Wednesday, December 01, 2010

Distorsi pasar di IPO Krakatau

Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan yang sering dituding antek neo-liberal, juga pernah mengritik mekanisme pasar finansial global yang dinilai mulai terdistorsi.

Di pertemuan menteri keuangan negara maju (G-20) September 2009, Sri Mulyani yang kini Managing Director Bank Dunia mengkritik kuatnya posisi special purpose vehicle (SPV), hingga mendistori pasar finansial global.

Padahal idealnya, konsep tangan tidak terlihat (invisible hands) yakni daya tarik-menarik permintaan dan penawaran berjalan secara wajar, dan pemerintah sebisa mungkin tidak ikut campur.

Dalam seminar bertajuk Mengungkap fakta di balik polemik IPO PT Krakatau Steel Tbk Senin malam, prinsip invisible hands beberapa kali disinggung. Para panelis serempak mengutuk wacana yang mendesak otoritas pasar modal ikut campur urusan investor, dengan membuka penjatahan saham perdana (initial public offering/ IPO) Krakatau Steel.

Anggota Komisi XI DPR Achsanul Qosasih menilai upaya membuka data investor penyerap saham perdana Krakatau Steel tersebut mengancam iklim pasar modal Indonesia karena bisa menjadi preseden bahwa kerahasiaan investor tidak terlindungi.

“Soal harga Krakatau Steel murah atau mahal, hanya Tuhan yang tahu. Kalau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) membuka data penjatahan, pemodal akan ketakutan, sama seperti ketika Pansus Century menerobos prinsip kerahasiaan bank,” tuturnya berapi-api.

Politisi partai Demokrat tersebut menegaskan insiatif pembentukan panitia kerja (Panja) di DPR muncul dari komisi VI yang mengurusi tentang kinerja operasional BUMN, dan bukannya di Komisi XI yang mengawasi soal keuangan BUMN.

Panja tersebut dibentuk menyusul IPO Krakatau Steel pada harga Rp850 per unit, dari kisaran harga penawaran senilai Rp800-Rp1.150 per saham. Akibatnya, dana yang diraup hanya Rp2,68 triliun, jauh lebih rendah dari potesi yang diraup jika memakai harga tertinggi (Rp1.150) sebesar Rp3,63 triliun.

Achsanul mengatakan salah satu blunder penjualan saham perdana Krakatau Steel muncul karena kisaran harga penawaran telah ditetapkan oleh DPR, sebesar Rp800-Rp1.150, sepaket dengan izin IPO yang diberikan.

Penetapan kisaran harga tersebut dinilai ‘mengkhianati’ mekanisme pasar soal pembentukan harga. “Itu terjadi pada periode DPR sebelum kami. Ke depan, kami berkomitmen untuk tidak berbicara soal harga ketika memberi persetujuan IPO BUMN,” tuturnya.

Menanggapi soal penetapan harga IPO Krakatau Steel yang dinilai terlalu murah, ekonom Mirza Adityaswara menilai murah-mahalnya saham perdana sangat relatif bergantung pada pembandingnya.

Berpatokan pada rasio pengembalian dari ekuitas (return on equity/ ROE) pada 2010, yang menunjukkan kemampuan perseroan beroleh laba dari ekuitasnya, harga saham Krakatau Rp850 dinilai wajar dibandingkan dengan perusahaan sejenis.

“Untuk Krakatau Steel, harga Rp850 setara dengan 9,9 kali PER 2011 dengan ROE 20100 hanya 11,5%. Sebagai perbandingan, ROE Posco lebih tinggi ketimbang KS sebesar 13,5%, tetapi PER 2011 lebih rendah yakni 8 kali, jadi harga Rp850 tidaklah murah,” ujarnya.

Mirza mengakui perhitungan ROE Krakatau 2011 tidak memasukkan faktor tambahan modal baru setelah IPO. Padahal, dana hasil IPO dipakai untuk membiayai fasilitas blast furnace yang menghemat ongkos produksi baja dan bisa mendongkrak ROE BUMN tersebut ke depan.

“Karena ekspansi blast furnace belum terjadi dan kemampuan Krakatau membangun fasilitas itu belum teruji, investor meminta valuasi IPO Krakatau berdasarkan kondisi kinerja saat ini, bukan proyeksi,” ujarnya menafsir isi kepala para investor.

Ambil untung
Menurut Mirza, publik tidak perlu mempersoalkan kelakuan institusi asing, yang diklaim Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas Marciano Herman sebagai investor tier I, yang aktif menjual saham—dengan nilai mendekati Rp380 miliar pada hari pertama transaksi.

Alasannya, kenaikan saham pada dua hari transaksi perdana bukan satu-satunya terjadi pada saham KRAS, namun juga dialami saham emiten lain seperti PT Golden Retailindo sebesar 86% dan PT Skybee Tbk sebesar 84% dalam 2 hari.

“Penjualan saham itu wajar karena para investor berlaku rasional. Ketika saham KRAS melambung hingga Rp1.200 per unit, valuasinya menjadi sangat mahal dan mereka menilai saatnya merealisasikan keuntungan. Apa ambil untung tidak boleh?” ujar Mirza.

Ambil untung tentu sah-sah saja. Namun justru menjadi ironi ketika para penjamin emisi berdalih investor asing sengaja diprioritaskan sebagai pemodal jangka panjang, menafikan tingginya minat pemodal domestik hingga mencatat kelebihan permintaan (oversubscribed) sembilan kali.

Faktanya, orientasi berpikir pemodal asing ini tak lebih short-term ketimbang investor ritel, meski Mirza mengklaim investor institusi selama ini memang lebih menentukan pembentukan harga IPO karena memiliki tim riset dan analis ketimbang investor ritel yang ‘bermodal dengkul’.

Menanggapi aksi jual asing, otoritas pasar modal dan bursa sempat berkomentar menilai penjualan hari pertama itu dipicu gugatan citizen lawsuit atas proses IPO Krakatau.

Faktanya, gugatan telah diwacanakan ke media masa sepekan sebelum pencatatan perdana, dan investor asing tetap semangat membeli saham perdana Krakatau, ngotot tidak mau menerima usulan kenaikan harga IPO menjadi Rp950 per unit.

Soal permintaan invstor domestik yang berlebih, Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas Harry Supoyo punya cerita sendiri. “Ungkapan oversubscribed kini menjadi semacam trik pemasaran [marketing] di kalangan penjamin emisi untuk menarik minat investor. Padahal, permintaan berlebih belum tentu diikuti pembelian yang besar,” ujarnya.

Apakah para penjamin emisi IPO Krakatau juga tengah memainkan strategi pemasaran ketika mengklaim permintaan pemodal domestik berlebih hingga sembilan kali? Harry, tentu saja, tidak mau cerita untuk soal ini.

Yang pasti, Harry dan dua broker pelat merah lain selama ini ditunjuk menggarap IPO BUMN. Dan mengutip Mirza, polemik Krakatau tidak bisa dijadikan alasan membatalkan IPO BUMN lainnya, karena pasar modal adalah solusi terbaik pembiayaan ekspansi perusahaan pelat merah.

Selama mekanisme pasar masih dijalankan setengah-setengah dalam hal penetapan harga hingga penunjukan penjamin emisi itu-itu saja, selama itu pula IPO BUMN berpotensi menjadi polemik dan bergeser ke ranah politik.

“Banyak perusahaan sekuritas swasta, terutama asing, yang berani menjamin emisi saham perdana Krakatau pada harga yang lebih tinggi,” komentar seorang pelaku pasar atas polemik ini.

Pada akhirnya, kita berharap tekad Sri Mulyani memastikan pasar berjalan dengan wajar dan efisien dipertahankan para pelaku pasar, karena distorsi mekanisme pasar inilah yang menjadi pemicu polemik IPO Krakatau Steel.

Subscribe to: Post Comments (Atom)