PR Pasca “Privatisasi” Bapepam
Pihak mana yang secara finansial akan mendapat keuntungan jangka panjang dari terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Jawabannya tidak jauh-jauh: pemerintah, atau dalam hal ini kementerian keuangan (kemenkeu).
Simpel saja. Setidaknya 1.037 orang pegawai Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) berkesempatan untuk diangkat menjadi pegawai OJK, dan meninggalkan status pegawai negeri sipil (PNS) yang selama ini termasuk ke dalam pos pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Otoritas pasar modal tersebut telah diberi slot sebanyak 1.000 pegawai OJK, dari total pegawai OJK di tahun perdana beroperasinya yang ditetapkan sebanyak 2.500 orang. Slot untuk 1.500 pegawai OJK lainnya dibuka untuk pegawai Bank Indonesia (BI).
Sesuai dengan pasal 34 ayat 2 dalam Undang-Undang nomor 21/2011 tentang OJK, anggaran OJK disebutkan bersumber dari APBN dan/ atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Dalam pasal penjelasan, disebutkan bahwa pembiayaan OJK “…sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.”
Selanjutnya, pembiayaan dari APBN disebutkan menjadi penyangga pembiayaan operaisonal OJK, selama ketika pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan industri jasa keuangan belum memadai pada masa awal pembentukan OJK.
Inilah yang belakangan memicu keriuhan protes dan keberatan dari pelaku usaha jasa keuangan, dan meninggalkan proporsi pemasukan OJK sebagai teka-teki yang menyesakkan.
Nah, jika semua pegawai Bapepam-LK diangkat menjadi pegawai lembaga independen non-institusi pemerintahan tersebut, maka beban pemerintah untuk membayar gaji PNS di Bapepam-LK dan biaya operasionalnya per tahun akan sedikit berkurang.
Dengan kata lain, Bapepam-LK “diprivatisasi” hingga pembiayaan operasi per tahunnya tidak membebani negara. Namun, ini tentu saja dengan catatan bahwa semua pegawai Bapepam-LK bersedia menanggalkan status PNS demi menjadi pegawai OJK, yang kabarnya akan digaji dengan standar gaji Bank Indonesia (BI) yang saat ini dikenal bonafid dibandingkan dengankan dengan gaji dan remunerasi di institusi pemerintahan.
Sejauh ini DPR memang telah menyetujui pembiayaan OJK pada masa awal pembentukannya tidak 100% berasal dari pungutan atau retribusi terhadap pelaku usaha, melainkan juga masih dibantu APBN. Hanya saja, berapa persentase keduanya? Masih misteri.
Lalu berapa kira-kira kebutuhan pembayaran gaji 2.500 pegawai OJK setiap tahunnya? Proses hitung-hitungan belum juga dipublikasikan kepada publik. Dalam APBN 2012, DPR dan pemerintah hanya mengetok dana sebesar Rp304,8 miliar untuk optimalisasi persiapan pendirian OJK, mulai dari belanja jasa konsultan, gaji dan tunjangan dewan komisioner, teknologi dan informasi, dsb.
Sejauh ini, Direktorat Jenderal Anggaran masih memproses rancangan anggaran dari OJK, atau dalam hal ini Tim Perwujudan OJK. Namun mari kita coba menjadikan BI sebagai benchmark. Mengacu pada Anggaran Tahunan 2012, BI menganggarkan pengeluaran operasional berupa gaji pegawai Rp2,13 triliun, naik 7,42% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,98 triliun.
Angka itu hampir separuh dari total anggaran pengeluaran operasional BI pada 2012 senilai Rp5,23 triliun. Mengingat jumlah karyawan OJK saat ini mencapai 2.500 orang, atau 41,67% dari total pegawai BI, maka anggaran gaji pegawai OJK setidaknya bisa berkisar antara 40%-50% dari anggaran gaji BI, alias sebesar Rp852 miliar-Rp1,06 triliun.
Lalu jika diasumsikan biaya operasi OJK juga separuh dari biaya operasional BI, maka total kebutuhan biaya operasional OJK bisa berkisar Rp2 triliun setahun. Dus, total kebutuhan belanja pegawai dan operasional OJK setidaknya berkisar Rp2,5 triliun-Rp3 triliun.
Sebesar apa industri jasa keuangan akan menanggung dana pengeluaran tersebut, dan berapa “sumbangan” negara, termasuk bagaiman skema pungutan yang adil agar tidak menimbulkan protes lebih jauh di kalangan pelaku usaha? Inilah PR yang masih tersisa pasca“privatisasi” Bapepam-LK.
Skema Terbaik
Jika kita mengacu pada buku Financial Governance of Banking Supervision yang ditulis oleh D. Masciandaro, M. Nieto, dan H.M. Prast (2007), ada dua jenis pembiayaan regulator jasa keuangan yakni public financing dan private financing.
Mayoritas negara di dunia masih bertumpu pada pembiayaan publik sepenuhnya untuk membiayai fungsi pengawasan lewat bank sentral, seperti misalnya terjadi di Amerika Serikat, Prancis, Kroasia, Brasil, Yunani, India, Italia, Libya, Rusia, Portugal, Spanyol, Malaysia, Thailand, dan Selandia Baru.
Negara yang bank sentralnya bertindak sebagai pengawas dan menerapkan pembiayaan melalui pungutan industri secara total adalah Slovenia dan Hongkong. Di sisi lain, dua negara yang menerapkan pungutan ke swasta secara setengah-setengah adalah Belanda dan Irlandia.
Di sisi lain, negara yang memiliki lembaga pengawas independen semacam OJK kebanyakan memilih membebankan sepenuhnya pembiayaan OJK mereka dari pungutan terhadap pelaku industri. Beberapa negara yang melakukan itu misalnya Inggris, Australia, Kanada, Denmark, Hongaria, Norwegia, dan Swiss.
Sebaliknya, negara yang membiayai OJK mereka dari dana APBN misalnya adalah Jepang dan China, sedangkan negara yang menerapkan model pembiayaan setengah-setengah (antara APBN dan pungutan swasta) adalah Austria, Guatemala, Korea Selatan, dan Venezuela.
Secara umum, negara-negara tersebut mengenakan pungutan berdasarkan tiga kategori. Pertama, pungutan berdasarkan layanan di mana fee dibebankan ke setiap jenis layanan yang diberikan pengawas; kedua, pungutan berdasarkan skala risiko industri di mana fee dikenakan sesuai dengan kesulitan tindakan pengawasan; dan ketiga, berdasarkan volume bisnis masing-masing pelaku.
Menurut hemat kami, OJK di Indonesia sebaiknya menerapkan pungutan kepada pelaku industri dalam dua jenis; pungutan wajib yang bersifat tetap dan pungutan tambahan yang berubah-ubah tergantung skala yang disepakati.
Pembedaan ini diperlukan untuk membuat pungutan tersebut menjadi lebih rasional dan terukur. Pungutan wajib musti dibebankan berdasarkan volume industri, misalnya berdasarkan skala bisnis perusahaan.
Untuk bank dengan pangsa pasar besar, misalnya, diberikan pungutan wajib lebih besar dari bank dengan pangsa pasar lebih kecil.
Slovakia, misalnya, menerapkan pungutan berjenjang yakni 0,0027% dari aset minimum €100.000 untuk bank asing, sebesar 0,0133% dari aset minimum €20.000 untuk asuransi,, sebesar 0,0118% dari aset minimum €20.000 untuk dana pensiun, dan 0,017% dari aset minimum €2.000 untuk sekuritas.
Pembedaan level pungutan untuk industri yang berbeda tersebut memiliki skala yang rasional dan terukur. Industri bank terkena pungutan wajib lebih besar ketimbang industri asuransi yang dana masyarakat kelolaannya jauh di bawah dana kelolaan bank.
Tentu tidak adil meminta pelaku industri asuransi yang asetnya hanya Rp400 triliun membayar pungutan sama dengan pelaku industri bank yang asetnya sembilan kali lebih besar dari mereka, yakni Rp3.600 triliun.
Pertimbangan mengenakan pungutan wajib lebih besar untuk industri beraset besar—yang berbanding lurus dengan tingkat eksposur mereka terhadap jejaring sistem keuangan nasional—kian legitimate jika kita melihat sifat dasar industri ini yang membebankan biaya operasional mereka kepada nasabah atau publik.
Hukum bilangan besar berlaku di sini. Biaya pungutan OJK tersebut pada akhirnya mereka alihkan ke masyarakat dalam bentuk beban administrasi tambahan. Semakin besar skala industri perbankan, semakin kecil pula beban yang ditanggung nasabah per orang karena beban tersebut disebar ke nasabah yang jumlahnya sangat banyak, atau setidaknya jauh lebih banyak dari nasabah asuransi atau dana pensiun.
Selanjutnya, pungutan tambahan dibebankan berdasarkan skala risiko. Artinya, jika OJK nantinya menemukan kejanggalan atau indikasi persoalan keuangan atau kasus fraud di sebuah jasa keuangan, maka dia berhak membebankan jasa tambahan untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
Ini misalnya dijalankan di Slovenia, di mana Bank of Slovenia selaku lembaga pengawas jasa keuangan di nagara itu membebani bank dengan tarif US$35 per jam untuk bank yang dalam laporan rutin mereka disinyalir memiliki permasalahan.
Prinsip charging the problematic ones ini diharapkan menimbulkan efek jera bagi lembaga keuangan agar tidak main-main dengan risiko dalam menjalankan bisnisnya. Semakin riskan dia, semakin besar dia harus membayar pungutan tambahan tersebut.
Terakhir, menurut hemat kami, pungutan berdasarkan layanan sebaiknya tidak dijalankan dulu pada tahap awal ini, agar tidak mengganggu ekspansi pelaku industri di tengah krisis ekonomi dunia.
Kalaupun dibebankan, ada baiknya spirit nasionalisme dikedepankan dengan mengenakan pungutan layanan untuk jasa keuangan asing di Indonesia, misalnya untuk merger, akuisisi, pembukaan kantor baru, dan sejenisnya.
Selanjutnya ketika kondisi telah berubah dan daya saing jasa keuangan lokal kian kuat, maka pungutan serupa bisa dibebankan baik dengan insentif tertentu, atau dipukul rata, sesuai dengan kondisi di lapangan.
Inilah PR yang mustinya digarap betul oleh OJK, agar lembaga pengawasan ini tidak hanya bisa mengambil pungutan seperti retribusi terminal bus dan angkot, tetapi benar-benar retribusi yang bermanfaat bagi industri (secara umum), dan pelaku pasar modal dan keuangan (secara khusus).***
0 pendapat:
Post a Comment