kaki di persimpangan jalan
Sepasang suami-istri tergopoh-gopoh memasuki sebuah rumah di gang Multi Raya, Rawa Mangun. Begitu memasuki mulut pintu, cerocosan mereka menyerbu, “Kak, ni adeknya si Bambang ditangkep, dibawa ke Cipayung.”
Sang ibu bersandar di teralis kaca, mengabaikan kursi malas di tengah ruangan. Tubuh tambunnya menutup sinar mentari dari teralis kaca. “Tolong, kakak-kakak di sini membantu adek,” pinta sang ibu.
Belum sempat Dede menjawab, ibu lain datang. Dasternya compang-camping, dengan balita menggelayut di ketiaknya terbalut selendang lusuh. “Saya sudah dari sono… Ongkos saya dah habis. Kasihan si Azis, sendirian,” ujar tamu tersebut.
Balita di gendongannya berontak, sang ibu goyah. Ia pun duduk berselonjor di mulut pintu, merebahkan sang balita di antara kedua betisnya. Tangannya terangkat menutup kelopak mata.
Sang ibu bertubuh tambun kembali merepet, “katanya mau dipulangin besok Selasa, habis lebaran. Ya kasihan lah, sendirian di sana..” Di sampingnya, sang suami diam. Rokok menyala di sela kedua jarinya yang tak henti bergetar.
“Sekarang peraturannya emang ganti, Bu. Harus bawa rapor dari sekolah. Tapi si adek kan enggak sekolah,” jawab Dede.
Sang ibu tambun mulai gentar. Matanya berkaca-kaca.
“Ibu harus ke sana sama Bapaknya...” Dede mengalihkan pembicaraan, mengarah pada ibu yang berselonjor.
“Susah, Mas. Bapaknya kan nggak sayang ama anak-anak” sang ibu tambun menatap wanita yang berselonjor itu. Yang ditatap hanya tertunduk.
“Kapan ke sana lagi?” Dede bertanya lagi.
“Tau nih. Ongkos dah abis,” jawabnya lemah.
Seperempat jam kemudian, mereka bubar setelah Dede berjanji mengontak Kak Iwang dan menemui petugas di Cipayung.
Di Cipayung, terdapat sebuah rumah rehabilitasi anak-anak jalanan. Di tempat itulah petugas Kamtib men-drop anak-anak jalanan yang digaruk. Di sana, mereka disuluh, dibina, dan dibekali sedikit kemampuan kerja agar tidak kembali ke jalanan.
Ketika pertama didirikan pada 1997, KAKI hanyalah yayasan yang bermodal sebuah rumah kontrakan di Multi Raya. Kini, KAKI menjadi yayasan sosial yang membina anak-anak jalanan di kawasan Rawa Mangun.
Erwan, seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merintis pendirian yayasan tersebut. Saat itu ia dan kawan-kawan kuliahnya, aktif dalam program kampus bertajuk “Pendidikan Luar Sekolah (PLS)”.
Untuk biaya operasional, dana revolusi dari kantong pribadi sering keluar. Dede kini meneruskan kemudi yayasan tersebut semenjak Erwan lulus kuliah.
Di rumah kontrakan itulah aktivis KAKI menampung anak-anak jalanan dan memberi pelajaran sekolah. Pada 1999, Yayasan Mitra Mandiri bersedia menjadi funding tetap, disusul yayasan Save The Children Amerika (didanai USAID) dua tahun kemudian.
Tak tanggung-tanggung, yayasan asal amrik tersebut memberikan pendanaan secara tahunan. Dana yang dikucurkan mencapai sembilan digit rupiah. “Rata-rata Rp180 juta per tahun,” kata Muhammad Ramdani (24 tahun), sang bendahara.
Meski demikian, mereka harus mengajukan perpanjangan funding tiap tahunnya, tiap Juni-Juli. Dan selama ini, mereka beruntung karena KAKI menjadi salah satu dari 16 LSM yang didanai USAID sejak 1997.
Namun, kesulitan operasional KAKI bukan persoalan dana. Mereka sempat kesulitan mencari rumah singgah karena stigma buruk yang melekat pada anak jalanan dan rumah singgah. KAKI terhitung telah pindah lokasi rumah singgah enam kali.
Di markas terakhir itu, Dede kembali beroperasi membebaskan anak-anak jalanan sesuai permintaan orang tua. Karena itu, pandangan miring dari para petugas Kamtib menerpa mereka dan KAKI.
“Sering, kami dituding sebagai broker orang tua anak jalanan untuk membebaskan anak-anak yang ketangkep. Padahal tugas kami sebenarnya membina anak jalanan, bukannya agen yang mbebasin mereka kalo ketangkep. Susah-susah kita bebasin, abis tu mereka dieksploitasi lagi!” ujar Dede dengan nada tinggi.
“Coba deh elo liat di by pass sini kalo malem… “ logat Betawi yang sedari tadi ditutupi bahasa baku, kini mencuat, “… tu anak-anak disuruh ke jalanan nggendong adeknya, terus ngemis. Abis itu uangnya, yang nadah ya ibu-ibu tadi.”
Ia tersengal. Matanya menatap lurus ke layar komputer di ruang kerja KAKI yang hanya berukuran 3 X 4. “Buat mereka, anak-anak itu aset!”
Selama ini, berbekal surat keterangan dari KAKI, Dede menerobos pusat rehabilitasi Kamtib dan menjelaskan bahwa anak-anak itu adalah binaan mereka. Terkadang, Dede meminta Iwang (seorang guru kejar paket A dan B di sebuah sekolah di Jakarta Timur) yang juga aktivis lembaga misionaris Kristen, membuatkan rapor palsu.
Ironisnya, berulang kali anak-anak jalanan itu diselamatkan, berulangkali pula orang tua mereka menjerumuskan mereka kembali ke jalanan. “Gue sih maunya ngasih pelajaran ama ibu-ibu itu!” tegas Dede.
“Jadi permasalahannya memang kompleks. Kita menghadapinya sebagai mata rantai. Gimana biar si anak itu nggak meniru orng tuanya, besok kalo udah punya anak. Biar cara berpikir mereka berubah, bahwa mengeksploitasi anak, adalah perbuatan salah,” lanjutnya.
Dede tahu betul memalsu rapor merupakan tindakan yang sangat tidak etis. Tapi Dede tak punya pilihan lain. Anak-anak jalanan itu sering menjadi proyek para petugas Kamtib. Jika tak punya rapor, orang tua mereka harus membayar sejumlah uang pada petugas. Istilahnya menebus, besarnya berkisar Rp100 ribu per anak.
Lusa, Dede akan kembali ke Cipayung, mencari tahu prosedur pembebasan anak-anak jalanan yang belum punya rapor itu. Kalaupun harus memalsu rapor, ia siap menjalaninya demi Azis (9 tahun) dan Ayu (12 tahun) yang meringkuk di balik jeruji, karena nasib yang tak pernah mereka pilih.
Bagi Dede, sulit memilih salah satu persimpangan itu atau meninggalkan keduanya..
***
I wrote this article about five years ago, when I was a freelancer journalist. I found it just couple days ago, and now wondering whether KAKI still exist.
2 pendapat:
Post a Comment