Berpacu dengan paperless society
“Lagi bete..” demikian tulis status sebuah akun situs pertemanan.
“Kenapa?” timpal seseorang, sekian detik kemudian.
“Kehujanan, gak bisa langsung pulang,” jawab sang pemilik akun.
Dialog seperti itu tidak jarang kita temui di beberapa situs pertemanan, membagi informasi yang—menurut kita—sangat tidak penting namun cukup mujarab untuk menciptakan berderet dialog yang intens.
Di dunia teknologi maya, apa yang penting dan tidak penting tidak lagi menjadi persoalan penting. Ketika tiap orang memiliki kapasitas menjadi ‘pabrik’ kabar, arus informasi pun mengalir dalam hitungan menit, bahkan detik.
Namun cobalah berhenti sejenak, dan membawa ingatan kembali pada era korespondensi sekira 1980-an, ketika informasi dibagi melalui kertas surat dan memerlukan waktu tempuh sepekan atau bahkan sebulan.
Pada masa kejayaan Pak Pos tersebut, pernahkah anda membayangkan bisa mengirim pesan dan mendapat balasan dalam hitungan menit? Rasanya tidak. Revolusi komunikasi yang demikian pesat seolah terjadi begitu saja di hadapan kita.
“Pada masa itu, anda mungkin belum membayangkan teknologi SMS atau e-mail. Tapi tidak dengan tim riset di industri ini. Berkat inovasi mereka lah wajah komunikasi dunia berubah,” ujar General Manager Fuji Xerox Asia Tenggara Vincent Sim, dalam sebuah diskusi di Jepang, belum lama ini.
Perubahan pola komunikasi dunia tersebut sempat menimbulkan spekulasi munculnya masyarakat tanpa kertas (paperless society), di mana posisi kertas sebagai alat utama korespondensi tergusur oleh teknologi komunikasi berbasis internet.
Adalah Business Week yang pertama memublikasikan prediksi itu pada 1975, lewat artikel The Office of The Future. Istilah tersebut menjadi pembicaraan hangat pada era 1980-an, ketika komputer pribadi berharga terjangkau mulai dipasarkan luas, menggusur mesin ketik.
Namun demikian tidak semua orang sepakat, salah satunya Fuji Xerox yang percaya diri menampik spekulasi tersebut. “Kami yakin paperless society tidak terjadi sekarang, dan tidak akan terjadi dalam 20-30 tahun ke depan,” ujar Vincent.
Menurut logika, jika paperless society terjadi, lokomotif bisnis Fuji Xerox akan terpukul. Namun sampai sekarang, produsen mesin cetak (printer), foto kopi, dan solusi dokumen tersebut justru yakin roda zaman akan berpihak pada mereka.
Keyakinan Vincent tidak berasal dari ruang hampa. Divisi riset dan pengembangan (research and development/ R&D) Fuji Xerox sejak lama melakukan riset seputar itu. Dan hasilnya, konsumsi kertas dan aktivitas cetak dunia justru tercatat meningkat satu dasawarsa terakhir.
Seperti halnya pemain industri teknologi lain yang terus berupaya mengukur tren pasar dan meneropong masa depan, Fuji Xerox tercatat berinvestasi besar-besaran membangun Fuji Xerox R&D Square. Investasi yang disediakan mencapai 60 miliar yen atau sekitar Rp6 triliun.
Bisnis berkesempatan mengunjungi pusat riset tersebut yang berdiri di lahan seluas 14.600 meter persegi dan memiliki ruangan seluas 135.250 meter persegi. Gedung setinggi Graha Niaga tersebut berisikan 26 lantai, yang bisa menampung 4.000 pekerja.
Dengan ruang berisi tempat diskusi layaknya kelas perkuliahan modern, fasilitas riset dan pengembangan produk baru, serta puluhan kompartemen untuk mengukur respon klien, gedung di tepian teluk Yokohama itu menyelesaikan 7-11 proyek inovasi per tahunnya.
Sampai dengan sekarang, fasilitas riset raksasa tersebut melahirkan 300 jenis penemuan baru Fuji Xerox, melibatkan kalangan akademisi dan teknokrat dari berbagai lintas disiplin ilmu.
“Pusat riset dan pengembangan ini memungkinkan kami melihat masa depan dan mengantisipasinya dengan produk yang tepat guna, di samping meneliti respon pasar terhadap produk kami. Dari riset inilah kami menemukan bahwa paperless society belum akan terjadi,” tutur Vincent.
Sedikit kertas
Lalu, ke mana arah perkembangan bisnis cetak-mencetak di atas kertas ini? Analisa Abigail J. Sellen dan Richard H.R. Harper dalam Myth of the Paperless Office mengulas itu. Menurut mereka, masyarakat modern tidak bergerak menuju era perkantoran tanpa kertas, melainkan ke masyarakat perkantoran dengan sedikit kertas.
Jumlah kertas yang dipakai tiap kantor boleh saja menurun atau lebih hemat, namun konsumsi kertas diyakini terus naik karena aktivitas cetak di seluruh dunia terus bertambah mengikuti pertumbuhan ekonomi dan jumlah kantor tiap negara, mulai dari kota hingga pedesaan.
Tengok saja studi Lyra Research yang mengestimasikan setidaknya ada 15,2 triliun kertas yang dicetak seluruh dunia pada 2006. Pada tahun ini, mengutip International Data Corporation (IDC), lebih dari 10 triliun kertas akan dicetak di Amerika Serikat (AS) saja.
Mengonfirmasi realitas tersebut, Direktur Utama Fuji Xerox Tadahito Yamamoto memaparkan mesin cetak mereka terjual delapan juta unit per tahun di Asia Pasifik, dengan sekitar 70%-80% diserap konsumen ritel di pasar usaha kecil dan menengah (small medium enterprise/ SME).
“Fuji Xerox mengekspektasikan pasar printer gobal akan membukukan pertumbuhan rerata 7% untuk beberapa tahun ke depan, dan total pangsa pasarnya akan tumbuh menjadi 36 juta unit pada 2014, dari posisi 2010 sebesar 28 juta,” tuturnya.
Pasar khalayak mesin cetak multifungsi, lanjutnya, dan kenaikan permintaan dari negara emerging market seperti China diyakini menjadi mesin pertumbuhan di tengah resesi global yang menekan ekonomi negara-negara maju.
Berbekal riset, inovasi, dan respon pelanggan di fasilitas R&D tersebut, Fuji Xerox meramu printer terbaru berplatform small is the new big. Produk yang semula hendak diluncurkan Desember itu ternyata siap dilempar ke pasar lebih cepat yakni akhir bulan ini.
Paperless society diyakini masih jauh panggang dari api, dan roda persaingan inovasi di industri mesin cetak pun terus bergulir.***
0 pendapat:
Post a Comment