Tuesday, November 01, 2011

Artefak negeri tiga kereta

“Hayabusa..!” Mamoru, bocah berusia 10 tahun, berteriak girang menyebut miniatur kereta shinkansen seri E-5 yang melaju melingkar-lingkar di dalam diorama jaringan kereta api Tokyo seluas 8 x 6 meter persegi.

Mamoru adalah satu dari sekian banyak anak-anak Jepang yang mengunjungi aula Railway Museum hari itu, 21 Februari. Matanya berbinar-binar memperhatikan shinkansen-shinkansen kecil yang meluncur di diorama berskala 1:80 tersebut.

Railway Museum didirikan East Japan Railway Culture Foundation pada 2007 di kota Omiya, prefektur Saitama. Museum ini dibangun oleh pemerintah Jepang dan perusahaan kereta tersebut, menyedot dana sebesar 12,5 miliar yen (sekitar Rp1,2 triliun).

Museum ini merupakan salah satu pengganti Tokyo Transportation Museum, yang semula menjadi tempat tujuan utama wisatawan museum kereta di Jepang. Setelah museum tersebut ditutup, sebagian koleksinya dipindah ke museum Saitama.

Sebanyak 30 gerbong penumpang, lokomotif, dan kompartemen kereta terdapat di dalam museum seluas 42.500 meter persegi (m2) tersebut. Ruang pamerannya sendiri mencapai 9.500 m2.

Setiap hari, museum yang terintegrasi dengan stasiun Tetsudo Hakubutsukan ini dikunjungi 3.000 pengunjung per hari, menunjukkan tingginya antusiasme warga Jepang menikmati artefak kejayaan industri kereta di negeri mereka.

“Pada hari libur, pengunjung museum bisa mencapai 5.000 orang per hari,” tutur Fumihiro Araki, Deputy Director Railway Museum, yang hari itu memandu para peserta Japan East Asia Network of Exchange for Students and Youths dari Indonesia.

Antusiasme tersebut bersambut dengan fasilitas museum yang sangat lengkap, mulai dari diorama, kafe, tokosuvenir dan buku perkereta-apian, arena video, aula multi-fungsi, balkon, arena bermain anak-anak, hingga pusat riset.

Semuanya tersebar di tiga zona berbeda, yakni zona masuk, zona sejarah, dan zona pembelajaran.

Di zona sejarah, kita bisa menyaksikan lokomotif tertua di Jepang, yakni loko uap No. 1 (Class 150, asal Inggris) yang beroperasi di pulau Honshu dan loko uap Benkei (jenis Class 7100, asal Amerika Serikat) yang dioperasikan di pulau Hokkaido.

“Jepang mengambil teknologi jaringan kereta dari Inggris dan Amerika Serikat untuk pulau yang berbeda. Ada juga kereta berteknologi Jerman yang dipakai di pulau Kyushu,” tutur Fumihiro. 

Ya, sejarah perkereta-apian Jepang memang berhulu dari tiga negara, yang masing-masing memiliki teknologi kereta uap sendiri-sendiri. Loko No.1 merupakan produksi Inggris, loko Benkei produksi Amerika Serikat, dan loko Class 4 produksi Jerman.

Berawal dari tiga teknologi kereta itu, Jepang beberapa dasawarsa kemudian membangun kereta listrik sendiri hingga berhasil melahirkan kereta supercepat terkenal di dunia, yakni shinkansen. Kereta ini kini menjadi ikon kemajuan transportasi Jepang.

Di museum ini, anda bisa menemukan lokomotif shinkansen pertama yakni Tokaido, yang diluncurkan pada April 1959. Pengunjung bisa ikut merasakan eforia kemeriahan peluncuran itu melalui video, hingga koleksi memorabilia komik, banner iklan, pena, dan berbagai merchandise bertema shinkansen saat itu.

Simulasi Masinis
Setelah puas menikmati sejarah perkembangan kereta di Jepang, pengunjung bisa mencicipi pengalaman dengan mencoba fasilitas simulator mengemudikan kereta di museum ini.

Fasilitas simulator  ini terletak di zona masuk, sama dengan diorama jaringan kereta Tokyo. Di sini, kita bisa mencoba langsung tugas seorang masinis, mulai dari masinis kereta uap, kereta listrik, hingga shinkansen!

Hanya saja, pengunjung harus melakukan pemesanan jauh-jauh hari, mengingat tingginya permintaan masyarakat atas fasilitas ini. Kita akan dikenakan biaya ekstra 500 yen, sekitar Rp50.000.

Wawasan perkeretaapian anda pun dipastikan bertambah, jika serius mengikuti program di zona pembelajaran. Di situ terdapat pameran laboratorium bagan kereta dan pameran prinsip dan mekanisme kerja kereta Jepang.

Yang tak kalah uniknya, kita bisa melihat demonstrasi sistem ‘pemarkiran’ loko, dengan menggunakan jembatan berputar, yang tersambung dengan beberapa rel kereta yang menghubungkan antara ‘kandang’ loko dengan jalur keluar menuju rel utama.

Jika bermaksud mengunjungi salah satu museum utama Tokyo ini, anda bisa menumpang armada Saitama Shintoshi Kotsu, dari stasiun Omiya menuju perhentian pertama di stasiun Tetsudo Hakubutsukan. Dari situ, kita cukup jalan beberapa meter menuju pintu masuk.


Museum ini buka setiap pukul 10:00-18:00, dan tutup setiap Selasa serta tahun baru. Untuk bisa masuk dan menikmati fasilitas yang ada, pengunjung harus merogoh kocek sekitar 1.000 yen, setara dengan Rp100.000.

Khusus bagi pengunjung Indonesia, koleksi kereta di museum ini mau tidak mau membuat kita agak tersipu, karena beberapa gerbong penumpang kereta listrik (KRL) yang dipamerkan mirip dengan gerbong yang sekarang masih melintasi Jabodetabek.

Subscribe to: Post Comments (Atom)