kinerja emiten konsumsi terbaik
Emiten sektor industri konsumsi membuktikan daya tahannya terhadap krisis tahun lalu. Hal itu tercermin dari laba bersih akumulatif sebesar Rp11,8 triliun, naik 19,2% dibandingkan dengan posisi pada 2007 senilai Rp9,9 triliun.
Pertumbuhan itu merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kinerja fundamental emiten pada tujuh sektor nonkeuangan di PT Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan data yang dioleh Bisnis Indonesia Intelligence Unit, rata-rata emiten pada empat sektor masih membukukan pertumbuhan laba bersih, yakni sektor konsumsi (19,2%), properti dan realestat (15,9%), perkebunan (14,2%), dan aneka industri (1,2%).
Sebaliknya, pertumbuhan total laba bersih perusahaan di sektor perdagangan, jasa, dan investasi tertekan paling parah (-390,4%), disusul oleh infrastruktur (-98,5%), industri dasar dan kimia (-95,7%), dan sektor pertambangan (-17,9%).
Analis PT Lautandhana Sekurindo Muhammad Sugiarto mengatakan kinerja positif sektor konsumsi sesuai dengan karakter alami industri tersebut, yakni bersifat defensif dan tidak mudah terpukul oleh krisis ekonomi.
“Sepanjang tahun lalu, 6 permintaan dalam negeri masih cukup kuat, sehingga menopang penjualan mereka. Ini didasari fakta bahwa sektor konsumsi menjadi penopang terbesar produk domestik bruto [PDB],” tuturnya kepada Bisnis kemarin.
Dari 33 emiten di industri konsumsi, 30 di antaranya meraup laba bersih pada 2008, yang terbesar adalah PT H.M. Sampoerna Tbk senilai Rp3,9 triliun. Disusul kemudian oleh PT Unilever Indonesia Tbk senilai Rp2,4 triliun.
Dari sisi pertumbuhan, PT Ultra Jaya Milk Tbk menduduki posisi teratas dengan laba bersih yang meroket 901,8% dari Rp30,3 miliar pada 2007 menjadi Rp303,7 miliar pada 2008. Lonjakan itu dicapai berkat penjualan merek dagangnya, Buavita, kepada Unilever.
PT British American Tobacco (BAT) Indonesia Tbk menjadi emiten berkinerja terburuk. Rugi bersih perusahaan rokok itu membengkak dari Rp34,2 miliar pada 2007 menjadi Rp86,6 miliar pada 2008.
Properti menjadi sektor berdaya tahan unggul kedua dengan membukukan kenaikan laba bersih 15,9% dari Rp2,1 triliun pada 2007 menjadi Rp2,5 triliun pada 2008. Pendapatan sektor ini masih tumbuh 28,4%.
Lonjakan kinerja tertinggi dibukukan oleh PT Bekasi Asri Pemula Tbk yang meraup laba bersih tahun lalu sebesar Rp446,6 miliar. Angka ini naik 48.661,3% dari laba bersih periode sebelumnya, sebesar Rp915 juta.
Capaian itu melampaui laba bersih emiten penyumbang bobot terbesar pada indeks saham sektor properti, yakni PT Lippo Karawaci Tbk. Laba bersih Lippo tercatat hanya Rp370,9 miliar, tumbuh 5% dibandingkan dengan 2007.
Sebaliknya, PT Fortune Mate Indonesia Tbk membukukan kinerja terburuk dengan kerugian bersih senilai Rp26 miliar pada 2008 dari posisi laba bersih Rp270 juta pada 2007.
Kinerja terburuk
Sebanyak 60 perusahaan yang tergabung dalam sektor perdagangan, jasa, dan investasi membukukan kinerja buruk, sehingga laba bersih sektor tersebut anjlok 390,4%.
Jika pada 2007, sektor ini membukukan laba bersih senilai Rp4 triliun, pada 2008 emiten-emiten sektor ini mencatat rugi bersih Rp11,65 triliun. Penurunan itu merupakan yang terparah di antara delapan sektor lain di bursa.
Analis PT Reliance Securities Tbk Andrew Sihar Siahaan menambahkan penurunan kinerja terbesar yang menimpa sektor perdagangan dan investasi terjadi karena sektor tersebut memiliki exposure dan sensitivitas besar terhadap kondisi perekonomian global.
“Perusahaan yang struktur keuangannya riskan terhadap utang luar negeri dan memiliki rasio utang terhadap ekuitas [DER] tinggi, lebih mudah tertekan oleh krisis dan terkena dampak volatilitas nilai tukar,” tuturnya.
Dia memberi contoh PT Bakrie & Brothers Tbk yang terbebani utang dalam jumlah besar, sehingga struktur permodalannya menjadi rentan terpukul oleh dampak krisis global dan volatilitas kurs.
Kinerja Grup Bakrie anjlok 7.198,62% dari semula meraup laba bersih Rp223,36 miliar menjadi rugi bersih Rp15,86 triliun. Kerugian itu merupakan yang terbesar pada sektor perdagangan dan di pasar modal Indonesia pada 2008.
PT United Tractors Tbk membukukan kinerja sebaliknya, dengan laba bersih terbesar pada sektor perdagangan senilai Rp2,7 triliun. Angka itu setara dengan gabungan laba bersih 44 emiten infrastruktur lainnya yang berkinerja positif.
Andrew memperkirakan peta kinerja fundamental emiten secara sektoral itu tidak akan banyak berubah pada tahun ini. Sektor ritel dan konsumer yang berbasis pada permintaan domestik lebih mampu menghadapi krisis dibandingkan dengan sektor lainnya.
“Namun, emiten dengan exposure keuangan yang besar terhadap risiko valuta asing dan suku bunga akan tertekan. Selain itu, beberapa perusahaan yang penjualannya berorientasi ekspor lebih sensitif terhadap krisis global,” paparnya.
Faktor risiko keuangan membuat infrastruktur sebagai sektor berkinerja terparah kedua, dengan penurunan laba bersih sebesar 98,5% dari Rp269,2 triliun pada 2007 menjadi Rp5 triliun pada tahun lalu.
Hal ini terlihat dari emiten yang menunjukkan kinerja terburuk. Pertama, PT Bukaka Teknik Utama Tbk, yang kerugian bersihnya membengkak 2.337,8% dari Rp2,3 miliar pada 2007 menjadi Rp67,6 miliar pada 2008.
Perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu tengah menyelesaikan restrukturisasi utang transferable loan certificate (TLC) senilai US$89 juta dengan sejumlah kreditor.
Kedua, PT Mobile-8 Telecom Tbk membukukan kerugian terbesar senilai Rp1,1 triliun, seiring dengan kegagalan perusahaan seluler ini membayar obligasinya senilai US$100 juta dan bunga obligasi rupiah Rp20 miliar.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang menyumbang 76% indeks sektor infrastruktur belum menyampaikan audit laporan keuangan. Akibatnya, PT Indosat Tbk menyumbang laba bersih terbesar sektor itu senilai Rp1,9 triliun.
***
my complete writing, before edited. i love this original writing, more than the edited one..
0 pendapat:
Post a Comment