Asa di pucuk pinus Sendai
‘Ganbaro! Tohoku.. We believe the bond and
the power of [Miyagi] and [City of Trees Sendai]!”
Demikian tertulis di papan
fiberglas transparan di tepi pintu masuk bandara Sendai, Jepang. Beberapa lusin
foto dipajang di sampingnya menampilkan kondisi bandara yang berantakan dan
babak-belur.
Bandara Sendai, terletak di Miyagi, sempat menjadi
pemberitaan dunia ketika tsunami menghantam pada 11 Maret 2011. Gambar pesawat
yang terpelanting seperti mainan menunjukkan dahsyatnya tsunami setinggi 10
meter tepat setahun yang lalu.
Kini, jika anda mencari, sisa kerusakan itu sudah tidak ada
lagi di bandara ini. Padahal, kala itu gempa 9 skala richter—terdahsyat yang
pernah tercatat di muka bumi—mengirim ribuan kubik air bah ke bandara ini.
Setidaknya 15.000 warga di semenanjung Oshika, pantai Timur
Tohoku dilaporkan meninggal, dan 8.000 lainnya hilang. Tragedi ini sangat
pahit, namun tidak menghentikan warga Jepang untuk bangkit.
Direktur Promosi Bandara area Tohoku Keisuke Sakamoto
mengatakan pemulihan gempa di kawasan itu banyak terbantu warga dunia. Bandara
Sendai sudah dioperasikan kembali sebulan setelah bencana.
“Semua maskapai penerbangan sudah beroperasi kembali.
Terakhir pada Maret ini, Air China akan elayani lagi rute penerbangan ke
Beijing,” tutur Sakamoto yang sempat tinggal di Jakarta, dan cukup fasih
berbahasa Indonesia.
Di bandara Sendai, jejak tsunami direkam dengan penanda di
tiangnya, berupa palet berwarna gradasi biru-putih, setinggi 3 meter,
menunjukkan batas air yang masuk ke dalam ruang bandara.
Ketika tanda bahaya tsunami muncul, ruang tunggu tingkat dua
beralih fungsi menjadi tempat evakuasi pengunjung dan staf operator bandara.
Kesigapan dalam evakuasi berujung pada zero fatalities.
Tak terbayangkan jika terjadi kelalaian evakuasi, mengingat
‘amarah’ tsunami begitu kuat hingga air bah masuk menjebol dinding
pelosok-pelosok ruang kendali. Di ruangan di dalam tersebut, air masuk dengan
ketinggian sekitar 2 meter.
Di dinding ruang-ruang tersebut, kita masih bisa menemukan jejak
ketinggian air, menjadi semacam pengingat tentang cerita kedahsyatan bencana
tersebut. Diharapkan, warga Jepang tidak akan alpa untuk mengantisipasi bencana
serupa.
“Coba lihat ke pantai, dulu di sana banyak pohon pinus.
Sebagian tumbang karena tsunami. Pohon itu menahan gelombang tsunami secara
alami,” ujar Takagi Hitoshi, yang mendampingi kami selama di Jepang.
Sendai, memang dikenal sebagai kota pepohonan. Di antara
kota lain di Jepang, Sendai memiliki pemandangan yang sangat asri dan teduh.
Pepohonan berjajar rapi di beberapa jalan utamanya.
Pohon pinus pun banyak ditemukan di sepanjang semenanjung
Matsushima, yang terletak 30 km dari pusat kota Sendai. Pepohonan inilah yang
menjadi pemecah energi gempuran tsunami tahun lalu. Sebagian tumbang, namun
banyak yang masih berdiri.
Pemulihan
Nun jauh dari lokasi bencana, Direktur Divisi Pers
Internasional Kementerian Luar Negeri Jepang Masaru Sato mengatakan warga
Jepang mengucapkan terima kasih atas bantuan 163 negara, termasuk Indonesia,
untuk pemulihan daerah bencana.
“Kebanyakan fasilitas sehari-hari telah diperbaiki kecuali
di beberapa wilayah, termasuk daerah terlarang di sekitar pembangkit nuklir
Fukushima dan daerah yang rumahnya hanyut,” ujarnya di gedung Kementerian Luar
Negeri Jepang, Tokyo.
Sejauh ini, pemerintah Jepang telah menerima dana bantuan
senilai 345,3 miliar yen. Sekitar 79,8% di antaranya (275,4 miliar yen) telah
diserahkan langsung ke warga yang menjadi korban per 13 Januri 2012.
Pada periode tersebut, sebanyak 334.786 orang dari 470.000
pengungsi telah kembali ke rumah sementara atau rumah sewa yang dibayar
pemerintah. Hanya 687 orang yang masih bertahan di pusat evakuasi.
Pemulihan 100% juga terjadi di pelabuhan Shiogama, yang
menjadi urat nadi penghubung warga pulau-pulau kecil. Pepohonan yang banyak
tumbuh di sana pun bertindak sebagai penahan tsunami, sehingga pelabuhan itu
tidak rusak parah.
Kini, pelabuhan tersebut telah berfungsi secara normal
melayani sekitar 500 jiwa yang tinggal di pulau-pulau terpencil di wilayah
tersebut. “Namun, dua patung kuno dewa penjaga hilang tersapu tsunami, sampai
sekarang belum ditemukan,” ujar Takagi.
Pemulihan Jepang yang begitu signifikan membuka mata bahwa
bencana alam, separah apapun, seharusnya tidak pernah membuat umat manusia
jatuh dalam keterpurukan.
Cukup setahun bagi warga Jepang bahu-membahu memulihkan
bencana, bangkit menyongsong hari esok. Di Negeri Matahari Terbit ini, tsunami
tidak cukup kuat menenggelamkan asa mereka, yang bertahan bersama pucuk pinus
Sendai.***
0 pendapat:
Post a Comment