Mawas diri, menuju kebebasan finansial
Warren Buffet, guru investasi pasar modal asal Amerika Serikat, memiliki prinsip sederhana dalam aktivitas investasinya, yakni ‘jangan pernah berinvestasi pada sesuatu yang tidak anda mengerti’.
Jika investasi diartikan sebagai upaya meraih keuntungan sehingga nilai aset kekayaan kita meningkat, maka kita tengah berbicara horizon ke depan. Di sinilah ekspektasi dan estimasi menduduki posisi penting dalam investasi.
Namun, pesan Buffet di atas justru menunjukkan bahwa sebelum investor melangkah menuju ekspektasi dan meraup ambisi keuntungan ke depan, ada sesuatu hal penting—yang terkadang dilupakan—yakni menakar dan mawas diri.
Ya, sebelum berbicara berapa keuntungan investasi yang ingin kita dapatkan, kita perlu memastikan bahwa kita tahu instrumen investasi apa yang akan kita pilih untuk menaikkan nilai aset kita.
Bicara investasi, mau tidak mau kita harus melirik pasar saham, yang sejauh ini diyakini menjadi investasi dengan potensi keuntungan (return) tertinggi dibandingkan dengan instrumen investasi lain seperti obligasi, reksa dana, properti, hingga emas.
Jika menggunakan teropong berhorizon ke depan saja, kita tentu tergiur berinvestasi di saham. Namun, kita tentu juga tidak boleh lupa bahwa investasi dengan potensi return tertinggi tersebut juga dibarengi dengan tingkat risiko yang sama besarnya.
Dus sebelum berinvestasi, kita mau tidak mau harus menyesuaikan profil kita (apakah pekerja kantoran, atau individu bebas), dan kekuatan kapital kita (cukupkah dana kita membeli instrumen tertentu; properti, emas, dll).
Persoalan ini dinilai penting oleh Satrio Utomo, seorang guru trader saham lokal, yang telah beberapa kali mengajar para calon trader di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Terkadang, calon investor hanya bermodal dana kas, tanpa didukung kemampuan mengelola dana tersebut di instrumen investasi yang dibidiknya.
Semula, Satrio adalah seorang analis di sebuah sekuritas. Namun setelah mengetahui seluk-beluk pasar, aspek fundamental saham dan teknikal transaksi, dia memutuskan keluar dan menjadi trader mandiri.
“Jika anda ingin menjadi investor, pilihlah emiten bagus yang sahamnya murah, beli dan simpan dalam jangka panjang. Namun jika anda trader, sebisa mungkin jangan ketinggalan gerbong. Jual secepatnya saham yang naik, dan belilah ketika harga anjlok terendah,” tuturnya.
Bursa saham sekarang, paparnya, tidak lagi sama seperti periode bullish 2002-2008. Dia menilai pasar modal sekarang telah lebih ‘ganas’, dibandingkan dengan periode tersebut.
“Saat bullish sebelum 2008, ibaratnya anda ngawur aja milih saham di bursa, bisa untung. Tapi sekarang, anda harus belajar dan hati-hati,” ujarnya.
Menghadapi kondisi demikian, pemodal perlu memahami kemampuan diri, atau minimal meningkatkan kemampuan dirinya memahami seluk-beluk operasionalisasi instrumen investasi. Jika ingin menjadi trader saham, otomatis harus mengetahui minimal faktor fundamental dan teknikal.
Tanpa itu, Satrio mewanti-wanti untuk tidak menjadi trader dadakan, yang dengan modal nekad mengambil pinjaman margin (utang dari perusahaan sekuritas kepada investor untuk bertransaksi saham) untuk berspekulasi.
“Yang terpenting juga, jangan serakah hingga nekad mengambil risiko secara membabi buta seperti itu,” ujarnya.
Kebebasan finansial
Ekspektasi tercapainya keuntungan pasif melalui investasi, melahirkan konsep kebebasan finansial yang memungkinkan kita mendapat pendapatan tanpa harus bekerja. Namun laiknya takdir realitas biner dunia ini, investasi berdampingan dengan pasangannya yakni risiko.
“Untuk bisa mencapai kebebasan finansial, kita harus tahu arus kas sendiri, apakah pendapatan yang diraup dari modal yang tanamkan sesuai dengan target. Intinya, kenali diri anda dan berinvestasilah pada hal yang anda ketahui,” ujar Satrio.
Semua investasi pada dasarnya mensyaratkan tiga hal sama, yang semuanya bisa diukur melalui mawas diri (self assessment). Pertama, apakah instrumen investasi itu sesuai dengan kapasitas modal kita?
Kedua, tahukah kita akan risiko yang bisa menggagalkan proses investasi itu? Dan ketiga, apakah kita memiliki pengetahuan meminimalisir risiko tersebut sehingga berbuah keuntungan nanti?
Misalnya kita hendak berinvestasi di tanah, maka yang perlu diperhatikan adalah cukup tidaknya dana kita membeli tanah. Lalu, apakah tanah itu prospektif, dan tahukah cara meminimalisir risiko (jika ada) yang bisa menjatuhkan harga tanah kita?
Hitung-hitungan sama juga berlaku berinvestasi pada aset tidak berwujud seperti efek (saham, obligasi, resi gudang, dan surat berharga lainnya). Apakah dana kita cukup untuk trading? Lalu siapkah kita menghadapi risiko kehilangan nilai efek kita dalam sekejap, mengingat nilai efek tak berwujud tersebut bisa bergerak volatil?
Selanjutnya, apakah kita memiliki kemampuan fundamental dan teknikal untuk survive di tengah gejolak pasar tersebut? Jika tidak, maka anda sebaiknya memilih investasi konvensional (di aset yang berwujud) sesuai dengan profil risiko anda yang juga konvensional.
Emas dan tanah adalah instrumen investasi paling konvensional (karena merupakan alat-alat investasi tertua di dunia). Kini, emas dan tanah menjadi bidikan investasi karena memiliki nilai stabil. Khusus untuk emas, anda bisa memakainya sebagai ‘mata uang’ lintas negara.
Ada juga deposito, yang sempat menjadi instrumen investasi modern favorit semasa orde baru, meski pada dasarnya tidak layak disebut investasi mengingat tingkat keuntungannya yang tidak seberapa dibandingkan dengan tingkat kenaikan harga barang (inflasi).
Jika anda butuh pertanggungan risiko sembari berinvestasi, asuransi memberi jawaban dengan berkembang pesatnya produk unitlinked, yakni instrumen proteksi jiwa plus keuntungan dari pengembangan sebagian dana premi nasabah.
Sebaliknya jika anda masih ingin investasi di efek untuk menjaring keuntungan tinggi, tanpa memiliki kemewahan belajar analisis teknikal atau memelototi layar transaksi per detik, dan anda juga tak bisa mentolerir risiko kehilangan nilai efek tersebut dalam sekejap, maka reksa dana menjadi jawabannya.
Produk ini menawarkan investasi berbasis saham, obligasi, indeks, pasar uang, hingga terbaru resi gudang. Pada dasarnya, investasi ini memungkinkan kita menanam dana pada efek yang kita inginkan, namun risiko diminimalisir dengan ‘mempekerjakan’ manajer investasi.
Sebaliknya jika anda sangat mengetahui jenis investasi anda dan bisa menaklukkan risiko tersebut sendirian dengan hanya berbekal pengetahuan anda, maka anda bisa disebut setara dengan Warren Buffet.
Namun, bukan berarti harus menunggu menjadi Warren Buffet untuk bisa berinvestasi. Cukup kenali diri sendiri, petakan profil risiko investasi anda, dan mulailah berinvestasilah.
Maka, kebebasan finansial cepat atau lambat akan anda rengkuh. Kapan itu? Hanya Tuhan yang tahu. Namun yang pasti, semua itu tak akan anda capai jika anda tidak pernah memulainya, dengan berinvestasi sekarang juga.***
0 pendapat:
Post a Comment