Thursday, March 01, 2012

Asa di pucuk pinus Sendai


‘Ganbaro! Tohoku.. We believe the bond and the power of [Miyagi] and [City of Trees Sendai]!”

Demikian tertulis di papan fiberglas transparan di tepi pintu masuk bandara Sendai, Jepang. Beberapa lusin foto dipajang di sampingnya menampilkan kondisi bandara yang berantakan dan babak-belur.

Bandara Sendai, terletak di Miyagi, sempat menjadi pemberitaan dunia ketika tsunami menghantam pada 11 Maret 2011. Gambar pesawat yang terpelanting seperti mainan menunjukkan dahsyatnya tsunami setinggi 10 meter tepat setahun yang lalu.

Kini, jika anda mencari, sisa kerusakan itu sudah tidak ada lagi di bandara ini. Padahal, kala itu gempa 9 skala richter—terdahsyat yang pernah tercatat di muka bumi—mengirim ribuan kubik air bah ke bandara ini.

Setidaknya 15.000 warga di semenanjung Oshika, pantai Timur Tohoku dilaporkan meninggal, dan 8.000 lainnya hilang. Tragedi ini sangat pahit, namun tidak menghentikan warga Jepang untuk bangkit.

Direktur Promosi Bandara area Tohoku Keisuke Sakamoto mengatakan pemulihan gempa di kawasan itu banyak terbantu warga dunia. Bandara Sendai sudah dioperasikan kembali sebulan setelah bencana.

“Semua maskapai penerbangan sudah beroperasi kembali. Terakhir pada Maret ini, Air China akan elayani lagi rute penerbangan ke Beijing,” tutur Sakamoto yang sempat tinggal di Jakarta, dan cukup fasih berbahasa Indonesia.

Di bandara Sendai, jejak tsunami direkam dengan penanda di tiangnya, berupa palet berwarna gradasi biru-putih, setinggi 3 meter, menunjukkan batas air yang masuk ke dalam ruang bandara.

Ketika tanda bahaya tsunami muncul, ruang tunggu tingkat dua beralih fungsi menjadi tempat evakuasi pengunjung dan staf operator bandara. Kesigapan dalam evakuasi berujung pada zero fatalities.

Tak terbayangkan jika terjadi kelalaian evakuasi, mengingat ‘amarah’ tsunami begitu kuat hingga air bah masuk menjebol dinding pelosok-pelosok ruang kendali. Di ruangan di dalam tersebut, air masuk dengan ketinggian sekitar 2 meter.

Di dinding ruang-ruang tersebut, kita masih bisa menemukan jejak ketinggian air, menjadi semacam pengingat tentang cerita kedahsyatan bencana tersebut. Diharapkan, warga Jepang tidak akan alpa untuk mengantisipasi bencana serupa.

“Coba lihat ke pantai, dulu di sana banyak pohon pinus. Sebagian tumbang karena tsunami. Pohon itu menahan gelombang tsunami secara alami,” ujar Takagi Hitoshi, yang mendampingi kami selama di Jepang.

Sendai, memang dikenal sebagai kota pepohonan. Di antara kota lain di Jepang, Sendai memiliki pemandangan yang sangat asri dan teduh. Pepohonan berjajar rapi di beberapa jalan utamanya.

Pohon pinus pun banyak ditemukan di sepanjang semenanjung Matsushima, yang terletak 30 km dari pusat kota Sendai. Pepohonan inilah yang menjadi pemecah energi gempuran tsunami tahun lalu. Sebagian tumbang, namun banyak yang masih berdiri.

Pemulihan
Nun jauh dari lokasi bencana, Direktur Divisi Pers Internasional Kementerian Luar Negeri Jepang Masaru Sato mengatakan warga Jepang mengucapkan terima kasih atas bantuan 163 negara, termasuk Indonesia, untuk pemulihan daerah bencana.

“Kebanyakan fasilitas sehari-hari telah diperbaiki kecuali di beberapa wilayah, termasuk daerah terlarang di sekitar pembangkit nuklir Fukushima dan daerah yang rumahnya hanyut,” ujarnya di gedung Kementerian Luar Negeri Jepang, Tokyo.

Sejauh ini, pemerintah Jepang telah menerima dana bantuan senilai 345,3 miliar yen. Sekitar 79,8% di antaranya (275,4 miliar yen) telah diserahkan langsung ke warga yang menjadi korban per 13 Januri 2012.

Pada periode tersebut, sebanyak 334.786 orang dari 470.000 pengungsi telah kembali ke rumah sementara atau rumah sewa yang dibayar pemerintah. Hanya 687 orang yang masih bertahan di pusat evakuasi.

Pemulihan 100% juga terjadi di pelabuhan Shiogama, yang menjadi urat nadi penghubung warga pulau-pulau kecil. Pepohonan yang banyak tumbuh di sana pun bertindak sebagai penahan tsunami, sehingga pelabuhan itu tidak rusak parah.

Kini, pelabuhan tersebut telah berfungsi secara normal melayani sekitar 500 jiwa yang tinggal di pulau-pulau terpencil di wilayah tersebut. “Namun, dua patung kuno dewa penjaga hilang tersapu tsunami, sampai sekarang belum ditemukan,” ujar Takagi.

Pemulihan Jepang yang begitu signifikan membuka mata bahwa bencana alam, separah apapun, seharusnya tidak pernah membuat umat manusia jatuh dalam keterpurukan.

Cukup setahun bagi warga Jepang bahu-membahu memulihkan bencana, bangkit menyongsong hari esok. Di Negeri Matahari Terbit ini, tsunami tidak cukup kuat menenggelamkan asa mereka, yang bertahan bersama pucuk pinus Sendai.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)