Mimpi shinkansen di negeri delman 2
Ketika Jepang merintis Shinkansen di era 1950-an, banyak
kalangan—terutama politisi—menganggap proyek tersebut adalah ‘Yamato Kedua’dan
‘Tembok Raksasa China.’
Yamato adalah kapal perang prestisius terbesar di Jepang,
yang karam dibom Sekutu. Di sisi lain, Tembok Raksasa China dibangun untuk
menahan Mongol, tetapi malah dipercantik Dinasti Yuan (keturunan Mongol) yang
sempat menguasai China.
Namun, itu masa lalu. Kini, Shinkansen adalah ikon nasional.
Kebanggan itulah yang saya tangkap dari Keisuke Sakamoto ketika menyambut
peserta program Youth Global Leaders. Dia sempat bertugas di kedutaan
Jakarta pada 2002-2005.
Siang itu, dia memastikan kepada kami bahwa sebelum Jepang
membangun sistem transportasi perkotaan yang efektif dengan Shinkansen sebagai
ikon kemajuannya, problem kemacetan yang dia lihat dan rasakan di Jakarta juga
terjadi di Jepang.
“Pada 50 tahun yang lalu, kondisi [kemacetan] di Jepang
lebih parah dibandingkan dengan Jakarta. Namun kini, dengan berbagai moda
kereta cepat seperti Shinkansen, pemakaian mobil di kota besar pun berkurang,”
tuturnya di aula Bandara Sendai.
Sakamoto tidak membual. Sejarah Jepang mencatat kemunculan
frasa ‘mai kaa’ (my car) pada era 1970-an, yang menjadi penanda booming
mobil dan menjadi pemicu kemacetan di jalanan Jepang yang
karakteristiknya—dulu, secara tradisional memang—sempit.
Dalam Japan Railway & Transport Review (1997),
Mitsuhide Imashiro—seorang profesor di Daito Bunka University—mencatat
peralihan masyarakat ke mobil membuat porsi moda ini terhadap angkutan barang
dan penumpang naik menjadi 15% dan 39%.
Sebaliknya, kontribusi kereta turun menjadi 39% dan 76% pada
1960. Dus, Japanese National Railways—PT Kereta Api Indonesia (KAI)-nya
Jepang—menanggung kerugian pada 1964, justru ketika Shinkansen meluncur
perdana.
Angka itu kian memburuk pada 1970, ketika pangsa kereta
hanya 18% dan 49% untuk kedua bisnis itu, sedangkan porsi mobil naik menjadi
39% dan 48%. Puncaknya, pada 1980-an, kereta makin ditinggalkan dan hanya
meraih 8% dan 40% di kedua pasar.
Di hadapan kami, Ooizumi
Syouichi, Deputy Director East Japan Railway Company, Shikansen General
Rolloing Stock Center mengingat-ingat mengapa perusahaan pelat merah Jepang
tersebut mengalami defisit.
“Kala itu, saya belum masuk. Namun, setau saya defisit
terjadi karena sebagai BUMN, pengambilan keputusan JNR butuh birokrasi lama.
Apalagi ada faktor politik, sehingga yang dikedepankan bukannya kepentingan
publik,” tuturnya.
Perspektif lebih rinci bisa ditemukan dalam tulisan
Mitsuhide berjudul Changes in Japan Transport Market and JNR Privatization.
Defisit JNR tersebut coba diatasi dengan mendongkrak tarif tiket, memangkas
pekerja, dan mengemis pemerintah.
Hasilnya, pemogokan, politisi ikut angkat bicara, dan
pemerintah berutang demi mentransfusi JNR yang juga tak kunjung sembuh.
Walhasil, KAI-nya Jepang ini mencatat defisit 25 triliun yen pada 1987, setara
dengan Rp2.500 triliun.
Setelah itu, barulah mata politisi Jepang terbuka. Proposal
privatisasi JNR yang mengemuka sejak 1982 pun dikebut dan disepakati. East
Japan Railway (JR) Company, West Japan Railway Company, dan Japan Railway
Central dibentuk.
Ketiga badan swasta ini dicatatkan ke bursa efek Jepang
untuk meraup dana segar guna mengatasi persoalan keuangannya. Lalu, badan
restrukturisasi JNR pun dibentuk, berbarengan dengan Shinkansen Holding Co.
yang mengelola penyewaan Shinkansen.
Di sini, Shinkansen jadi penyelamat. Di tengah booming ekonomi
Jepang, armada canggih ini menyumbang pemasukan besar dengan loyalitas
penumpang yang tinggi. Pada tahun pertama operasi, East JR dan West JR meraup
laba operasi 340 miliar yen.
Tidak seperti yang ditakutkan politisi, privatisasi ‘KAI
Jepang’ tersebut tidak berujung pada lonjakan tarif tiket. Kenaikan sebesar 10%
hanya berlaku di rute tiga pulau yang sebelumnya menyumbang defisit yakni
Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku.
Di bawah kendali swasta, pengelolaan operasi kereta di Jepang
pun kian efisien. Tak ada kongkalikong di bawah kepentingan politik, selain
totalitas dan profesionalitas melayani kebutuhan pelanggan agar laba bertambah.
Hasilnya, Annual Japanese Urban Transport Report (2009)
mencatat kereta api di Jepang mengangkut 51,2% penumpang di tiga kota
terbesarnya (Tokyo, Nagoya, dan Osaka) per tahun, dengan peran mobil pribadi
39,4%, bus 6,5%, dan taksi 2,9%.
Dengan tingkat partisipasi tersebut, tidak heran jika
operator kereta itu terus memberi layanan profesional. Ini berbeda dari KAI
Jakarta yang terengah-engah jika dana public service obligation (PSO)
dicabut, meski penumpang berjubel.
Sebagai orang yang pernah tinggal di Jakarta Sakamoto yang
kini menjadi Direktur Perencanaan dan Pariwisata di Kementerian Lahan, Infrastruktur,
Transportasi, dan Turisme Jepang berbagi informasi seputar keberhasilan sistem
transportasi perkotaan.
Menurut dia, ada tiga aspek yang musti diperhatikan untuk
membuat sarana transportasi publik menjadi alat angkut favorit masyarakat yakni
aspek lingkungan, keselamatan, dan kenyamanan.
Dengan kereta listrik, masyarakat pun sadar untuk mengurangi
penggunaan mobil dan beralih ke kereta guna mengurangi polusi dan mendapat
kualitas kehidupan lebih baik di kota. Mereka mau menggantungkan nasib pada
kereta karena ada jaminan keselamatan.
“Contohnya, kemarin ketika gempa 11 Maret, semua Shinkansen
yang berjalan otomatis berhenti, karena kami telah memasang detektor gempa.
Jika gelombang pertama gempa muncul, Shinkansen akan menangkap sinyalnya dan
otomatis berhenti,” ujarnya.
Aspek kenyamanan pun mutlak harus ada, seperti jaminan bahwa
moda transportasi yang dioperasikan tepat waktu dan tidak berjubel. “Misalnya,
penumpang bus bisa tahu posisi bus yang ditunggu ada di mana, dengan melihat
layar monitor,” ujar Sakamoto.
Tak cuma sumbang saran, Jepang mendampingi pemerintah
membangun mass rapid transit (MRT) yang mulai digarap tahun ini. Proyek
bernilai Rp18 triliun itu ditargetkan selesai pada 2016, guna mengurangi
problem transportasi di ibukota tercinta yang birokrasinya terkenal lambat
seperti delman ini.
Betul bahwa delman harus dijaga sebagai warisan budaya.
Namun, kita tentu berharap moda transportasi modern bertambah di negeri ini,
dan berubah bukan hanya dari sisi teknologi, namun juga dari sisi manajemen.
Saatnya meninggalkan ‘birokrasi delman’ dalam membangun
infrastruktur transportasi. Jika Jepang bisa, kita juga pasti bisa.***
0 pendapat:
Post a Comment