bank Danamon. Ada beberapa karakter koperasi yang menyulitkannya untuk bisa bekerja seperti bank, sehingga membuat mereka musti melibatkan jasa keuangan di wilayah perbankan.
Misalnya, koperasi—sesuai dengan ketentuan UU 25/1992—bisa memakai modal penyertaan dan memberikan konsesi keikutsertaan pengelolaan simpanan pokok anggotanya. Simpanan pokok ini tidak bisa disamakan dengan deposito, dan sifat likuiditas serta kedudukannya pun berbeda dari deposito.
Selain itu, istilah deposito tidak dikenal dalam koperasi. Yang ada adalah tabungan dan biasanya tabungan tersebut diperlakukan sebagai modal luar. Akibatnya, data deposito menjadi tidak tercatat dengan baik pada posnya (under recorded).
Hal-hal seperti inilah yang perlu diawasi oleh OJK, terutama ketika koperasi mulai berkongsi dengan bank terkait dengan pengelolaan dana anggotanya.
Momentum Tepat
OJK sebagai satu-satunya lembaga pengawas lembaga keuangan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tentu saja sangat berhak dan memiliki kewenangan yang tidak bisa diganggu-gugat untuk mengawasi LKM, karena pasal 1 UU OJK menyatakan bahwa LKM masuk dalam kategori ‘lembaga keuangan lain.’
Konsekuensinya, setelah OJK berdiri maka semua unit usaha yang menyediakan jasa keuangan kepada publik, termasuk koperasi dan LKM yang secara kelembagaan berada di bawah wewenang Kementerian Kopetasi dan UKM, harus tunduk pada regulasi yang mengatur sektor jasa keuangan.
Pengawasan LKM oleh lembaga yang juga mengawasai perbankan ini juga bukan praktik baru di dunia ini. Studi literatur menunjukkan bahwa di Bolivia, India, Filipina, Pakistan, Bangladesh, dan Honduras, bank sentral juga melakukan pengawasan LKM.
Untuk Indonesia, dengan 637.000 unit LKM di Indonesia yang aktivitasnya secara umum memang mirip dengan bank yakni menghimpun dana masyarakat dan meminjamkannya sebagai kredit, OJK jelas perlu masuk.
Praktik yang—mengutip Ketua Komisioner OJK Muliaman Hadad—sering disebut sebagai shadow banking ini jelas bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang BI, yang menegaskan bahwa lembaga bank wajib memperoleh izin dari BI.
Karena itu, sekaranglah momentum yang tepat untuk memastikan masuk-tidaknya LKM ke bawah pengawasan OJK, mengingat RUU LKM sekarang dibahas di DPR, dan daftar inventarisasi masalah (DIM) sudah dalam pembahasan dengan Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Perindustrian. OJK perlu kepastian payung hukum dari RUU LKM ini untuk bisa mengawasi koperasi dan LKM.
Memang benar bahwa OJK dan Kementerian Koperasi dan UKM bisa saja diperintahkan untuk saling berkoordinasi ketika masing-masing menjalankan tugasnya; OJK mengawasi jasa keuangan, sedangkan Kementerian Koperasi dan UKM mengawasi LKM.
Namun, sejarah telah mencatat bahwa kondisi yang sama persis juga terjadi dalam kasus Bank Century-Antaboga Sekuritas, atau kasus sengketa pencairan deposito antara PT Bank Mega Tbk dan PT Elnusa Tbk. Kedua wilayah tersebut sudah diawasi sendiri-sendiri bukan? Tapi toh, tetap saja ruang irisan tersebut tidak tersisir juga.
Inilah yang perlu dimitigasi terkait dengan pembentukan OJK saat ini. Meski pada kenyataannya OJK mungkin belum sepenuhnya siap mengawasi 63.000 LKM di seluruh Indonesia dengan 2.500 karyawannya pada tahun depan—entah karena kendala biaya atau sumber daya manusia, tapi setidaknya telah ada kejelasan bahwa ruang yang terselip antara dua wilayah pengawasan tersebut menjadi tanggung-jawab OJK.
Selanjutnya, OJK bisa meminta bantuan pemerintah daerah atau Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu menjalankan fungsi pengawasan tersebut sementara waktu. Ke depan ketika OJK telah kuat dan memungkinkannya untuk melakukan pengawasan LKM secara mandiri, maka ruang irisan antara jasa keuangan dan perkoperasian serta LKM ini pun sudah terpantau oleh radar OJK.
Jika ini tercapai, maka kemungkinan akan munculnya kasus Bank Century II atau Robert Tantular Jilid II akan semakin kecil di masa mendatang, dalam konteks industri LKM yang memengaruhi hajat hidup rakyat banyak dan kian terkonsolidasi dengan jasa keuangan perbankan.
Atau, haruskah kita menunggu kasus semacam Antaboga dan Century meledak terlebih dahulu di LKM, untuk kemudian baru sadar mengenai perlunya menghapus irisan tak terpapar radar di jasa keuangan Tanah Air? Semoga saja tidak.***
0 pendapat:
Post a Comment