Berubahnya skenario silence operation (2)
Robert Widjaja limbung. Terpukul. Tak pernah dia menyangka akan menghadapi kenyataan dana investasi di masa senjanya senilai Rp100 miliar menguap di PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities).
Robert, mantan Komisaris Utama PT Tigaraksa Satria Tbk, sejak 15 Januari 1998 adalah nasabah Optima Securities, yang kala itu bernama PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas. Robert mengajak putrinya, Chandra Natalie Widjaja, berinvestasi di Optima Securities melalui bendera PT Penta Widjaja Investindo.
Jika krisis finansial Asia pada 1998 menjadi tonggak awal investasi Robert via Optima Securities, krisis negara maju 2008 justru membuyarkan perjalanan investasi itu menyusul terkuaknya penyalahgunaan saham miliknya.
“Per Juni 2009, jumlah dan nilai saham di portepel Optima Securities atas nama Robert Widjaja sekitar Rp150 miliar. Setelah membaca berita tentang skandal di Optima Management dan Optima Securities, ayah berniat memindahkan sahamnya ke Trimegah namun tidak bisa,” tutur Chandra.
Padahal, lanjutnya, pemindahan tersebut seharusnya bisa dieksekusi dalam sehari. Setelah didesak, broker Optima Securities bernama Ety Sulistyowati mengaku pihaknya terbelit masalah dan tidak ada rekening efek atas nama Robert di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).
Tindakan Optima Securities tersebut melanggar Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nomor III.C.7 tentang Sub Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Robert dan Chandra berang bukan kepalang. Dirut Optima Securities Harjono Kesuma tidak pernah menginformasikan fakta tersebut, dan ‘menjaga kepercayaan’ mereka melalui laporan cetakan tertulis berisi daftar efek Robert Widjaja, versi Optima.
Pada 9 September 2009, Direktur Utama Optima Securities Harjono Kesuma dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli berupaya menenangkan Robert sembari membawa dua oknum yang diperkenalkan sebagai calon investor. Harjono berusaha meyakinkan bahwa persoalan Optima akan segera tuntas, tinggal menunggu negosiasi dengan dua investor tersebut.
Sepanjang perjalanan kasus Optima, dua investor peminat Optima Securities tercatat hanyalah Indonesia Recovery Fund (IRF) dan PT Garuda Capital Investama. Keduanya dimainkan oleh oknum yang sama, bernama Jodi Haryanto.
Robert dan Chandra tidak tertarik dengan negosiasi fiktif itu. Prioritas mereka adalah adanya jaminan bahwa aset bisa kembali. Untuk itu, dia mengajukan gadai saham OKCS sebanyak 70% sebagai jaminan. Harjono meneken persetujuan pada 30 September 2009.
Dengan harapan dananya kembali utuh, Chandra mengadukan nasibnya ke BEI dan Bapepam-LK, serta mempolisikan dugaan penggelapan direksi Optima Securities pada 23 Oktober 2009 melalui laporan nomor Po.LP/3026/K/X/2-009/ SPK unit I.
Dalam dokumen pemeriksaan polisi tertanggal 18 Januari 2010, Harjono menyebut Ahmad Rudiansyah sebagai pelaku penjualan aset Penta di Optima Securities senilai Rp85 miliar. Namun penyidik menduga nama itu hanyalah alibi Harjono untuk menghindari tanggung-jawab.
Pada 26 April 2010, Bisnis berkunjung ke kantor Optima Securities di Menara Rajawali untuk mencari nama itu. Namun, resepsionis dan satpam justru kebingungan. Mereka menyodorkan nama Ahmad Royani dan Achmad Halim sebagai gantinya.
Proposal solusi
Robert Widjaja mungkin tidak pernah tahu bahwa namanya sempat menjadi perbincangan di BEI dan Bapepam-LK. Bukan karena persoalan simpati, melainkan karena Robert sempat menjadi ‘kunci’ penyelesaian kasus grup Optima.
Sejak kasus Optima Securities terbongkar pada awal September 2009, BEI memeriksa Optima dan meminta data efek nasabah, dan menemukan adanya perbedaan saldo Optima dengan saldo KSEI. Menanggapi temuan itu, Harjono berdalih hanya salah input dan bisa dikoreksi.
Tim pemeriksa BEI pun menunggu, dan butuh waktu hampir sebulan untuk sadar bahwa alasan itu mengada-ada. Optima Securities akhirnya mengaku sedang bermasalah dan tengah bernegosiasi dengan investor. Fakta material itu mengundang suspen pada 23 Oktober.
Tiga hari setelah suspen, Harjono dan Lanny menemui BEI dan menyatakan persoalan efek nasabahnya mencapai Rp165 miliar di 50 rekening, menganulir pengakuan sebelumnya di hadapan Bapepam-LK yang hanya mengklaim ada 10 rekening bermasalah.
Sumber Bisnis di BEI menyebutkan Harjono di forum itu mengaku dana Optima Securities terpakai untuk menambal kewajiban Optima Management senilai Rp400 miliar. Anjloknya bursa pada akhir 2008 memaksa Optima Management melikuidasi obligasi yang menjadi aset dasar Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) dan reksa dana.
“Waktu likuidasi, nilai asetnya hancur. Ditambah penarikan [rush] nasabah KPD, mereka merugi hingga Rp300 miliar-Rp400 miliar. Untuk menambal bolong itu, dana Optima Securities pun terpakai,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, Harjono mengusulkan minimalisasi kerusakan dengan mengalihkan konflik versus puluhan nasabah kepada 3 nasabah terbesar Optima Securities. Robert Widjaja menjadi salah satu nasabah itu, selain Jawadi (investor Jogjakarta) dan Aryo (investor asal Solo).
Harjono akan bernegosiasi agar mereka mengizinkan aset ketiganya sekitar Rp170 miliar ‘dikorbankan’. Operasi penyelamatan itu diskenariokan bersifat rahasia (silence operation), publik tidak perlu tahu.
Mendengar usulan itu, Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito menyatakan tidak bisa ikut campur, namun menekankan bahwa prioritas BEI adalah Optima Securities menyelesaikan persoalan secepatnya seperti digariskan otoritas pasar modal.
Sejak kasus Sarijaya dan Antaboga mencuat, Bapepam-LK makin sensitif dengan kasus penggelapan dana nasabah. Itu menjelaskan mengapa otoritas pasar modal tidak segera membekukan seluruh efek nasabah Optima Securities, karena khawatir memicu kepanikan dan mencoreng kewibawaan pasar modal.
Psikologi kepanikan itu juga sempat membuat Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek (TLE) Bapepam-LK Nurhaida membolehkan Harjono bernegosiasi demi meredam skandal itu. Skenario kontroversial Harjono itu cukup efektif membuat otoritas bursa dan pasar modal berposisi pasif.
Kepada Bisnis, Chandra mengaku tak pernah ada negosiasi soal ‘relokasi persoalan’. “Negosiasi yang ada adalah pada September 2009. Optima Securities mengajukan ganti rugi tunai Rp22,5 miliar, tanah, dan saham PT Colorpark Indonesia Tbk [CLPI],” tuturnya pada 21 Juni 2010.
Skenario berubah
Di balik meja kantornya, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito melancarkan silence operation versinya. Diam-diam, dia mengonfirmasi langsung ketiga investor tersebut.
Ditemui di kantornya pada 28 Juni 2010, Sardjito mengakui operasi rahasia itu berujung pada temuan bahwa ketiga investor menolak proposal Harjono dan membantah sedang bernegosiasi.
“Itulah mengapa Bapepam-LK akhirnya menolak usulan relokasi. Secara logis tidak mungkin ada investor yang rela uangnya dipakai menambal dana orang lain ketika dia sendiri belum tentu bisa mendapatkan kembali asetnya,” ungkapnya.
Pria yang gemar berjaket kulit a la bareskrim ini juga bertindak cepat memblokir rekening efek Optima Securities yang diduga terafiliasi dengan Harjono. Jumlah rekening tersebut, mengutip Uriep, adalah 34 buah, ditambah 11 rekening nominee.
Permintaan Lanny membuka blokir juga tidak digubris. Terlebih, argumen yang disodorkan cukup ganjil: jika nasabah tidak bisa menarik dana, manajemen Optima Securities terkesan seolah-olah memakai dana mereka.
Secara bersamaan, terbesit kabar Jawadi ingin memindahkan dananya Rp60 miliar dari Optima Securities ke PT Dinamika Usahajaya. Jawadi berusia 80 tahun, pemilik toko Progo di Jogjakarta. Robert Widjaja, nasabah dengan eksposur aset terbesar juga ngotot keluar dari Optima Securities.
Posisi Harjono terjepit. Dia pun mendekati Dirut BEI Ito Warsito agar menekan Robert menyetujui skenario alokasi tersebut. Permintaan itu disaksikan Dirut KSEI Ananta Wiyogo, Dirut Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Yunus Hoesein, dan mantan Dirut BEI Erry Firmansyah dalam pertemuan tertutup di kantor KSEI pada medio Desember 2009.
Ito menolak permintaan itu, karena bisa berkonsekuensi hukum serius. Di tengah kemelut, Uriep mengambil solusi jitu; pastikan dulu kebenaran jumlah efek bodong, yang diklaim Optima Securities hanya 67 buah, sebelum membahas proposal Harjono.
Rekonsiliasi data oleh BEI dilancarkan pada Januari 2010 dan baru selesai dua bulan karena data off balance sheet yang dipasok Optima Securities berubah-ubah. Keterangan Harjono juga tidak konsisten soal jumlah efek bermasalah, dari 50 efek menjadi 67 efek.
Akhir Februari 2010, Uriep melaporkan hasil rekonsiliasi. Dari 1.827 rekening nasabah Optima Securities, hanya 421 yang aktif. Sebanyak 262 berpotensi bersih karena efek dan nasabahnya sesuai dengan data back office internal system (Boffis) di Optima Securities dan sistem C-BEST di KSEI, dan sisanya terindikasi bodong. Sekitar 50 rekening diduga terafiliasi dengan Harjono.
Temuan ini membungkam klaim-klaim Harjono sehingga proposal penyelamatannya pun dibuang ke tempat sampah. Selanjutnya pada 5 Maret 2010, Bapepam-LK dan BEI baru bernyali membekukan rekening seluruh nasabah Optima Securities.
“Setelah freeze, kita membuat satuan tugas seperti kasus Sarijaya. Ini silence operation, tidak muncul di media. Perusahaan efeknya yang mengirim form ke nasabah, nanti hasil klaim ditaruh ke kita,” ujar Uriep dalam direksi BEI pada 15 Maret 2010.
Kali ini, dengan skenario silence operation yang baru, Uriep bisa bernafas agak lega. Kekhawatiran soal kepanikan pasar teratasi sudah, dan tugas verifikasi segera usai meski para akhirnya sama seperti Sarijaya; tidak menyinggung soal pengembalian dana nasabah.
Pada 28 Juni, Uriep menyatakan ada 401 efek nasabah yang aktif dari sekitar 1.000 rekening efek di Optima Securities. Dari jumlah itu, 130 nasabah dinyatakan clean and clear, sekitar 132 masih diverifikasi dan 130 sisanya senilai Rp21 miliar menunggu klaim nasabah.
“Sekarang rambut saya mulai menghitam lagi,” ujarnya sembari tersenyum di lobi Bapepam-LK, sore itu pada 23 Juni.
0 pendapat:
Post a Comment