Wednesday, February 01, 2012

Mimpi shinkansen di negeri delman 1



Siapa yang tidak kenal dengan delman? Sejak kecil, kita disuguhi lagu anak-anak berjudul Naik Delman, yang menunjukkan posisi gerobak penumpang ini sebagai salah satu moda transportasi di Indonesia.

Kata ‘delman’ diambil dari nama sang pembuat, yakni litograf  blasteran Prancis-Belanda bernama Charles Theodore Deeleman. Kita masih bisa menemukannya di beberapa kota di Indonesia sampai sekarang, terutama di lokasi-lokasi wisata.

Nah, dalam kunjungan ke Railway Museum, yang dikelola Japan Railway East Company (JR East) pekan lalu, angkutan yang mudah membuat penumpang terkantuk-kantuk itu disinggung Fumihiro Araki, Deputy Director Railway Museum.

Menurut dia, delman tidak pernah dikenal dalam kultur dan sejarah Jepang. Dan kondisi ini, menjadi semacam berkah bagi industri kereta-api, karena memudahkan Jepang mengembangkan kereta api menjadi moda transportasi darat utama.

“Di Jepang dulu tidak ada delman, yang harus menunggu penumpang penuh sebelum diberangkatkan. Karena itu, masyarakat kami bisa lebih cepat beradaptasi dengan kereta modern,” tuturnya di depan 25 delegasi Indonesia, pekan lalu.

Semula, saya menyangka lontaran itu hanya gurauan untuk menghangatkan suasana. Tapi saya salah. Meski tersenyum, raut muka Fumihiro serius ketika mengucapkan itu. Sebagai pria yang sudah terbilang uzur, nada suaranya juga jelas dan tegas.

Mengacu pada beberapa literatur, penjelasan Fumihiro terdengar masuk akal. Dalam Japan Railway & Transport Review, misalnya, Presiden Japan Railway History Society Eiichi Aoki menyebutkan Jepang hanya memiliki perahu sebagai moda transportasi massal di masa lalu.

Di darat, mereka mengandalkan punggung kuda untuk mengangkut penumpang, dan barang. Delman tak berkembang karena minimnya jalan raya. Maklum, topografi Jepang bergunung-gunung dan bersungai besar. 

Sulit untuk membangun jalan dan jembatan. Karena itu, kereta api menjadi transportasi massal darat yang pertama di Jepang, pada 14 Oktober 1872 (di masa restorasi Meiji).

Di Indonesia, kereta api publik dioperasikan 5 tahun lebih awal dari itu, yakni di Semarang pada 10 Agustus 1867. Ya, ketika delman menjadi moda transportasi di Indonesia di era 1850-an, secara bersamaan kereta api juga dibangun di Nusantara. 

Hanya saja, operatornya adalah perusahaan Belanda yakni Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIMS).

Jepang, di sisi lain, membangun rel kereta dengan mempekerjakan tim ahli dari Inggris. Namun demikian, urusan pendanaan dan pengoperasian tetap sepenuhnya di bawah kendali pemerintahan Meiji.

Berangkat dari beberapa perbedaan itu, negeri Oshin tersebut kini memiliki kereta supercepat Shinkansen. Di sisi lain, bangsa ini belum beranjak dari ‘masa delman’ karena menghadapi problem klasik seperti keterbatasan moda, overcapacity, dan jadwal karet.

Moda Utama
Di Jepang, kereta api menjadi moda transportasi utama, mengalahkan pesawat terbang. Salah satu keretanya, yakni JR-Maglev (magnetic levitation), tercatat di buku rekor dunia (2003) karena memiliki kecepatan tertinggi di dunia yakni 581 km/jam. 

Negara berpopulasi 130 juta jiwa itu juga unggul dalam hal infrastruktur kereta api. Jaringan kereta Jepang per 2007 mencapai 27.042 kilometer (km), yang sangat efektif mengintegrasikan empat pulau utamanya Hokkaido, Honshu, Kyushu, dan Shikoku.

Jaringan itu melampaui diameter bumi yang hanya 12.756, 27 kilometer. Jika diurutkan, jaringan itu bisa dipakai untuk menembus perut bumi, bolak-balik! Sebagai catatan, Indonesia hanya memiliki jaringan transportasi kereta sepanjang 5.000 km.

Misalkan rel kereta Jepang, yang panjangnya 20.071 km, dipindah ke Indonesia—yang keliling wilayahnya 5.100 km, tentu bisa dipakai untuk membuat sabuk rel-ganda mengitari ujung pulau terluar nusantara. 

Sekadar info, panjang rel Indonesia hanya 7.000 km, meski luas daratan kita 25 kali  lebih besar dari Jepang.

Keunggulan infrastruktur negara tersebut berbanding lurus dengan utilitasnya. Meski hanya menduduki peringkat lima dalam hal panjang rel—kalah dari Amerika Serikat, Rusia, China, Kanada, dan India, Jepang menduduki posisi pertama untuk urusan penumpang.

Utsubo Shota, pegawai Biro Perkeretaapian Jepang—yang in charge di Subdivisi Promosi Program dan Jasa Transportasi Kereta Internasional—mengatakan 22,92 miliar orang Jepang terangkut di kereta pada 2007, dengan rute 24.813 kilometer.

“Penumpang kereta di Tokyo, Nagoya, dan Osaka menyumbang 90% dari jumlah itu, atau sekitar 20 miliar penumpang. Dulu, kota besar kami juga mengalami kemacetan seperti Jakarta. Namun kini, banyak orang memilih kereta,” tuturnya.

Dengan 20 miliar orang diangkut per tahun, maka setiap harinya ada 53 juta orang penumpang yang diangkut dengan kereta api di tiga kota tersebut, tiap harinya. Ini sama seperti mengangkut seluruh penduduk Jakarta, plus penduduk Jawa Barat, setiap hari.

Sistem commuting yang mengedepankan presisi tinggi dan melibatkan puluhan juta orang perhari ini tentu tidak akan efektif tanpa kultur tertib dan adaptif penumpangnya. Apalagi, ketika rush hour.

Di sinilah ‘teori delman’ yang dikemukakan Fumuhiro memiliki justifikasinya. Ketertiban dan keteraturan tersebut tidak terlepas dari tradisi dan kultur masyarakat negeri Sakura ini yang tidak terbiasa membuang waktu menunggu.

“[Karena tidak mengenal sistem delman], orang Jepang pun dapat dengan mudah naik-turun kereta secara teratur dan cepat, meski dalam situasi yang sangat padat,” tutur pria yang seluruh rambutnya telah beruban tersebut.

Di sisi lain, berdasarkan pengamatan Bisnis selama kunjungan, ketepatan jadwal pemberangkatan pun ketat diimplementasikan oleh operator, sebagai konsekuensi alamiah di tengah jutaan penumpang yang bernafsu mengejar efisiensi waktu tersebut.

Presisi pun menjadi semacam obsesi dan kebanggan. Sehingga, di samping membanggakan zero accident, Jepang pun bisa memamerkan rata-rata keterlambatan moda transportasi canggih andalannya, Shinkanse, yang hanya: 6 detik.

Subscribe to: Post Comments (Atom)