Friday, April 01, 2011

Cari posisi jelang ‘bom’ Maret

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup pada level 3.346,06 atau terkoreksi 1% melanjutkan tren koreksi hari-hari sebelumnya. Kegelisahan seputar dampak pembatasan BBM pun mengemuka.

Sepanjang tahun berjalan, akumulasi koreksi bursa telah mencapai 9,65% atau 357,45 poin, menggerogoti seperempat lebih kenaikan tahun lalu sebesar 1.200 poin. Dan layak dicatat, fenomena ini terjadi hanya dalam tiga pekan perdagangan.

Jamak diketahui, sifat pasar modal adalah antisipatif. Pemodal mengantisipasi kondisi yang belum terjadi, dengan memfaktorkan ekspektasi mereka atas kondisi ke depan, dalam pergerakan harga saham sekarang.

Itulah yang mungkin menjelaskan mengapa indeks harga saham gabungan (IHSG) tersuruk kurang dari sebulan. Lupakanlah sejenak tentang mundurnya likuiditas global, menyusul sikap aksi ambil untung (profit taking) pemodal asing.

Untuk sementara, lupakan juga soal anggapan bahwa Bank Indonesia (BI) terlambat merespon kenaikan inflasi sebesar 6,96%, melampaui ekspektasi semla sebesar 5%, dengan membiarkan suku bunga di posisi sekarang sebesar 6,5%.

Dalam salah satu laporannya, tim riset PT eTrading Securities mengajak kita membawa ingatan pada peristiwa lima tahun lalu, yang mungkin perlu menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil posisi di bursa awal tahun ini.

Pada Maret 2005, Susilo Bambang Yudhoyono melanggar janji untuk tidak menaikkan harga BBM, dengan mendongkrak harga premium sebesar 32% dari Rp1.800 menjadi Rp2.400. Selang 7 bulan, harga bensin kembali dikerek, sebesar 87,5% dari Rp2.400 ke Rp4.500.

Akibatnya, inflasi terus melambung dari 7,15% pada Februari menjadi 9.06% pada September, kembali melejit hingga 17,89% pada Oktober 2005. Suku bunga moneter (BI Rate) juga melonjak dari 10% pada September, menjadi 12,75% pada Desember.

Sejarah mencatat bursa saham sepanjang 2005 itu hanya mampu menguat 16%. Sempat menyentuh titik tertinggi pada akhir Juli di level 1.182,30, IHSG turun 10% ke level terendah 1.066,22 pada akhir Oktober.

Kini, dengan inflasi mendekati 7% seperti Februari 2005, pemerintah akan melarang mobil nonpelat kuning membeli bensin premium. Imbasnya, harga energi naik 66,66%, dari konsumsi premium (seharga Rp4.500 per liter) menjadi pertamax (seharga Rp7.500 per liter).

Tidak heran, Ekonom PT Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa dalam estimasinya menemukan bahwa kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut akan menambah lonjakan inflasi tahun ini setidaknya sebesar 1,5%.

“Pembatasan subsidi BBM bisa berdampak inflasi lebih tinggi karena memicu kenaikan harga. Inflasi bisa naik 1,5% menjadi 7,5%-8% dan BI menaikkan suku bunga pada April dan Mei,” jelasnya dalam paparan ekonomi 2010, Rabu pekan lalu.

Memilah saham
Kepala riset PT eTrading Securities Betrand Raynaldi menilai kekhawatiran inflasi menjadi salah satu pemicu koreksi bursa akhir-akhir di tengah aksi ambil untung pemodal global seperti yang terjadi dalam reksa dana yang bisa diperdagangkan (ETF) iShares MSCI Indonesia.

“Di tengah kondisi seperti ini, pemodal harus jeli memilah saham-saham yang anti inflasi untuk transaksi jangka pendek, dan saham-saham rawan inflasi yang bisa terkoreksi lebih dalam,” ujarnya akhir pekan lalu.

Kombinasi kenaikan harga pangan dan biaya energi akan memaksa BI menaikkan suku bunga guna mengendalikan inflasi. Pada akhirnya, situasi ini berujung pada kenaikan biaya pendanaan (cost of fund) dan penurunan daya beli.

Pada akhirnya, perusahaan yang mempunyai utang rupiah dengan suku bunga mengambang akan menanggung lonjakan biaya bunga yang akan menekan profitabilitas mereka. Konsumsi masyarakat pun menurun jika BI Rate meningkat.

Tim riset eTrading mencatat kenaikan BBM pada Maret 2005 membanting kinerja tiga sektor saham, yakni properti, keuangan, dan industri dasar. Pergerakan saham properti tercatat minus 8,5%, demikian juga dengan perbankan yang turun 0,12%.

Sebaliknya, industri-industri yang mempunyai korelasi positif terhadap kenaikan minyak dunia karena memproduksi barang substitusinya masih membukukan kenaikan seperti batu bara, minyak sawit, dan gas.

Namun, tentu saja faktor fundamental menjadi pertimbangan tersendiri dalam memilih saham yang tahan banting terhadap ancaman bom Maret ini. “Terbukti pada 2005, meski saham-saham lain yang berada dalam satu industri sedang turun, emiten yang berfundamental kuat masih menunjukan pertumbuhan stabil,” papar Betrand.

Menanggapi kondisi tersebut, Kepala riset PT Macquarie Capital Securities Indonesia Ferry Wong menilai pembatasan BBM bersubsidi memang menjadi salah satu risiko penekan tingkat inflasi tahun ini.

“Selain inflasi, ada juga kekhawatiran perpindahan dana dari Asia Tenggara ke pasar negara maju seperti Hongkong dan Taiwan. Pola investasi di bursa akan sama seperti pada 2005,” tuturnya.

Namun demikian, lanjutnya, korelasi kebijakan pembatasan subsidi BBM dengan inflasi tahun ini tidak sepenuhnya sama dengan 2005, karena hanya berlaku di Jakarta sehingga dampaknya terhadap perekonmian tidak separah pada 2005.

Subscribe to: Post Comments (Atom)