Sunday, August 10, 2008

a valediction forbidding mourning

by John Donne

untuk seorang kawan..

As virtuous men pass mildly away,
And whisper to their souls to go,
Whilst some of their sad friends do say,
"Now his breath goes," and some say, "No."

So let us melt, and make no noise,
No tear-floods, nor sigh-tempests move ;
'Twere profanation of our joys
To tell the laity our love.

Moving of th' earth brings harms and fears ;
Men reckon what it did, and meant ;
But trepidation of the spheres,
Though greater far, is innocent.

Dull sublunary lovers' love
—Whose soul is sense—cannot admit
Of absence, 'cause it doth remove
The thing which elemented it.

But we by a love so much refined,
That ourselves know not what it is,
Inter-assurèd of the mind,
Care less, eyes, lips and hands to miss.

Our two souls therefore, which are one,
Though I must go, endure not yet
A breach, but an expansion,
Like gold to aery thinness beat.

If they be two, they are two so
As stiff twin compasses are two ;
Thy soul, the fix'd foot, makes no show
To move, but doth, if th' other do.

And though it in the centre sit,
Yet, when the other far doth roam,
It leans, and hearkens after it,
And grows erect, as that comes home.

Such wilt thou be to me, who must,
Like th' other foot, obliquely run ;
Thy firmness makes my circle just,
And makes me end where I begun.

***

Kawan, butuh lima hari untukku membaca kisahmu memperjuangkan impian bersama lelakimu. Membaca kisahmu, aku melihat betapa kamu berjuang mati-matian.

Secara formal kamu memang berjuang untuk mendapatkannya. Tapi aku tak memandang demikian, aku mencoba melihat kisah itu sebagai... seorang strukturalis (mungkin).

Dan di samping itu, aku juga sedang sangat sibuk. Akhir pekan kemarin aku dikirim ke Bandung. Praktis aku kerja tujuh hari seminggu. Tapi aku terima aja... aku harus belajar dengan cepat untuk sesegera mungkin mencapai prestasi dalam hidupku.. you know, kisah the shooting star...

Aku menyimpulkan kamu sedang berjuang bukan untuk mendapatkan lelakimu, tapi untuk menemui takdirmu sendiri, mencari jawab, menjalani perjalanan berliku untuk menemukan eksistensi dalam konteks hubungan percintaanmu.

Meski jawaban atau—istilah dramanya—ending itu tak seperti yang kamu harapkan, tapi proses menemukan keberadaanmu itu sangat berharga, layak dikenang.

Kamu layak mengenangnya, menangis, menyumpah, tapi pada akhirnya berbangga. Karena akhirnya kamu bisa melewati itu dan memiliki yang sekarang.

At that day, you’ll say "I’m a warrior..."

Kawan, jujur aja, selama ini aku memandang hubunganmu dengan lelakimu seperti.. kamu memberikan tali hela hidupmu padanya. Guyonan orang barat, itu seperti memberikan patung kristal ke tangan seekor gorila. :)

Istilah orang Jawa, surga nunut, neraka katut. Aku kurang suka tipikal hubungan seperti itu, makanya aku sempat mengritiknya sebagai hubungan poskolonialis. Dan jika kalian terpisah, pasti kamu yang akan sangat tersakiti. Itu adalah konsekuensi pola hubungan seperti itu.

Aku tak mengritik kalian, tapi aku mengritik cara kamu memandang hubungan dan kebahagiaan. Buatku, aku mencintai kekasihku sama seperti aku menduga dia mencintaiku. Kebahagiaanku adalah saat dia di sisiku bersetia padaku.

Dan sebagai wujud rasa syukurku, aku akan berusaha mencintainya sepenuh hati, bersetia, meski tepat PADA SAAT YANG SAMA aku sendiri tak akan menghapus kesadaran bahwa ia akan pergi meninggalkanku.

Aku siap kehilangannya,.. somehow... entah karena perselingkuhan, entah kematian.. entah..

Di satu sisi lelakimu benar saat dia mengatakan kamu tak punya hak apapun darinya, karena kalian hanya pacaran. Bahkan, jika kalian menikah pun, kamu tetap tak punya hak apapun atas hidupnya karena hanya Dialah yang berhak.

Kamu harus siap setiap waktu untuk kehilangan kebahagiaan itu. Sama seperti sekarang. Saat kamu sedang memupuk hubungan baru dengan lelaki-yang-baru, kamu juga harus bersiap (mental) akan ditinggalkannya, somehow.

Menakutkan? Memang demikianlah ujian dunia.

Persoalannya sekarang: kadang kita tak siap kehilangan kebahagian. Kenapa, karena kita ingin semua berakhir dengan cara kita. Kita tak mau melihat fakta ada kekuatan lain yang BISA mengubah situasi menjadi bertentangan dari yang kita inginkan.

Padahal kenyataannya, kita memang tak berhak untuk mengendalikan semua sesuai cara kita.

Nah, daripada playing God, kan lebih baik kita playing humble servant. 'Berharap' tapi tak 'mengharap', namun tak sekadar 'berjuang' untuk mencapai itu melainkan 'memperjuangkan'.

Artinya, kesadaran bertawakal dipegang dulu, sambil mati-matian berikhtiar. Bukannya berikhtiar dulu, lalu tawakalnya dipikirin nanti kalau sudah melihat hasilnya.

---

Gunawan Muhammad benar saat mengatakan kita tak bisa mengharapkan sebuah keabadian dari cangkir yang retak.

Semua kebahagiaan itu seperti matahari yang menghangatkan kita di sebuah senja yang dingin. Dia berjalan menjauh dan terus menghilang, tanpa kita sadari. Kita baru meratapinya saat tiba-tiba hanya semburat yang tersisa meninggalkan bekas-bekas perjalanan matahari itu.

Cara berpikir itu sedikit banyak membantuku, sehingga aku tak banyak menangis saat ibuku wafat, meski pada saat bersamaan tak bisa serta menghapus rasa kehilanganku.

Ya, inilah kebahagiaan dunia: sesuatu yang tak lebih dari ujian karena makin kental kadar kebahagiaan itu, makin menyakitkan pula saat dia meninggalkan kita.

Sejak kecil aku terbiasa menghadapi sebuah kebahagiaan, yang begitu nisbinya hingga terasa sangat singkat dan mudah hilang. Contoh paling mudah, aku kehilangan sosok dan fisik ayah sejak aku mengenal makna kata 'ayah'.

Sewaktu umur 5 tahun aku telah memahami bahwa sosok ayah adalah mereka yang tegap, tak berpayudara, dan selalu menggendong teman-teman bermainku.

Sementara, ayah bagiku adalah sosok yang datang di kala maghrib dan pergi pada dinihari, sebulan sekali, kira-kira 12 kali dalam satu tahun.

Jika rata-rata dia ke rumahku pada maghrib dan aku tertidur pada jam 12 malam (karena aku memilih pura-pura tidur agar tetap bisa mendengar suaranya dari balik kamar), maka aku punya waktu melihat sosok ayah selama = enam jam x 12, atau 72 jam. Means, 3 hari dalam setahun! see?

Akibatnya, hingga kini aku memiliki phobia, yakni paling takut ditinggalkan sendirian. Bukan karena takut hantu atau apa, tapi lebih karena takut melihat aku di posisi ditinggalkan, tercecer memunguti memori yang tersisa.

---

Kawan, dunia ini sendiri adalah cangkir retak. Menurutku kebahagiaan itu tak ada. Happines is nothing than a game of mind. Dia hanya MENGADA saat kita menyadari sebuah kondisi itu membuat kita bahagia, dan mensyukurinya sehingga tak menyesal saat kebahagiaan itu berlalu.

Dan dalam permainan kehidupan ini, kita tak bisa menentukan kapan kita akan menyelesaikan 'ketiadaan' hidup ini, alias mati. Hidup, tak lain adalah ditinggalkan. Ini hanya soal waktu sebelum kita menghadapi kenyataan bahwa kebahagiaan itu memang fana, seperti kebahagiaan Romeo dan Juliet yang agung, atau Samson dan Delilah yang heroik.

Kenapa demikian? Jawabannya adalah sebuah teka-teki: “lebih dahulu mana ada dan tiada?” Kamu jawab dulu itu.


wassalam,
*rif

Anonymous said...
Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now. Keep it up!
And according to this article, I totally agree with your opinion, but only this time! :)
turabul-aqdam said...
thank u, very much. brother or sister.. my real problem now is sparing time to write.
Subscribe to: Post Comments (Atom)