Menghapus alienasi isu alam di bursa
Sehari-hari, Moe Lin Yakob adalah investor pasar modal. Namun siang itu, lajang berparas cantik ini rela berpeluh ria menuju Taman Nasional Ujung Kulon, untuk menanam pohon Bayur yang biasa menjadi makanan badak.
Bersama dengan rombongan beranggota 30 orang, investor asal Tangerang ini ambil bagian dalam tim ‘investasi’ PT Reliance Securities Tbk, yang dibentuk untuk merestorasi habitat badak Jawa (Rhinoceros sondaicus).
“Biasanya pada jam kerja seperti sekarang, saya bertransaksi saham lewat fasilitas online Reliance. Namun hari ini, saya ingin ikut melakukan sesuatu untuk bumi, nggak cuma ngurusi investasi saja,” tuturnya Senin lalu, di sela penanaman bibit makanan badak tersebut.
Ketika mendapat tawaran dari Reliance untuk membeli sukuk ritel dengan komitmen menyisihkan dana hasil penjualan bagi restorasi hutan Ujung Kulon, Moe Lin serta-merta mengiyakan.
Baginya, program tersebut terdengar sangat ganjil namun juga melegakan. Disebut ganjil karena program itu ditawarkan oleh sekuritas yang notabene adalah perusahaan investasi dan bukannya LSM lingkungan.
Meski demikian, keberadaan program itu juga memberi kelegaan tersendiri karena akhirnya ada juga model investasi yang berbagi dengan program pelestarian alam.
“Biasanya kan orang-orang di pasar modal Indonesia hanya memikirkan diri sendiri. Dengan mengikuti program ini, saya bisa mewujudkan kepedulian terhadap alam,” papar Moe Lin.
Skema program itu sangat sederhana. Tiap meraih penjualan SR002 senilai Rp100 juta, perseroan akan menyisihkan komisi dari penjualan surat berharga syariah tersebut untuk merestorasi 30 meter persegi hutan. Sebuah program yang sangat-sangat simpel, namun tak pernah ada dalam sejarah aktivitas persukukan maupun perobligasian Indonesia.
Kali ini, Reliance meraih dana sebesar Rp150 miliar dari penjualan sukuk ritel SR002. Otomatis, mereka musti menyisakan sebagian komisi dari penjualan itu untuk membeli sekitar 2.000 bibit yang akan ditanam pada lahan restorasi seluas 5 hektare.
“Untuk tahap pertama ini kami menyumbangkan 2.000 pohon yang menjadi tanaman pangan badak. Jika dibulatkan, anggaran penanaman lahan itu sebesar Rp35 juta,” papar Wakil Direktur Reliance Nicky Hogan.
Siang itu Nicky ikut menembus belukar untuk memastikan penanaman tahap pertama berjalan seperti yang diharapkan. Selanjutnya, tim Reliance selama tiga tahun ke depan akan memonitor perkembangan restorasi tersebut, berkoordinasi dengan Departemen Kehutanan.
Potensial
Memang harus diakui, agak ganjil berbicara kelestarian lingkungan di tengah-tengah masyarakat pasar modal, yang konon sifat dasarnya hanya dua; rakus dan penakut. Hampir muskil mengajak investor pasar modal untuk tidak teralienasi dari persoalan alam, ketika mereka sedang memelototi layar monitor perdagangan berisi portofolio investasinya.
Tidak pernah ada dalam kamus investasi manapun yang menyebutkan program kelestarian alam berbanding lurus dengan keuntungan investor di bursa. Karena itu, jangan heran jika emiten dengan program kepedulian sosial besar tidak serta-merta menjadi saham favorit di papan bursa.
“Melakukan sesuatu yang tidak terlihat, memang tidak mudah. Faktanya, meningkatkan kesadaran investor pasar modal terhadap isu lingkungan memang sulit,” papar Nicky.
Mungkin karena itulah sulit menemukan penggalian dana pelestarian lingkungan melalui pasar modal dalam satu dasawarsa terakhir. Seolah-olah, keuntungan dari triliunan dana di bursa hanya bermuara di kantong individu investor untuk membeli mobil baru, apartemen, atau minuman berkelas.
Tidak heran, jumlah perusahaan sekuritas yang melakukan program pelestarian alam bisa dihitung dengan jari. Reliance menjadi sekuritas pertama yang mengangkat isu lingkungan melalui penjualan sukuknya, setelah sebelumnya PT Danareksa Investment Management dan PT Mega Capiral Indonesia memasarkan reksadana lingkungan menggandeng yayasan Kehati.
Padahal, mengutip Koordinator LSM Lingkungan IDEA (Innovative Development for Eco awareness) Sekartjakrarini, potensi dana pasar modal jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi dana sumbangan LSM internasional.
Bagaimana tidak? Dengan asumsi 117 perusahaan efek menyisihkan dana ‘hanya’ Rp35 juta untuk merestorasi 5 hektare hutan tiap tahun, seperti yang dilakukan Reliance, akan ada 585 hektare hutan yang direstorasi per tahun.
Lalu, dengan nilai transaksi harian kini berkisar Rp4 triliun-Rp5 triliun dan perusahaan sekuritas berkomitmen menyisihkan 1,7% komisi transaksi efek untuk menanam satu pohon seperti Reliance, tiap hari akan ada dana lingkungan sebesar Rp85 miliar dari pasar modal.
Angka ini tentu bisa lebih besar jika pelaku industri reksa juga memiliki kesadaran serupa di tengah laju kerusakan hutan nasional yang—menurut klaim pemerintah—'hanya' mencapai 1 juta hektare per tahun, setara dengan 2.900 lapangan sepak bola per hari.
Persoalannya, lagi-lagi, diktum modernitas di bursa yang berorientasi pertumbuhan demi menciptakan kesejahteraan justru mengalienasi kesadaran manusia dan aktivitas formal ekonomi-bisnis dari persoalan hidup yang mendasar seperti lingkungan.
Reliance dan beberapa perusahaan sekuritas telah menunjukkan bahwa instrumen pasar modal sangat bisa dan relevan membantu mengembalikan ekosistem. Harapan kini beralih pada ratusan perusahaan sekuritas lain, untuk turut mengembalikan keseimbangan alam, yang menaungi tempat proses investasi.
Siang itu, Moe Lin, Nicky dan seluruh anggota rombongan tidak melihat badak yang mereka selamatkan. Kepunahan akibat tingkah laku manusia membuat sekitar 40 ekor badak yang tersisa makin terhimpit ke tengah hutan.
Realitas itu membuat kebajikan suku Indian Cree kembali terdengar relevan; hingga ketika pohon terakhir telah tumbang dan sumber air terakhir telah mati, saat itulah kita semua sadar bahwa uang—dan juga deret keuntungan transaksi di layar monitor kita—tidak lagi bisa dimakan.***
0 pendapat:
Post a Comment