Saturday, January 01, 2011

Menunggu mukjizat, silence revolution (3)

Di kalangan karyawan PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities), Harjono Kesuma dikenal pendiam. Interaksi interpersonal harian dengan karyawan juga tidak intens, karena koridor menuju ruangannya tidak melewati episentrum ruang karyawan di Menara Rajawali.

Namun di balik sikap diam itu, Direktur Utama Optima Securities ini tidak abai dengan nasib karyawan. Terhitung dari 23 Oktober 2009, sejak suspen membekap Optima Securities, hingga laporan investigasi ini diturunkan, Harjono bertahan. Tidak ada satupun karyawan yang di-PHK.

“Memang ada beberapa kawan yang mengundurkan diri, tapi tidak ada pemecatan, meski ada sekitar 60-an karyawan di sini yang masih bekerja dan butuh gaji tiap bulannya,” tutur seorang karyawan Optima Securities yang menolak disebut identitasnya.

Dia berharap Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) membiarkan Optima Securities beroperasi lagi, namun dalam kondisi khusus. Artinya, otoritas pasar modal menempatkan orang di Optima Securities, seperti Bank Indonesia (BI) ketika mengatasi bank bermasalah.

Harapan serupa dikemukakan Harjono melalui kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. Pengacara senior ini secara langsung mengajukan surat berisi skema penyelesaian kewajiban kliennya kepada Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan (PP) Bapepam-LK Sardjito.

“Skemanya adalah pemulihan aset nasabah [asset resettlement], penggantian kerugian tiga nasabah terbesar Optima Securities dengan aset berupa tanah seluas 30 hektare di Sentul dan beberapa saham,” tuturnya dalam wawancara 23 Juni 2010.

Namun, Eggi meminta Bapepam-LK mencabut suspen Optima Securities, karena cenderung tidak adil. Di satu sisi otoritas pasar modal mewajibkan Optima Securities membayar dana nasabah, namun di sisi lain kliennya ‘dilarang’ menjalankan bisnis untuk meraih dana guna membayar kewajiban.

Soal nasib nasabah Optima Securities, dia menilai ada perbedaan cara pandang. Menurut dia, kerugian adalah konsekuensi di alam investasi. “Kala-kala untung, kala-kala rugi. Nilai kerugian Optima Securities hanya Rp300 miliar, karena Rp400 miliar itu adalah utang afiliasi pada Optima Management,” ujarnya.

Bapepam-LK bergeming. Optima Securities tetap wajib memenuhi modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) Rp25 miliar sebagai syarat pencabutan suspen. Ini menjadi lingkaran setan, karena justru persoalan, yang coba diatasi Optima Securities melalui pembukaan suspen, inilah yang membuat MKBD-nya minus Rp700 miliar.

Sardjito menilai pembukaan suspen Optima Securities belum tentu mengatasi persoalan karena ada risiko eksodus. Berdasarkan keterangan PT Bursa Efek Indonesa (BEI) dan Bapepam-LK, 130 nasabah Optima Securities yang rekeningnya lolos verifikasi memilih memindahkan efek ke sekuritas lain.

“Jika ada nasabah yang pindah, setidaknya Optima Securities masih bisa mencari nasabah baru dan klien kami memiliki posisi tawar untuk bernegosiasi dengan investor guna membantu menyelesaikan kewajiban,” demikian argumentasi Eggi.

Sampai sekarang, Eggi mengaku Bapepam-LK tidak pernah menekan Optima Securities menyelesaikan kewajiban dengan ancaman berembel-embel pidana. “Jika pasal pidana bermain, tanggung-jawab penyelesaian dana nasabah Optima pun beralih kepada negara,” ujarnya.

Silence revolution
Bagi Ketua Bapepam-LK A. Fuad Rahmany, mengedepankan penyelesaian bisnis di atas penyelesaian hukum adalah pilihan ideal untuk menangani kasus Optima Securities, meski berkonsekuensi pada munculnya kesan lamban dan tidak tegas.

Sampai sekarang, biro PP belum mengoper penyidikan skandal Optima Securities kepada kepolisian. Harjono tidak jelas di mana rimbanya. Optima Securities yang menjadi vehicle menyedot dana nasabah juga dibiarkan tersuspen setengah tahun lebih. Hidup tidak boleh, dibunuh pun enggan.

Berdasarkan peraturan bursa Nomor III-C tentang Pembekuan dan Pencabutan Keanggotaan Bursa, izin broker seharusnya dicabut jika telah disuspen 6 bulan lebih. Menurut beberapa sumber Bapepam-LK, sikap Fuad ini dipicu babak akhir kasus Sarijaya yang antiklimaks.

Kala itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Herman Ramli, pemilik PT Sarijaya Permana Sekuritas, dengan hukuman 26 bulan. Hukuman itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kerugian nasabah yang hampir seperempat triliun.

“Yang paling utama adalah kepentingan nasabah diselamatkan dulu sebelum bicara soal pidana. Saya dengar nasabah sudah menggugat Harjono, namun soal status tersangka Harjono, saya tidak berkomentar lah,” tutur Fuad dalam wawancara 23 Juni di lobi Bapepam-LK.

Bagi Fuad, kasus Optima Securities setidaknya memperkuat tekad untuk melanjutkan apa yang disebutnya silence revolution pasar modal, yakni radikalisasi perubahan sistem pengawasan anggota bursa (AB) dan perlindungan nasabah, hingga revisi Undang-undang Pasar Modal nomor 8/1995.

Beberapa usulan ekstrim muncul dalam draf revisi undang-undang tersebut, di antaranya pasal sita, kewenangan Bapepam-LK menyadap, mencekal, dan bahkan membuka rekening bank untuk keperluan penyidikan, hingga mengambil-alih sekuritas penyeleweng dana nasabah semacam statutory management di BI.

Revisi UU pasar modal tersebut terakhir dibahas di rapat Bapepam-LK di Bandung akhir Juni lalu. Targetnya, RUU dibahas DPR tahun ini, meski diyakini akan mengundang resistensi berbagai kalangan misalnya dari BI dan anggota DPR.

“Memang kemungkinan ada perlawanan. Namun kami berharap kasus Optima Securities membuka mata kita bahwa kewenangan Bapepam-LK saat ini sangat terbatas. Di negara lain, kewenangan seperti yang kami usulkan sudah dimiliki otoritas pasar modalnya,” ujar Sardjito.

Sejak skandal Antaboga merebak, kesadaran otoritas pasar modal dan bursa memperkuat pengawasan AB terlihat dari inisiatif BEI membentuk manajemen risiko AB pada Oktober 2008. Asosiasi Pengusaha Efek Indonesia (APEI) ditugasi menyusun basis data nasabah dan personil AB, sedangkan divisi hukum BEI menggarap aspek legal formal.

Niat itu makin terakselerasi setelah kasus Sarijaya pecah. Dalam rapat koordinasi BEI pada 23 Januari 2009, disepakati terbentuknya Tim Pematangan dan Finalisasi risk management AB. BEI menargetkan dokumen rancangan manajemen risiko tersebut selesai akhir Februari 2009.

Namun ironisnya, APEI justru tidak mampu memenuhi target tersebut dengan alasan masih terjadi polemik seputar batasan risiko yang dilaporkan, tahapan pelaporan, hingga kegunaannya. Direktur Utama BEI Erry Firmansyah pun berang.

“Bukannya proyek database nasabah sudah dibahas pada September 2008 oleh APEI? Di Bandung kan disepakati database yang simpel, kok sekarang jadi susah? Ngapain bikin database kalau mereka [AB] sendiri takut lapor?” ujarnya saat itu.

Proyek itu pun terpaksa ditunda. Manajemen BEI lagi-lagi terpaksa kembali pada cara klasik, berupa pembinaan AB melalui sosialisasi. Topiknya antara lain perlindungan terhadap kekayaan nasabah dan sanksi atas penyalahgunaan kekayaan nasabah (dana dan efek).

Sosialisasi yang melibatkan seluruh direksi, komisaris, dan pemegang saham pengendali AB itu berjalan dalam enam batch dari Februari sampai Maret 2009, hingga kemudian skandal Optima Securities pecah.

Mukjizat
Sebelum skandal Optima Securities menampar otoritas bursa dan pasar modal, AB bisa dibilang memiliki ‘mukjizat’. Sikap lunak BEI dengan pembinaannya memungkinkan mereka berbisnis seperti biasa, meski tidak tertib administrasi, mencampur dana nasabah dengan dana perusahaan, ‘menyekolahkan’ efek nasabah, hingga mengelola KPD!

Berdasarkan dokumen pemeriksaan AB Januari 2009, masih ada 49 broker melakukan pelanggaran serius. Update pemeriksaan selanjutnya pada Agustus relatif sama. Sebanyak 43 AB masih mencatatkan perbedaan antara dana nasabah di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) dengan catatan Boffis mereka.

Otoritas bursa merespon lebih keras, kali ini dengan teguran. Surat teguran dikirim untuk AB dengan nilai perbedaan di bawah Rp400 juta, sedangkan 15 AB lain yang nilai perbedaannya di atas Rp400 juta langsung masuk daftar pemeriksaan.

Secara bersamaan, BEI membangun sistem informasi nasabah dan pegawai AB. Sistem berbasis web tersebut menggunakan virtual private network (VPN) yang dilengkapi sandi dan gambar captcha. Sebanyak 91 direksi AB mengikuti pelatihan dalam 12 batch tersebut.

Draf konsultan hukum Sumarjono pun dipelajari untuk menyusun standar kontrak pembukaan rekening efek. Ke depan, diharapkan tidak ada lagi klausul yang menjebak calon investor untuk memberi kuasa AB ‘menyekolahkan’ efek mereka.

Lalu, kabar bagus berhembus dari divisi pemeriksaan BEI. Dari 34 AB yang diperiksa, tidak ada satupun yang terindikasi sama seperti Optima. Justru, AB-AB yang sempat dicurigai bermasalah pada akhirnya terbukti bersih ketika diaudit.

Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) juga membangun sistem pengawasan portofolio AB dan KSEI. Untuk sementara, laporan tersebut fokus pada volume portofolio. Berdasarkan uji coba awal pada 5 Maret, sebanyak 86 dari total 117 AB mencatatkan volume sama, dan hanya 14 AB yang portofolio di Boffis-nya lebih besar.

“Ke depan, sistem itu akan terhubung langsung dengan penghitungan modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) tiap AB, untuk memotret posisi mereka secara harian yang akan meningkatkan pengawasan dana dan aset nasabah,” ujar Uriep.

Hingga kini, BEI dan Bapepam-LK terus memverifikasi nasabah Optima Securities terus berjalan. Kepala Biro Transaksi lembaga Efek (TLE) Bapepam-LK Nurhaida terus menyosialisasikan kartu acuan kepemilikan sekuritas (Akses), agar nasabah bisa memonitor posisi efek mereka.

Sardjito mengerti benar kritik atas penanganan Optima Securities, yang terkesan tidak berani masuk wilayah hukum. Kepada Bisnis, dia mengatakan semua akan dijawab setelah verifikasi usai.

Sementara hingga laporan ini diturunkan, Harjono, kunci kasus Optima Securities, masih memilih diam. “Selama ku menyembah-Mu, kupercaya bahwa mukjizat masih terjadi,” demikian nada sambung ponselnya, menyambut telepon konfirmasi. ***

Subscribe to: Post Comments (Atom)