Monday, August 06, 2012

Pemilihan 'Calon Wali', atau 'Calon Pemimpin' Sih?

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).." (QS 5:51)

Ayat ini lagi rame dipake penceramah di mushola dan masjid di masa pilkada kali ini, yang entah mengapa menafikan fakta bahwa Jokowi dan Foke, sang calon "pemimpin" itu adalah seorang muslim.

Hanya Ahok, calon wakil Jokowi yang nonmuslim, sebuah jabatan yang sebenarnya sudah awam dipegang umat non-islam di negara mayoritas muslim (Deputi alias Wakil PM Irak, Tariq Azis, misalnya adalah seorang kristen, para tokoh Yahudi juga jadi menteri di era kejayaan Kordoba).

Untuk mengecek materi khotbah penceramah itu, umat Islam cukup mengacu kembali kepada Al-Quran, cek ke bahasa aslinya. Di ayat tersebut, kata yang diterjemahkan 'pemimpin-pemimpin' itu tak lain adalah 'awliyaa' yang berakar kata 'walaa', yang juga dipakai dalam kata 'wali.'

Lihatlah bagaimana kata yang sama, 'awliya,' diterjemahkan sebagai 'wali' di surah ini: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali." (QS 3:28). Karena itu, perlu ada konsistensi pemahaman untuk memahami pesan kedua surah yang konteksnya sama persis itu. yang dilarang itu mengangkat mereka jadi pemimpin (ketua RT, kades, lurah, presiden), atau menjadi wali?

Kata 'wali' dalam bahasa Arab memang memiliki beberapa pengertian: pemimpin, teman dekat, pelindung. Repotnya, di bahasa Indonesia, kata wali mengalami perluasan makna hingga dipakai dalam konteks: wali kelas, wali murid, wali amanat, sehingga maknanya seolah-olah meluas menjadi 'ketua atau pemimpin secara umum, di segala bidang, segala lini.

Untuk tur singkat mengenai makna kata ini, silahkan buka ini 'Dari berbagai penjelasan di situ, kita bisa melihat bahwa makna 'wali' bukanlah pemimpin urusan duniawi, melainkan pemimpin dalam hal keselamatan harta, jiwa, dan agama kita sebagai satu umat. Ada wilayah keagamaan di situ, sehingga tak heran kata 'wali' terkadang diterjemahkan sebagai 'saint' dalam bahasa Inggris.

Contoh kasus, kita bisa melihat walisongo. Apa mungkin, misalnya formasi salah satu wali diduduki pedanda Hindu? kan ga mungkin. Jadi, konteks kedua ayat di atas tepat jika dimaknai bahwa konsep wali mengacu pada petanda religi, bahwa umat nonIslam emang ga boleh diangkat jadi pemimpin spiritual umat Islam, karena memang sang wali ini memiliki peran vital dalam wilayah keagamaan ini.

Pemaknaan kata 'wali' yang lebih rigid ini mungkin juga bisa dilacak dalam sejarah suksesi khalifah Islam. Kata 'wali' (dan maula) ini menjadi pangkal konflik antara sunni dan syiah, terkait dengan posisi Ali bin Abi Thalib yang menurut hadist nabi adalah: maula, dan wali. Hadits mengenai "suksesi" wali umat Islam ini sama-sama dicatat dalam kitab Sunni dan Syiah. Namun keduanya berbeda pemahaman mengenai pemaknaannya.

Para ulama sunni menafsirkan kata itu sebagai 'teman dekat saja', tak kurang tak lebih, untuk kasus Ali bin Abi Thalib. Di sisi lain, ulama syiah menafsirkannya sebagai 'pemimpin komunitas Islam/ khalifah.' Sejauh ini saya pribadi memandang argumen syiah kuat. Dalam salah satu literatur sunni di kitab Fara'id al-Samtain, karya Abu Is'haq Ibrahim Ibn Sa'd al-Din Ibn al-Hamawiyia, hlm 58, Nabi disebutkan sudah memberi penjelasan tentang kata 'wali' ini:

Salman berdiri dan berkata : “Ya Rasulullah, apa artinya Walaa, dan bagaimana?” Rasul menjawab “Walaa artinya aku adalah Wali (waala’un kawala’i). Barang siapa menganggapku sebagai maulanya, aku lebih berhak atas dirinya (orang tersebut) daripada dirinya sendiri, dan Ali lebih berhak atas dirinya (orang tersebut) daripada dirinya sendiri (orang itu sendiri).”

Sekarang, mari kita lihat terjemahan ayat Quran yang lain tentang kata 'wali': "Sesungguhnya penolong kamu [WALIyyukum] hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)." (QS 5:55)

Di situ, kata 'wali' diterjemahkan sbg 'penolong.' Jika dicek di asbabun nuzulnya (konteks turunnya ayat), ternyata lagi-lagi kembalinya ke Ali bin Abi Talib yang bersedekah meski lagi rukuk

Sekarang, kembali ke konteks kekinian. Cocokkah jabatan gubernur dimasukkan dalam kategori 'wali' tersebut, di mana struktur posisinya sama seperti Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki sebagai 'gerbangnya ilmu agama' atau seperti konteks 'Nabi sebagai pemimpin umat'? atau cuma amanat teknis seperti ketua tim peneliti, koordinator operasi, dan ketua RT?

Tapi sebelum itu, izinkan saya tutup "provokasi" ringkas saya ini dengan surah Quran juga: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.“ (QS 4:58)

Yang disambung ayat selanjutnya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil-amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (QS 4: 59)

(Maimun bin Mihran dan banyak penafsir menyebut 'ulil-amri' sbg “pemimpin pemerintahan.” Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata bahwa mereka adalah para ulama. Pendapat yang dikuatkan Imam Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah. (Fath al-Bari 8/106). Di sisi lain, syiah menilai 'ulil-amri' adalah Ali bin Abi Thalib dan para Imam 12.

Quraish Shihab sependapat dengan Imam Syafi'i, dengan argumen bahwa di ayat tersebut ada ketundukan bersyarat (tunduk untuk urusan apapun, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Allah):

"Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri itu untuk memberi isyarat bahwa ketaatan pd mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thaat li makhluqin fi ma'shiyat al-Khaliq". Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).")

Kira2, kenapa Quran menyebutkan 'wali' dan 'ulil-amri' secara terpisah? Dan bisakah 'wali' disimplifikasi menjadi 'pemimpin', atau (lebih parah lagi): gubernur? Monggo didiskusikan.. Saya masih perlu lebih banyak input dan perspektif nih,..

Subscribe to: Post Comments (Atom)