Tuesday, March 01, 2011

Kejar laba dari inflasi ke inflasi

Ketika Indeks harga saham gabungan (IHSG) tersuruk ketiga kali pada Selasa lalu, pisau analisis mengarah pada Bank Indonesia (BI) yang dinilai telat merespon pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS).

Koreksi terjadi sejak 6 Januari dari level 3.783,71 yang berlanjut hingga 11 Januari ke level 3.554,77. Praktis, indeks berkurang 6,44% hanya dalam empat hari menjadi koreksi terpanjang tahun ini.

Pada awalnya, hampir semua analis riset harian menuding inflasi tahunan sebagai biang koreksi. Kenaikan inflasi sebesar 6,96% diduga mendorong pemodal asing keluar dari bursa, diikuti pemodal domestik.

Beberapa analisis tersebut misalnya dikemukakan dalam riset harian PT E-Trading Securities, PT Kresna Securities, dan PT Mega Capital Indonesia.

Namun seiring dengan berlanjutnya koreksi pada hari berikutnya, BI dengan kebijakan menahan suku bunga (BI Rate) pada level 6,5% menjadi kambing hitam, kebetulan bersamaan dengan munculnya data ekonomi di Amerika Serikat (AS).

“Investor asing mencermati inflasi tinggi di Indonesia dan BI belum mengantisipasi itu, padahal negara tetangga telah lebih dulu menormalisasi suku bunga. Mereka juga mengantisipasi flight to quality ke AS,” tutur analis riset PT Bumiputera Capital Indonesia M. Ridwan Novayanto.

Di sinilah ironi yang jenaka terjadi, jika inflasi menjadi momok bagi pemodal global di Indonesia, mereka justru mengalihkan investasinya ke negara maju yang justru lagi berharap mendapat ‘sedikit’ inflasi dalam deret ukur perekonomiannya ke depan.

Bloomberg menyebutkan membaiknya data pekerja AS yang diikuti kenaikan data indeks dolar membuat pemodal global kembali melirik aset investasi di negara maju (flight to quality), karena yakin ekonomi akan pulih.

Aksi antisipasi pemulihan ekonomi yang dibarengi inflasi di AS itulah yang memicu bank-bank ramai-ramai memangkas kepemilikan surat utang negara (SUN) negara adidaya tersebut pada 10 Januari, menjadi laju pelepasan surat utang tertinggi sejak 2004.

Data The Fed menyebut kepemilikan 18 diler utama atas surat berharga anjlok US$2,34 miliar pada 29 Desember 2010, dari posisi sebelumnya US$81,3 miliar pada 24 November. Aksi itu dipicu spekulasi ekonomi AS menguat, mendorong permintaan aset berimbal hasil tinggi.

Obligasi pemerintah kehilangan daya tarik jika bursa saham menguat, ekspektasi inflasi meningkat, pembiayaan korporasi membaik, dan dolar AS menguat. Antisipasi itu telah dilakukan sejak triwulan terakhir 2010, terlihat dari turunnya surat berharga AS sebesar 2,67% pada mengepras keuntungan tahunan menjadi hanya 5,88% pada 2010.

Para broker mengantisipasi permintaan nasabahnya melepas SUN mereka kepada bank sentra AS, sebagai bagian dari program Ben S. Bernanke membeli kembali surat berharganya senilai US$600 miliar.

Salah satunya adalah Berkshire Hathaway Inc., gerbong sekuritas milik miliuner Warren Buffett yang bersama dengan unit keuangan General Electric Co. mencatat penjualan obligasi negara terbesar senilai US$ 48,5 miliar pekan lalu.

“Perlahan tapi pasti, kondisi ekonomi mendapat pijakan kuat. Beberapa investor keluar atau berencana keluar dari aset bebas risiko tersebut. Itulah yang diinginkan Bernanke,” tutur John Fath, manajer investasi BTG Pactual, dikutip Bloomberg.

Tidak berakhir
Namun, kondisi tersebut dinilai tidak berarti Indonesia akan ditinggal. Analis Citigroup Global Markets Johanna Chua meyakini peringkat Indonesia diyakini naik dengan dukungan kebijakan fiskal berkelanjutan.

“Kami menilai kisah emerging market tidak berakhir di sini, aliran dana ke kelas aset emerging market yakni saham, dan kemungkinan juga surat utang masih akan terjadi. Indonesia seharusnya terus mendapat manfaat di tengah kondisi sekarang,” tuturnya dalam laporan riset.

Mengonfirmasi keyakinan Johanna, IHSG kemarin berbalik 99 poin mengekor kenaikan harga minyak mentah dunia yang menguat 2,1% ke level harga US$91,11 per barel. Beberapa saham unggulan pertambangan bercokol mendorong penguatan seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Adaro Energy Tbk, dan PT Indo Tambangmegah Raya Tbk.

Indeks sektor pertambangan pun tercatat membukukan kenaikan tertinggi sebesar 4,04% dibandingkan dengan indeks sektoral lainnya, lebih tinggi dari kenaikan IHSG sebesar 2,88% ke level 3.544,77.

Kali imi, andalan ekonomi Indonesia terbukti menjadi penyelamat, yakni sumber daya alam. Hingga saat harga komoditas berujung pada inflasi yang tidak terkendali, mungkin saat itulah saatnya untuk panik.

Subscribe to: Post Comments (Atom)