Saturday, January 01, 2011

Dari pembinaan hingga silence operation (1)

Sejak menjabat Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Uriep Budhi Prasetyo merasakan ubannya bertambah. Kelelahan pun acap memuncak.

Uriep memasuki jajaran direksi BEI pada Juli 2009 setelah bersaing dengan Kepala Divisi Pengawasan Transaksi BEI Hamdi Hasyarbaini. Sebelumnya, dia adalah Direktur Operasional PT Dhanawibawa Artha Cemerlang dan Komisaris Kustodian Sentra Efek (KSEI).

“Ketika masuk direksi bursa, saya sering dibilangin pilihannya hanya dua; rambut berkurang atau rambut jadi putih semua. Baru dua bulan, rambut saya sudah putih semua,” ujarnya di depan direksi dan kepala divisi pada rapat koordinasi BEI 2 September.

Maklum, baru menjabat direksi BEI, Uriep langsung disuguhi kasus pasar modal terbesar kedua setelah skandal PT Bank Century Tbk-PT Antaboga Delta Sekuritas, yakni dugaan penyelewengan dana nasabah PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities).

Adalah Harjono Kusuma, Direktur Utama Optima Securities yang diduga menyalahgunakan uang nasabah. Data pemeriksaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyebutkan kerugian nasabah grup Optima mencapai Rp700 miliar, terdiri dari kerugian di Optima Securities senilai Rp300 miliar dan piutang macet nasabah PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management) Rp400 miliar.

Angka itu dua kali lipat melampaui kerugian nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas sebesar Rp245 miliar, dan separuh dari skandal Century -Antaboga Rp1,4 triliun. BEI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) pun melancarkan operasi diam-diam (silence operation) dan tutup mulut soal kerugian nasabah, guna mencegah kepanikan pasar.

“Saya belum pernah menghadapi kasus seperti ini. Sampai sebatas pemeriksaan I know what to do, tapi sampai pada remedy biar tak ada kepanikan, jujur saya tidak tahu,” demikian keluh Uriep dalam rapat direksi BEI sebulan kemudian.

Skandal Optima memang rumit dan mengejutkan. Meski indikasinya telah muncul sejak 2008, kasus ini baru muncul ke permukaan setahun kemudian. Uniknya, tidak ada gejolak berarti di kalangan investor seperti dikhawatirkan Uriep, meski OKCS disuspen 6 bulan lebih.

Padahal, potensi kekacauan di Optima tidak kalah besar dari Sarijaya, dengan 150 nasabah yang berpotensi dispute dan nilai kerugian Rp308 miliar, melibatkan 428 juta saham yang terkatung-katung setahun lebih.

Papan atas
Optima Securities semula dikenal sebagai perusahaan efek papan atas. Berdiri pada Desember 1989 dengan nama PT Sun Hung Kai Securities, mereka mengubah nama menjadi PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas pada September 1997 dan pada April 2006 menjadi PT Optima Kharya Capital Securities.

Pada 2007, aset broker ini pernah menembus Rp2 triliun. Gelar sebagai sekuritas terbaik untuk kategori aset di atas Rp500 miliar–Rp1 triliun pun sempat terpampang dalam profil mereka kala itu.

Harjono memiliki saham PT Optima Kharya Mulia, yang berposisi sebagai perusahan induk Optima Securities dan Optima Management. Kepemilikan Harjono mencapai 75%, sedangkan Antonius Torang P. Siahaan memegang 25% sisanya.

Sebelumnya, Harjono memilih menjadi Direktur Utama Optima Management, dengan kepemilikan saham di sana sebesar 15% (per Juni 2007). Pada pertengahan akhir 2007, Antonius mengganti posisinya menjadi Dirut Optima Management, dan Harjono pindah mengambil kendali Optima Securities.

Bersamaan dengan masuknya Harjono, Optima Securities terseret saham PT Agis Tbk (TMPI), yang menjadi langganan watchlist BEI sejak 2007. Jatuhnya saham perusahaan milik Johnny Kesuma tersebut dari kisaran Rp4.000 per saham menjadi Rp300, membuat grup Optima terpukul.

Posisi mereka makin sulit setelah BEI mengawasi aksi Optima Securities di pasar pada 2008. Berdasarkan data perdagangan otoritas bursa, Optima Securities tercatat menjadi salah satu penggerak harga saham ‘taman makam para investor’ (TMPI) tersebut, sebelum akhirnya ikut ‘terkubur’.

Itu bukan aksi satu-satunya. Perusahaan yang memasang Marzuki Usman, mantan Ketua Bapepam, sebagai komisaris ini juga ditengarai mendalangi aksi goreng empat saham lain.

Salah satunya adalah PT Triwira Insan Lestari Tbk, di mana Optima Securities menjadi penjamin emisi ketika emiten ini melantai (initial public offering/ IPO). Sejak pencatatan perdana pada 28 Januari sampai 6 Maret 2008, harga saham berkode TRIL ini meroket 97,06% menjadi Rp1.340.

Merespon itu, BEI memvonis Optima Securities dan PT Mahakarya Capital Securities dengan sanksi tertulis pada 2 Juni 2008. Bapepam-LK juga memeriksa kasus Optima Securities-Triwira ini dengan indikasi pelanggaran dua peraturan pasar modal.

Bapepam-LK mensinyalir Optima Securities melanggar Pasal 91 dan 92 Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 tahun 1995, terkait dengan persekongkolan dua atau lebih pihak untuk menciptakan gambaran semu harga efek sehingga tidak menggambarkan harga sebenarnya di pasar.

Mereka juga dijerat Peraturan Bapepam-LK Nomor V.F.1 tentang Perilaku Perusahaan Efek Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Peraturan Nomor IX.A.7 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum.

Sekadar mengingatkan, Triwira adalah perusahaan yang 6,61% sahamnya dimiliki PT Kereta Api Indonesia (KAI). KAI dan grup Optima dikenal memiliki kedekatan, terlihat dari posisi Optima sebagai konsultan keuangan proyek RaiLink milik KAI-PT Angkasa Pura.

Belakangan, kedekatan yang tidak wajar menyeret Dirut Optima Management Antonius T. P. Siahaan ke kursi pesakitan. Dia dituduh menyuap aparat KAI senilai Rp100 juta untuk memuluskan penempatan investasi KAI senilai Rp100 miliar ke Optima Management.

Watchlist AB
Memanfaatkan euforia bursa pada awal 2008, Optima Securities terpantau beraksi dengan Sarijaya mengangkat saham PT Ades Waters Indonesia Tbk (ADES) sebesar 183,33%. Seperti diketahui, Sarijaya adalah sekuritas yang digulung karena menyalahgunakan dana nasabah.

Optima Securities-Sarijaya kembali beraksi di saham PT Indah Kiat Pulp & Papers Tbk (INKP), sehingga saham ini naik 191,26% sepanjang 23 April-22 Mei 2008. Optima Securities juga disinyalir mendongkrak saham PT Tjiwi Kimia Tbk (TKIM) sebesar 111,11%.

Melihat fakta itu, BEI memasukkan Optima Securities-Sarijaya ke dalam daftar anggota bursa (AB) yang diawasi. Kebetulan otoritas bursa sedang getol mengawasi pasar dengan membentuk satuan pemeriksa anggota bursa dan partisipan (SPAP). Fokus utamanya memelihara aset nasabah, yang ironisnya tak cukup efektif membendung kasus Sarijaya dan Optima.

Data SPAP menunjukkan adanya indikasi Optima Securities melanggar peraturan Bapepam-LK momor V.D.1 butir 5, tentang persetujuan tertulis pengawas atas pembukaan rekening nasabah. Belakangan, kisruh seputar rekening efek nasabah inilah yang menjadi benih persoalan Optima Securities.

Merespon itu, Dirut BEI Erry Firmansyah memerintahkan bawahannya memanggil Harjono. “Yang saya lihat paling banyak [pelanggaran] di sini adalah Optima. Panggil saja deh,” tegasnya dalam rapat koordinasi (rakor) akhir Mei 2008.

Sayangnya, tim BEI pada akhirnya bersikap lunak. Temuan di lapangan selama pemeriksaan hanya berujung pada sanksi administratif, sebagai bentuk pembinaan SRO. Harapannya, Optima Securities bisa memperbaiki diri tanpa perlu dihukum—atau, istilahnya, diberi ‘obat’.

Namun, harapan ini berakhir menjadi lelucon. Dokumen BEI tentang hasil pemeriksaan AB per Desember 2008 justru mencatat Sarijaya dan Optima Securities lagi-lagi bertengger di daftar sepuluh AB berstatus pengawasan khusus.

Erry pun berang. Broker-broker bermasalah tersebut dinilai tidak beriktikad memperbaiki pelanggaran mereka. Efek nasabah tetap dicampur dalam rekening kolateral perseroan, dan dana nasabah digabung dengan dana perusahaan.

“Berarti masih terjadi pengulangan, meski sudah diperingatkan. Kalau dalam kondisi begini, kita sudah tidak bisa lagi [membina], mendingan disuspen saja. Ini menunjukkan mereka tidak siap menjadi AB yang benar,” ujarnya dalam rapat direksi pada 22 Oktober 2008.

Saat itu kasus Sarijaya telah pecah. BEI kian getol mengawasi pembajakan saham oleh AB, yang di kalangan bos sekuritas biasa disebut 'menyekolahkan’ saham nasabah. Tidak hanya itu, Otoritas bursa juga melarang praktik kuasa nasabah oleh AB untuk meminjamkan dana milik nasabah pada pihak lain.

Tidak ingin kecolongan lagi, BEI pun membangun sistem manajemen risiko AB dan memerintahkan Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) menyusun kriteria basis data nasabah. Tiga firma akuntan diseleksi untuk menjadi konsultan, yakni Ernst & Young, Pricewaterhouse Cooper, dan Deloitte.

Sumber Bisnis menyebutkan Erry sebenarnya telah mengingatkan tim pengawasan untuk memonitor grup Optima, sejak beredar rumor kasus reksa dana dan kontrak pengelolaan dana (KPD) di Optima Management yang eksposurnya di atas setengah triliun.

“Hati-hati, Optima banyak mengelola aset dapen [dana pensiun]. Tolong dicek lagi,” ujarnya menirukan Erry dalam rapat direksi.

Kepada Bisnis pada 8 Juni 2010, Erry mengaku kasus grup Optima mulai dimonitor secara ekstra ketika persoalan reksa dananya mengemuka. Indikasi adanya persoalan di OKCS makin menguat pada Februari 2009, setelah Optima Securities disebut-sebut gagal bayar.

Pada akhir Maret 2009, BEI mengganjar Optima Securities dengan peringatan tertulis karena tidak melakukan tertib administrasi terkait dengan pemindahbukuan efek bersifat ekuitas, untuk penyelesaian transaksi antar AB.

Namun itu tidak cukup. Optima Securities tetap berada di daftar pemeriksaan khusus 10 AB, dengan hasil temuan yang sama dari pemeriksaan 2008, yakni penyalahgunaan rekening efek nasabah, dan pencampuran dana nasabah di akun utama perusahaan.

Riuh-rendah perebutan kursi BEI sepanjang April-Juni menelan temuan ini dan pembinaan BEI pada Juli 2009 pun sudah tak mempan. Kesalahan sama tetap muncul dalam temuan pemeriksaan Agustus, hingga meledaklah ‘bom waktu’ Optima Securities pada September 2009.

Uriep pun terhenyak.

Subscribe to: Post Comments (Atom)