Menengok Warisan Sang Naga
Keseimbangan, adalah salah satu karakteristik ajaran
Zen Budha. Sejarah kuil Zuiganji sarat dengan filosofi tersebut, antara
pergolakan daimyo dan ketenangan biarawan.
Ketika pertama dibangun pada 828 M, Zuiganji adalah
kuil Budha beraliran Tendai, aliran yang diperkenalkan di Jepang oleh Saicho
pada 805. Pendirinya adalah seorang biksu bernama Ennin.
Kuil ini terletak di Matsushima, Sendai, distrik
Tohoku. Ia sempat dijuluki sebagai kuil Budha beraliran Tendai terindah di
distrik tersebut. Namun pada periode Shogun Kamakura (1192-1338), Zuiganji
berubah menjadi kuil Budha beraliran Zen.
Pada masa itu, sekte baru Budhisme bermunculan
menawarkan keselamatan di tengah membuncahnya keresahan sosial-politik. Salah
satunya adalah Zen yang mengedepankan kedisiplinan—cocok dengan karakter
militeristik shogun dan daimyo Jepang.
Pada periode demikian, Zuiganji berkembang menjadi
satu di antara 10 kuil Zen termasyhur di Jepang, Keredupan terjadi ketika sekte
Myoshinji, yang merupakan aliran Zen Budha dominan pada akhir era 1300-an,
membawahinya.
Selanjutnya pada masa Edo (era 1500-an), lahirlah
Date Masamune, pendiri klan Sendai. Menggantikan sang ayah pada usia 17 tahun,
Masamune memperluas pengaruh dengan menaklukkan daimyo (tuan tanah) sekitarnya.
Agresivitasnya memperluas wilayah dengan kekerasan
membuat ciut nyali para daimyo pesaingnya. Atas keberaniannya itu, Masamune
mendapat julukan ‘naga bermata satu,’ karena salah satu matanya cacat.
Helm perang Masamune yang berhiaskan bulan sabit
panjang di dahi, dikenal cukup provokatif dan menggentarkan nyali para
lawannya. Kini, helm tersebut menjadi salah satu simbol utama kota Sendai
modern.
Namun, Masamune tidak hanya dikenal karena
keberanian dan agresivitasnya dalam memperluas wilayah. Kepeduliannya pada
agama Zen Budha membuatnya melindungi kuil Zuiganji.
Di bawah perlindungannya, dia menjadikan Zuiganji
sebagai kuil utama Zen di distrik Tohoku. Kekerasan sikapnya terhadap pada
daimyo yang menjadi pesaingnya, bersanding dengan ketenangan lingkungan biara
tersebut.
Atas perintah Masamune, kuil tersebut diperluas dan
dibangun total, sesuai dengan rekomendasi guru spiritualnya, yang bernama Kosai
Soitsu. Cerita rakyat menyebutkan Masamune terlibat langsung menarik material
kuil dengan tali.
Pembangunan dimulai pada 1604 dengan menggunakan
kayu yang diangkut dari Gunung Kumano di Prefektur Wakayama. Perajin asal Kyoto
dan Kii dipekerjakan untuk mempermak bangunan tersebut, dan baru selesai pada
1609.
Ya, sikap keras dan pendekatan pedang Masamune
dalam berkuasa, diimbangi dengan sikap perlindungannya terhadap keheningan dan
spiritualitas yang menyublim di lingkungan kuil Zuiganji.
Belakangan, istri Masamune, yakni Megohime
(1568-1653) yang dikagumi atas kecantikan dan kecerdasannya memutuskan menjadi
biksuni. Wanita ini mendapat gelar biksuni; Yotokuin.
Rekonstruksi
Kini, pemerintah Jepang tengah merekonstruksi
banguan utama kuil ini yang luasnya mencapai 39 x 25,2 meter, belum termasuk
kuri (ruang masak kuil) yang berukuran 13,78 x 23,64 meter.
Proses tersebut berlangsung sejak September 2009,
dan dijadwalkan tuntas pada Maret 2016. Selama itu, Hondo (lapangan utama),
Nakamon (gerbang pusat), dan Onarimon (gerbang kiri) tertutup untuk publik,
tetapi bangunan lain terbuka untuk umum.
Salah satunya adalah aula multi-guna berisi tablet
naskah dan patung-patung kuno. Di kompleks yang sama, juga ada Zuiganji Art
Musem berisi artifak biara, prasasti, lukisan kuno, pedang pendek peninggalan
Masamune, hingga relik Budha.
Yang menarik, tentu saja aspek keindahan
bangunannya, yang merupakan ciri khas bangunan Zen Budha. Pintu berengsel dan
ranma (jendela kecil di atas pintu) dan dindingnya dipenuhi lukisan indah yang
menonjolkan ciri khas seni era Momoyama.
Langit-langit bangunan Kuri dihiasi cerobong asap yang
desainnya sangat pelik—dan dianggap kurang praktis. Di sela-sela kayu
penyangga, Masamune mengukirkan pola-pola kaligrafi dan sulur-sulur tanaman.
Namun, jangan salah. Langit-langit tersebut pada
1959 secara resmi diumumkan sebagai warisan nasional oleh pemerintah Jepang.
Ketika gempa berskala richter sembilan melanda, langit-langit pelik tersebut
lolos dari kerusakan.
Tidak cukup dengan itu, para biarawan di kompleks
kuil ini membangun situs peringatan dan tempat penyimpanan abu jenazah
(cinerarium) para biarawan suci di gua-gua di bukit batu cadas sekitar kuil.
Gua-gua tersebut dibangun pada masa Kamakura dengan
teknologi yang sederhana, dan masih digunakan hingga pada masa Edo. Keberadaan
gua ini membuat kawasan Matsushima di masa lalu disebut sebagai Koyasan Tohoku
(tanah suci untuk ke dunia selanjutnya).
Untuk bisa memasuki kuil ini, pengunjung harus
membayar tiket seharga 700 yen atau sekitar Rp70.000. Anak-anak dikenakan tiket
seharga 400 yen, atau Rp40.000. Diskon diberlakukan untuk rombongan berisi 30
orang lebih.
Dengan tarif tersebut, anda bisa menengok warisan keindahan sang 'naga bermata satu' Masamune, di balik sejarah brutalnya.
Dengan tarif tersebut, anda bisa menengok warisan keindahan sang 'naga bermata satu' Masamune, di balik sejarah brutalnya.
0 pendapat:
Post a Comment