Sunday, January 01, 2012

Mimpi shinkansen di negeri delman 2


Ketika Jepang merintis Shinkansen di era 1950-an, banyak kalangan—terutama politisi—menganggap proyek tersebut adalah ‘Yamato Kedua’dan ‘Tembok Raksasa China.’

Yamato adalah kapal perang prestisius terbesar di Jepang, yang karam dibom Sekutu. Di sisi lain, Tembok Raksasa China dibangun untuk menahan Mongol, tetapi malah dipercantik Dinasti Yuan (keturunan Mongol) yang sempat menguasai China.

Namun, itu masa lalu. Kini, Shinkansen adalah ikon nasional. Kebanggan itulah yang saya tangkap dari Keisuke Sakamoto ketika menyambut peserta program Youth Global Leaders. Dia sempat bertugas di kedutaan Jakarta pada 2002-2005.

Siang itu, dia memastikan kepada kami bahwa sebelum Jepang membangun sistem transportasi perkotaan yang efektif dengan Shinkansen sebagai ikon kemajuannya, problem kemacetan yang dia lihat dan rasakan di Jakarta juga terjadi di Jepang.

“Pada 50 tahun yang lalu, kondisi [kemacetan] di Jepang lebih parah dibandingkan dengan Jakarta. Namun kini, dengan berbagai moda kereta cepat seperti Shinkansen, pemakaian mobil di kota besar pun berkurang,” tuturnya di aula Bandara Sendai.

Sakamoto tidak membual. Sejarah Jepang mencatat kemunculan frasa ‘mai kaa’ (my car) pada era 1970-an, yang menjadi penanda booming mobil dan menjadi pemicu kemacetan di jalanan Jepang yang karakteristiknya—dulu, secara tradisional memang—sempit.

Dalam Japan Railway & Transport Review (1997), Mitsuhide Imashiro—seorang profesor di Daito Bunka University—mencatat peralihan masyarakat ke mobil membuat porsi moda ini terhadap angkutan barang dan penumpang naik menjadi 15% dan 39%.

Sebaliknya, kontribusi kereta turun menjadi 39% dan 76% pada 1960. Dus, Japanese National Railways—PT Kereta Api Indonesia (KAI)-nya Jepang—menanggung kerugian pada 1964, justru ketika Shinkansen meluncur perdana. 

Angka itu kian memburuk pada 1970, ketika pangsa kereta hanya 18% dan 49% untuk kedua bisnis itu, sedangkan porsi mobil naik menjadi 39% dan 48%. Puncaknya, pada 1980-an, kereta makin ditinggalkan dan hanya meraih 8% dan 40% di kedua pasar.

Di hadapan kami, Ooizumi Syouichi, Deputy Director East Japan Railway Company, Shikansen General Rolloing Stock Center mengingat-ingat mengapa perusahaan pelat merah Jepang tersebut mengalami defisit.

“Kala itu, saya belum masuk. Namun, setau saya defisit terjadi karena sebagai BUMN, pengambilan keputusan JNR butuh birokrasi lama. Apalagi ada faktor politik, sehingga yang dikedepankan bukannya kepentingan publik,” tuturnya.

Perspektif lebih rinci bisa ditemukan dalam tulisan Mitsuhide berjudul Changes in Japan Transport Market and JNR Privatization. Defisit JNR tersebut coba diatasi dengan mendongkrak tarif tiket, memangkas pekerja, dan mengemis pemerintah.

Hasilnya, pemogokan, politisi ikut angkat bicara, dan pemerintah berutang demi mentransfusi JNR yang juga tak kunjung sembuh. Walhasil, KAI-nya Jepang ini mencatat defisit 25 triliun yen pada 1987, setara dengan Rp2.500 triliun.

Privatisasi
Setelah itu, barulah mata politisi Jepang terbuka. Proposal privatisasi JNR yang mengemuka sejak 1982 pun dikebut dan disepakati. East Japan Railway (JR) Company, West Japan Railway Company, dan Japan Railway Central dibentuk.

Ketiga badan swasta ini dicatatkan ke bursa efek Jepang untuk meraup dana segar guna mengatasi persoalan keuangannya. Lalu, badan restrukturisasi JNR pun dibentuk, berbarengan dengan Shinkansen Holding Co. yang mengelola penyewaan Shinkansen.

Di sini, Shinkansen jadi penyelamat. Di tengah booming ekonomi Jepang, armada canggih ini menyumbang pemasukan besar dengan loyalitas penumpang yang tinggi. Pada tahun pertama operasi, East JR dan West JR meraup laba operasi 340 miliar yen.

Tidak seperti yang ditakutkan politisi, privatisasi ‘KAI Jepang’ tersebut tidak berujung pada lonjakan tarif tiket. Kenaikan sebesar 10% hanya berlaku di rute tiga pulau yang sebelumnya menyumbang defisit yakni Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku.

Di bawah kendali swasta, pengelolaan operasi kereta di Jepang pun kian efisien. Tak ada kongkalikong di bawah kepentingan politik, selain totalitas dan profesionalitas melayani kebutuhan pelanggan agar laba bertambah.

Hasilnya, Annual Japanese Urban Transport Report (2009) mencatat kereta api di Jepang mengangkut 51,2% penumpang di tiga kota terbesarnya (Tokyo, Nagoya, dan Osaka) per tahun, dengan peran mobil pribadi 39,4%, bus 6,5%, dan taksi 2,9%.

Dengan tingkat partisipasi tersebut, tidak heran jika operator kereta itu terus memberi layanan profesional. Ini berbeda dari KAI Jakarta yang terengah-engah jika dana public service obligation (PSO) dicabut, meski penumpang berjubel.

Sebagai orang yang pernah tinggal di Jakarta Sakamoto yang kini menjadi Direktur Perencanaan dan Pariwisata di Kementerian Lahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Turisme Jepang berbagi informasi seputar keberhasilan sistem transportasi perkotaan.

Menurut dia, ada tiga aspek yang musti diperhatikan untuk membuat sarana transportasi publik menjadi alat angkut favorit masyarakat yakni aspek lingkungan, keselamatan, dan kenyamanan.

Dengan kereta listrik, masyarakat pun sadar untuk mengurangi penggunaan mobil dan beralih ke kereta guna mengurangi polusi dan mendapat kualitas kehidupan lebih baik di kota. Mereka mau menggantungkan nasib pada kereta karena ada jaminan keselamatan.

“Contohnya, kemarin ketika gempa 11 Maret, semua Shinkansen yang berjalan otomatis berhenti, karena kami telah memasang detektor gempa. Jika gelombang pertama gempa muncul, Shinkansen akan menangkap sinyalnya dan otomatis berhenti,” ujarnya.

Aspek kenyamanan pun mutlak harus ada, seperti jaminan bahwa moda transportasi yang dioperasikan tepat waktu dan tidak berjubel. “Misalnya, penumpang bus bisa tahu posisi bus yang ditunggu ada di mana, dengan melihat layar monitor,” ujar Sakamoto.

Tak cuma sumbang saran, Jepang mendampingi pemerintah membangun mass rapid transit (MRT) yang mulai digarap tahun ini. Proyek bernilai Rp18 triliun itu ditargetkan selesai pada 2016, guna mengurangi problem transportasi di ibukota tercinta yang birokrasinya terkenal lambat seperti delman ini.

Betul bahwa delman harus dijaga sebagai warisan budaya. Namun, kita tentu berharap moda transportasi modern bertambah di negeri ini, dan berubah bukan hanya dari sisi teknologi, namun juga dari sisi manajemen.

Saatnya meninggalkan ‘birokrasi delman’ dalam membangun infrastruktur transportasi. Jika Jepang bisa, kita juga pasti bisa.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)