Saturday, December 17, 2011

Menengok Warisan Sang Naga


Keseimbangan, adalah salah satu karakteristik ajaran Zen Budha. Sejarah kuil Zuiganji sarat dengan filosofi tersebut, antara pergolakan daimyo dan ketenangan biarawan.

Ketika pertama dibangun pada 828 M, Zuiganji adalah kuil Budha beraliran Tendai, aliran yang diperkenalkan di Jepang oleh Saicho pada 805. Pendirinya adalah seorang biksu bernama Ennin.

Kuil ini terletak di Matsushima, Sendai, distrik Tohoku. Ia sempat dijuluki sebagai kuil Budha beraliran Tendai terindah di distrik tersebut. Namun pada periode Shogun Kamakura (1192-1338), Zuiganji berubah menjadi kuil Budha beraliran Zen.

Pada masa itu, sekte baru Budhisme bermunculan menawarkan keselamatan di tengah membuncahnya keresahan sosial-politik. Salah satunya adalah Zen yang mengedepankan kedisiplinan—cocok dengan karakter militeristik shogun dan daimyo Jepang.

Pada periode demikian, Zuiganji berkembang menjadi satu di antara 10 kuil Zen termasyhur di Jepang, Keredupan terjadi ketika sekte Myoshinji, yang merupakan aliran Zen Budha dominan pada akhir era 1300-an, membawahinya.

Selanjutnya pada masa Edo (era 1500-an), lahirlah Date Masamune, pendiri klan Sendai. Menggantikan sang ayah pada usia 17 tahun, Masamune memperluas pengaruh dengan menaklukkan daimyo (tuan tanah) sekitarnya.

Agresivitasnya memperluas wilayah dengan kekerasan membuat ciut nyali para daimyo pesaingnya. Atas keberaniannya itu, Masamune mendapat julukan ‘naga bermata satu,’ karena salah satu matanya cacat.

Helm perang Masamune yang berhiaskan bulan sabit panjang di dahi, dikenal cukup provokatif dan menggentarkan nyali para lawannya. Kini, helm tersebut menjadi salah satu simbol utama kota Sendai modern.

Namun, Masamune tidak hanya dikenal karena keberanian dan agresivitasnya dalam memperluas wilayah. Kepeduliannya pada agama Zen Budha membuatnya melindungi kuil Zuiganji.

Di bawah perlindungannya, dia menjadikan Zuiganji sebagai kuil utama Zen di distrik Tohoku. Kekerasan sikapnya terhadap pada daimyo yang menjadi pesaingnya, bersanding dengan ketenangan lingkungan biara tersebut.

Atas perintah Masamune, kuil tersebut diperluas dan dibangun total, sesuai dengan rekomendasi guru spiritualnya, yang bernama Kosai Soitsu. Cerita rakyat menyebutkan Masamune terlibat langsung menarik material kuil dengan tali.

Pembangunan dimulai pada 1604 dengan menggunakan kayu yang diangkut dari Gunung Kumano di Prefektur Wakayama. Perajin asal Kyoto dan Kii dipekerjakan untuk mempermak bangunan tersebut, dan baru selesai pada 1609.

Ya, sikap keras dan pendekatan pedang Masamune dalam berkuasa, diimbangi dengan sikap perlindungannya terhadap keheningan dan spiritualitas yang menyublim di lingkungan kuil Zuiganji.

Belakangan, istri Masamune, yakni Megohime (1568-1653) yang dikagumi atas kecantikan dan kecerdasannya memutuskan menjadi biksuni. Wanita ini mendapat gelar biksuni; Yotokuin.

Rekonstruksi
Kini, pemerintah Jepang tengah merekonstruksi banguan utama kuil ini yang luasnya mencapai 39 x 25,2 meter, belum termasuk kuri (ruang masak kuil) yang berukuran 13,78 x 23,64 meter.

Proses tersebut berlangsung sejak September 2009, dan dijadwalkan tuntas pada Maret 2016. Selama itu, Hondo (lapangan utama), Nakamon (gerbang pusat), dan Onarimon (gerbang kiri) tertutup untuk publik, tetapi bangunan lain terbuka untuk umum.

Salah satunya adalah aula multi-guna berisi tablet naskah dan patung-patung kuno. Di kompleks yang sama, juga ada Zuiganji Art Musem berisi artifak biara, prasasti, lukisan kuno, pedang pendek peninggalan Masamune, hingga relik Budha.

Yang menarik, tentu saja aspek keindahan bangunannya, yang merupakan ciri khas bangunan Zen Budha. Pintu berengsel dan ranma (jendela kecil di atas pintu) dan dindingnya dipenuhi lukisan indah yang menonjolkan ciri khas seni era Momoyama.

Langit-langit bangunan Kuri dihiasi cerobong asap yang desainnya sangat pelik—dan dianggap kurang praktis. Di sela-sela kayu penyangga, Masamune mengukirkan pola-pola kaligrafi dan sulur-sulur tanaman.

Namun, jangan salah. Langit-langit tersebut pada 1959 secara resmi diumumkan sebagai warisan nasional oleh pemerintah Jepang. Ketika gempa berskala richter sembilan melanda, langit-langit pelik tersebut lolos dari kerusakan.

Tidak cukup dengan itu, para biarawan di kompleks kuil ini membangun situs peringatan dan tempat penyimpanan abu jenazah (cinerarium) para biarawan suci di gua-gua di bukit batu cadas sekitar kuil.

Gua-gua tersebut dibangun pada masa Kamakura dengan teknologi yang sederhana, dan masih digunakan hingga pada masa Edo. Keberadaan gua ini membuat kawasan Matsushima di masa lalu disebut sebagai Koyasan Tohoku (tanah suci untuk ke dunia selanjutnya).

Untuk bisa memasuki kuil ini, pengunjung harus membayar tiket seharga 700 yen atau sekitar Rp70.000. Anak-anak dikenakan tiket seharga 400 yen, atau Rp40.000. Diskon diberlakukan untuk rombongan berisi 30 orang lebih. 

Dengan tarif tersebut, anda bisa menengok warisan keindahan sang 'naga bermata satu' Masamune,  di balik sejarah brutalnya.

Subscribe to: Post Comments (Atom)