Friday, April 10, 2009

Ternyata tak cuma mereka yang otaknya di dengkul

Terkadang, saya mendengar selentingan tak bertanggung jawab di sekitar saya yang menyatakan; “politisi itu hanya punya kepentingan, dan otaknya di dengkul.”

Saya sebut ‘tak bertanggung jawab’ karena ungkapan bermodus generalisasi itu sungguh merendahkan realitas, ketika masih ada (jika tak mau dibilang ‘masih banyak’) politisi berhati nurani dan berkonsisten mencapai visi mereka.

Mau disebut satu persatu? Oke, inilah beberapa di antaranya; Winston Churcill, Soekarno, Hatta, Syahrir, Mahmoud Abbas, Ghandi, dll.

Namun malam itu, akal budi saya terusik ketika dalam tayangan sebuah TV lokal, seorang wanita bernama Yenny yang mengaku aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) mengajukan usulan pada Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Usulannya sangat sepele. Tapi sungguh mengandung kekerasan diskursif yang sangat memerihkan, dan sangat politis (tentu saja).

Pada intinya, dia bilang “Setelah partai Demokrat menang, saya minta anda untuk tetap mendukung keberpihakan pada perempuan, caranya dengan tidak menggandeng cawapres ataupun parpol yang mendukung maupun melakukan poligami. Poligami itu menunjukkan ketidakberpihakan mereka pada perempuan.”

Hehehe..

Pertama, saya perlu pertegas bahwa saya bukan pendukung poligami dan saya sampai titik ini tak meminati poligami. Dalam teks kitab suci yang saya pahami, TAK ada sekalipun ayat yang menyebutkan bahwa poligami adalah kewajiban maupun prasyarat ketakwaan seorang pria muslim.

Dalam sunnah nabi pun, beliau lebih condong mencontohkan sunnah kehidupan bermonogami yakni 25 tahun pernikahan dengan khadijah, dan hanya 10 tahun pernikahan poligami (setelah wafatnya khadijah).

(Disclaimer tersebut saya bikin agar mereka yang berpikiran picik tidak terjebak falasi argumentum ad hominem ketika membaca atau merespon tulisan ini.)

Kedua, sedari saya mengikuti kursus basic training kepemimpinan semasa SMA dulu, tak pernah sekalipun saya menemukan klausul ‘poligami’ sebagai salah satu kriteria pemimpin or politisi yang buruk.

Adakah Sukarno merupakan pemimpin buruk dan (mengikuti logika Yenny) tidak memiliki keberpihakan kepada perempuan hanya karena doi berpoligami? Tidak. Doi terbukti mampu bertahan 20 TAHUN, menyatukan negeri ini di tengah badai revolusi dan serangan makar dalam maupun luar negeri.

Itu dari sisi kesuksesan kepemimpinan. Bagaimana dengan sisi keberpihakan pada perempuan??

Well, setahu saya, Soekarno lah pemrakarsa terbentuknya Perwanas, sayap perempuan PNI yang memiliki akses sama di bidang pendidikan politik. Doi mengangkat kader perempuan setara dengan pria, macam S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan, Artati Marzuki sebagai Menteri Pendidikan, atau Laily Rusyid sebagai Dubes Belgia.

Satu contoh ini kiranya menunjukkan kedangkalan Yenny dan para aktivis yang menuduh pelaku poligami (dan parpol pendukung poligami) sebagai pihak yang tak berpihak pada perempuan.

***

Setahu saya, poligami merupakan sebuah pilihan kehidupan pribadi, sama seperti pilihan BERCERAI. Di tengah sistem kehidupan patriarkis, kedua pilihan itu sama-sama berpotensi besar merugikan pihak perempuan.

Namun yang jelas, keduanya tak memiliki relevansi apapun dengan kemampuan seseorang memimpin organisasi (negara) dan sama sekali tak merepresentasikan berpihak-tidaknya mereka pada nasib kaum hawa.

Jika yenny dan aktivis perempuan di Solidaritas Perempuan Indonesia (SPI) demikian konsisten mengikuti alur logika yang mereka bangun, maka cerai pun seharusnya dimasukkan dalam daftar parpol dan politisi cela.

Dan, celakalah Prabowo Subianto karena partainya akan dituding tidak berpihak pada perempuan karena doi bercerai dengan Titiek Suharto.

Saya jadi teringat celoteh di masa kecil dengan ibu saya tentang keadilan manusia dan kebun binatang. Saya sering tidak tega melihat ikan yang (di mata saya) terjebak di akuarium, atau hewan-hewan di kebun binatang yang tak bebas menikmati hidup.

“Ibu, kenapa manusia demikian kejam mengurung ikan dan hewan di kebun binatang?” tanya saya ketika itu.

Seingat saya, Ibu kebingungan menjawab. Dan beberapa tahun setelah dewasa, saya menemukan jawabannya; “Apa yang terlihat buruk di mata kita, belum tentu sedemikian buruk dalam kenyataannya. Dalam kasus tertentu, kebun binatang justru menjadi solusi penangkaran, perlindungan hewan langka, dll.”

Yang terpenting, manusia tidak bisa serta-merta dituduh kejam hanya karena membangun kebun binatang, lengkap dengan penangkaran dan biaya tahunan untuk membiayai makan binatang tersebut.

Mungkin ada kasus-kasus kekejaman di sebagian kebun binatang. Namun, sekali lagi, adalah sebuah kekerasan diskursif ketika menggeneralisasi sebagian fakta itu untuk memelintir realitas dengan mengatakan: kebun binatang itu kejam dan manusia adalah mahluk yang tak berpihak pada satwa hanya karena membangun kebun binatang.

Bagi saya, poligami dan perceraian itu sama seperti pisau. Pisau bisa menjadi alat pembunuh jika digunakan semena-mena oleh oknum yang menggunakannya. Namun akan lebih semena-mena jika menganggap semua orang yang memakai pisau sebagai pembunuh.

Lontaran beberapa aktivis macam Yenny membuat saya belajar bahwa; tidak hanya politisi yang otaknya ada di dengkul.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)