Dilema Dow Jones dan ‘trauma’ 2008
Indeks apa yang paling
dianggap mewakili pergerakan bursa Amerika Serikat dan—secara bersamaan—benchmark
psikologi pasar global? Hampir bisa dipastikan, jawabannya pasti Dow Jones.
Dow Jones Industrial Average
(DJIA) adalah rerata harga 30 saham blue chips yang pada umumnya menjadi
pemimpin tiap sektor industri di Amerika Serikat (AS). Indeks ini dijadikan
indikator pergerakan pasar Amerika Serikat (AS) sejak 1 Oktober 1928.
Indeks tersebut terus melaju dan kini menyentuh level
psikologis 12.000. Semua terlihat baik-baik saja, bukan? Namun, mari coba
melihat lebih dalam, menyelam di bawah permukaan ‘ombak’ Dow Jones yang
naik-turun mengikuti sentimen krisis Eropa.
Di balik reli tersebut, Dow Jones tidak lagi sama. Krisis subprime
mortgage loan (kredit pemilikan rumah abal-abal) yang pecah pada 2008—dan
menjadi bola salju krisis ekonomi AS—meninggalkan luka serius di bursa terbesar
dunia ini.
Krisis 2008 yang merupakan terparah sejak depresi akbar ini
seolah memutar kembali sejarah, menghadapkan Dow Jones pada hantu masa lalu,
melemparkannya kembali pada kondisi great depression pada 1930, yang
dihadapi 2 tahun ketika indeks ini diluncurkan.
Cobalah tengok volume transaksinya, yang melorot dari 19,4
miliar lot pada kuartal I/2008 (ketika krisis belum ditanggapi serius), menjadi
14,9 miliar lot pada kuartal II/2008 (ketika pasar sadar akan situasi buruk
tersebut).
Pada kuartal IV/2011, setelah 3 tahun berselang, volume
transaksi yang membentuk indeks ini hanya 10,5 miliar lot, terpangkas 45,88%
atau hampir separuh dari kondisi pra-krisis 2008.
Dengan kata lain, energi
transaksi Dow Jones tidak seperti yang dulu, meski dengan deretan dolar lebih
besar.
“Jadi, tidak tepat jika menganggap pelaku pasar di AS
semakin optimistis dengan perekonomian mereka. Sebaliknya, mereka memilih
mengurangi investasi di saham unggulan bursa mereka [Dow Jones],” ujar analis
independen Daryl Guppy, dalam sebuah seminar di Jakarta belum lama ini.
Indeks Dow Jones, lanjutnya, seharusnya tidak diposisikan sebagai
indikator yang merepresentasikan psikologi pelaku pasar AS, apalagi jika
dianggap mewakili ekspektasi perekonomian negara adidaya tersebut.
Pada kenyataannya, indeks itu hanya berisi 30 saham
berkinerja terbaik, yang dikaji keanggotannya setiap kuartal.
“Jadi jika ada
saham yang berkinerja buruk, langsung dikeluarkan keangggotannya sehingga tidak
membebani pergerakan indeks ini. Itulah mengapa kenaikan Dow Jones tidak bisa
merepresentasikan seluruh saham AS,” ujarnya.
Menurut dia, turunnya volume indeks ini merupakan efek
kebijakan moneter longgar (quantitative easing) pemerintah AS, sehingga
pelaku mendapat dana murah yang kemudian dipakai ekspansi ke luar negeri, dan
bukannya berinvestasi di bursa sendiri.
Analis PT Equator Securities
Gina Novrina Nasution menilai saat ini memang ada semacam krisis kepercayaan di
kalangan investor saham AS, sehingga mereka memilih berekspansi ke bursa negara
yang ekonominya tumbuh dua digit.
“Mereka berekspektasi ke Asia dan Eropa sebelum muncul
krisis Yunani. Namun kini ada kekhawatiran juga di bursa kita, semacam trauma
2008, sehingga pemodal sekarang mudah profit taking dan indeks harga
saham gabungan [IHSG] sulit melesat,” ujarnya.
Trauma itu terlihat pada 22 September 2011 ketika indeks
anjlok, melanjutkan tren koreksi Agustus. Pada akhir tahun lalu, volume
transaksi di bursa Indonesia juga menciut dari 274 miliar pada kuartal
III/2011, menjadi 219 miliar pada kuartal IV/2011.
Gina menduga ketakutan tersebut juga membuat efek January
effect—yakni kenaikan bursa pada bulan pertama transaksi dan biasanya
terjadi setiap tahun—sempat tertunda. “January effect baru terasa pada
pekan kedua dan ketiga Januari. Itupun tidak lama. Jadi memang kondisi bursa
tidak tentu,” ujarnya.
Sepanjang tahun berjalan, IHSG naik 4%. Berkebalikan dari
Dow Jones, volume transaksi bursa Indonesia tidak terpukul krisis 2008. Pada
kuartal IV/2011, volume transaksi mencapai 219 miliar transaksi, hampir dua
kali lipat dari posisi kuartal II/2008 sebesar 127 miliar.
“Seharusnya kita tidak hanya mengacu ke Dow Jones, karena
sekarang investor lebih memperhatikan isu Eropa. Namun saya melihat indikator
ekonomi AS saat ini terus menunjukkan perbaikan, tidak seperti di Eropa,” ujar
Gina.
Terpisah, Kepala Riset PT Universal Broker Satrio Utomo
menilai pergerakan indeks Dow Jones hanyalah mencerminkan 30 saham pilihan di
bursa AS, yang dinilai berkapitalisasi pasar besar dan bertingkat likuiditas
tinggi, dan bukan optimisme pasar atau perekonomian AS.
“Kalau mau lebih komprehensif, seharusnya pelaku pasar
melihat pada indeks S&P yang cakupannya lebih besar untuk mengukur kondisi
pasar Amerika Serikat karena mencakup lebih banyak saham dibandingkan dengan
indeks Dow Jones,” tuturnya.
Indeks S&P beranggotakan 500 saham di bursa AS, yang
dirancang untuk mengukur kondisi ekonomi domestik melalui perubahan nilai
kapitalisasi pasar secara agregat dari 500 saham yang mewakili seluruh industri
utama.
Menurut Satrio, Dow Jones sering dianggap merepresentasikan
pasar AS. Padahal, indeks ini tidak mewakili pergerakan bursa Wall Street sama
sekali, mengingat saham-saham yang anjlok bisa dikeluarkan, tidak seperti IHSG
yang variabelnya tetap.
“Jadi, sebenarnya pengetahuan investor atau pembaca juga
kurang mengenai indeks acuan ini,” ungkapnya.
Di sisi lain, Analis PT Valbury Asia Securities Alfiansyah
menilai investor sebaiknya menjadikan indeks Dow Jones sebagai acuan untuk
melihat saham-saham AS apa yang cukup baik untuk investasi.
Meski tidak mencerminkan pergerakan seluruh saham, namun
indeks ini mencakup saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan penggerak
pasar. “Jadi kalau di Indonesia, Dow Jones itu seperti LQ-45. Investor
melihatnya dari sana, karena merepresentasikan saham-saham unggulan dan bisa
dijadikan referensi investasi,” terangnya.
Dengan kondisi demikian, tidak heran jika sepanjang tahun
lalu Dow Jones mencatat penguatan terbesar di antara indeks bursa negara maju
karena memang berisi saham terbaik. Selama setahun, Dow Jones mencetak gain sebesar
5%.
Gain tertinggi itu tentu wajar, karena Dow Jones
memang dirancang untuk mewakili performa terbaik saham-saham AS, dengan rutin
menyortir efek-efek yang berkinerja buruk tiap 3 bulan.
Namun, jika IHSG yang beranggotakan 433 saham mengekor pergerakan indeks 30 saham ini karena persepsi bahwa indeks tersebut mewakili bursa global dan ekspektasi ekonomi AS, ini tentu sebuah dilema, terutama tatkala investor mash 'trauma.'
0 pendapat:
Post a Comment