Sunday, April 01, 2012

Dilema Dow Jones dan ‘trauma’ 2008


Indeks apa yang paling dianggap mewakili pergerakan bursa Amerika Serikat dan—secara bersamaan—benchmark psikologi pasar global? Hampir bisa dipastikan, jawabannya pasti Dow Jones.

Dow Jones Industrial Average (DJIA) adalah rerata harga 30 saham blue chips yang pada umumnya menjadi pemimpin tiap sektor industri di Amerika Serikat (AS). Indeks ini dijadikan indikator pergerakan pasar Amerika Serikat (AS) sejak 1 Oktober 1928.

Indeks tersebut terus melaju dan kini menyentuh level psikologis 12.000. Semua terlihat baik-baik saja, bukan? Namun, mari coba melihat lebih dalam, menyelam di bawah permukaan ‘ombak’ Dow Jones yang naik-turun mengikuti sentimen krisis Eropa.

Di balik reli tersebut, Dow Jones tidak lagi sama. Krisis subprime mortgage loan (kredit pemilikan rumah abal-abal) yang pecah pada 2008—dan menjadi bola salju krisis ekonomi AS—meninggalkan luka serius di bursa terbesar dunia ini.

Krisis 2008 yang merupakan terparah sejak depresi akbar ini seolah memutar kembali sejarah, menghadapkan Dow Jones pada hantu masa lalu, melemparkannya kembali pada kondisi great depression pada 1930, yang dihadapi 2 tahun ketika indeks ini diluncurkan.

Cobalah tengok volume transaksinya, yang melorot dari 19,4 miliar lot pada kuartal I/2008 (ketika krisis belum ditanggapi serius), menjadi 14,9 miliar lot pada kuartal II/2008 (ketika pasar sadar akan situasi buruk tersebut).

Pada kuartal IV/2011, setelah 3 tahun berselang, volume transaksi yang membentuk indeks ini hanya 10,5 miliar lot, terpangkas 45,88% atau hampir separuh dari kondisi pra-krisis 2008. 

Dengan kata lain, energi transaksi Dow Jones tidak seperti yang dulu, meski dengan deretan dolar lebih besar.

“Jadi, tidak tepat jika menganggap pelaku pasar di AS semakin optimistis dengan perekonomian mereka. Sebaliknya, mereka memilih mengurangi investasi di saham unggulan bursa mereka [Dow Jones],” ujar analis independen Daryl Guppy, dalam sebuah seminar di Jakarta belum lama ini.

Indeks Dow Jones, lanjutnya, seharusnya tidak diposisikan sebagai indikator yang merepresentasikan psikologi pelaku pasar AS, apalagi jika dianggap mewakili ekspektasi perekonomian negara adidaya tersebut.

Pada kenyataannya, indeks itu hanya berisi 30 saham berkinerja terbaik, yang dikaji keanggotannya setiap kuartal. 

“Jadi jika ada saham yang berkinerja buruk, langsung dikeluarkan keangggotannya sehingga tidak membebani pergerakan indeks ini. Itulah mengapa kenaikan Dow Jones tidak bisa merepresentasikan seluruh saham AS,” ujarnya.

Menurut dia, turunnya volume indeks ini merupakan efek kebijakan moneter longgar (quantitative easing) pemerintah AS, sehingga pelaku mendapat dana murah yang kemudian dipakai ekspansi ke luar negeri, dan bukannya berinvestasi di bursa sendiri.

Trauma 2008
Analis PT Equator Securities Gina Novrina Nasution menilai saat ini memang ada semacam krisis kepercayaan di kalangan investor saham AS, sehingga mereka memilih berekspansi ke bursa negara yang ekonominya tumbuh dua digit.

“Mereka berekspektasi ke Asia dan Eropa sebelum muncul krisis Yunani. Namun kini ada kekhawatiran juga di bursa kita, semacam trauma 2008, sehingga pemodal sekarang mudah profit taking dan indeks harga saham gabungan [IHSG] sulit melesat,” ujarnya.

Trauma itu terlihat pada 22 September 2011 ketika indeks anjlok, melanjutkan tren koreksi Agustus. Pada akhir tahun lalu, volume transaksi di bursa Indonesia juga menciut dari 274 miliar pada kuartal III/2011, menjadi 219 miliar pada kuartal IV/2011.

Gina menduga ketakutan tersebut juga membuat efek January effect—yakni kenaikan bursa pada bulan pertama transaksi dan biasanya terjadi setiap tahun—sempat tertunda. “January effect baru terasa pada pekan kedua dan ketiga Januari. Itupun tidak lama. Jadi memang kondisi bursa tidak tentu,” ujarnya.

Sepanjang tahun berjalan, IHSG naik 4%. Berkebalikan dari Dow Jones, volume transaksi bursa Indonesia tidak terpukul krisis 2008. Pada kuartal IV/2011, volume transaksi mencapai 219 miliar transaksi, hampir dua kali lipat dari posisi kuartal II/2008 sebesar 127 miliar.

“Seharusnya kita tidak hanya mengacu ke Dow Jones, karena sekarang investor lebih memperhatikan isu Eropa. Namun saya melihat indikator ekonomi AS saat ini terus menunjukkan perbaikan, tidak seperti di Eropa,” ujar Gina.

Terpisah, Kepala Riset PT Universal Broker Satrio Utomo menilai pergerakan indeks Dow Jones hanyalah mencerminkan 30 saham pilihan di bursa AS, yang dinilai berkapitalisasi pasar besar dan bertingkat likuiditas tinggi, dan bukan optimisme pasar atau perekonomian AS.

“Kalau mau lebih komprehensif, seharusnya pelaku pasar melihat pada indeks S&P yang cakupannya lebih besar untuk mengukur kondisi pasar Amerika Serikat karena mencakup lebih banyak saham dibandingkan dengan indeks Dow Jones,” tuturnya.

Indeks S&P beranggotakan 500 saham di bursa AS, yang dirancang untuk mengukur kondisi ekonomi domestik melalui perubahan nilai kapitalisasi pasar secara agregat dari 500 saham yang mewakili seluruh industri utama.

Menurut Satrio, Dow Jones sering dianggap merepresentasikan pasar AS. Padahal, indeks ini tidak mewakili pergerakan bursa Wall Street sama sekali, mengingat saham-saham yang anjlok bisa dikeluarkan, tidak seperti IHSG yang variabelnya tetap.

“Jadi, sebenarnya pengetahuan investor atau pembaca juga kurang mengenai indeks acuan ini,” ungkapnya.

Di sisi lain, Analis PT Valbury Asia Securities Alfiansyah menilai investor sebaiknya menjadikan indeks Dow Jones sebagai acuan untuk melihat saham-saham AS apa yang cukup baik untuk investasi.

Meski tidak mencerminkan pergerakan seluruh saham, namun indeks ini mencakup saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan penggerak pasar. “Jadi kalau di Indonesia, Dow Jones itu seperti LQ-45. Investor melihatnya dari sana, karena merepresentasikan saham-saham unggulan dan bisa dijadikan referensi investasi,” terangnya.

Dengan kondisi demikian, tidak heran jika sepanjang tahun lalu Dow Jones mencatat penguatan terbesar di antara indeks bursa negara maju karena memang berisi saham terbaik. Selama setahun, Dow Jones mencetak gain sebesar 5%.

Gain tertinggi itu tentu wajar, karena Dow Jones memang dirancang untuk mewakili performa terbaik saham-saham AS, dengan rutin menyortir efek-efek yang berkinerja buruk tiap 3 bulan.

Namun, jika IHSG yang beranggotakan 433 saham mengekor pergerakan indeks 30 saham ini karena persepsi bahwa indeks tersebut mewakili bursa global dan ekspektasi ekonomi AS, ini tentu sebuah dilema, terutama tatkala investor mash 'trauma.'

Subscribe to: Post Comments (Atom)