24 Juli 2005, ibu arif meninggal
Jarum jam menunjukkan pukul 08.30 ketika Arif menghubungiku. Beberapa kali hp-ku berdering, aku hanya mendengar samar. Aku sedang menyelesaikan masakanku.
Kejutan. Ibunya masuk Karyadi lagi dan sedang butuh darah golongan O. Aku bersedia menjadi donor. Sekalian kuhubungi Udin agar ada tambahan stok donor.
Setengah jam yang berlalu beberapa saat kemudian sangat kusesalkan. Aku tak tahu bahwa setengah jam yang kuhabiskan untuk menunggu terkirimnya SMS-ku pada Udin adalah detik-detik yang sangat berharga bagi Ibu Arif. Arif sampai mengirim SMS lagi, memintaku untuk bersegera saat itu juga.
Tanpa menunggu Udin atau sarapan, aku langsung berangkat. Celaka 13, sesampaiku di Karyadi pintu untuk pengunjung masih tertutup. Aku harus memutar di Unit Rawat Jalan. Masih juga kusia-siakan barang 10 menit yang sangat sangat berharga untuk menunggu –bahkan minta Arif menjemputku.
Akhirnya aku nekad mencari ruangan tempat Ibu Arif dirawat. Tak terlalu sulit sebenarnya jika aku mau nekad. Tapi aku betul-betul manusia tanpa usaha yang syaraf motoriknya baru bereaksi secara impulsif pada detik-detik terakhir. Aku sampai kesasar segala di bangsal sebelah.
Sedikit lebih dekat lagi dengan gedung tempat Ibu Arif dirawat, semuanya sudah terlambat. SMS Arif datang. Memberitahukan bahwa ibunya sudah merdeka. Aku takut mengartikan kata “merdeka” itu sebagai kematian. Sampai akhirnya aku tetap harus membaca kalimat itu, “Such a beautiful death.”
Aku seperti mati rasa. Aku tak sempat kaget. Tak sempat sedih. Yang kutahu hanya kuyu. Lalu layu.
Tak karuan rasa hatiku begitu aku telah sebetul-betulnya sadar bahwa Ibu Arif telah tiada. Aku terlambat! Hanya karena aku menunggu SMS-ku pada Udin terkirim. 45 menit yang begitu berarti itu kulewati sekadar untuk membaca Kompas hari ini.
Lalu menunggu Arif menjemputku di Unit Rawat Jalan tanpa aku berinisiatif untuk selekasnya mencari ruangan tempat ibunya dirawat.
(Apakah kisahnya tetap akan sama andaikata SMS-ku pada Udin sampai tepat waktu? Atau mungkin aku langsung ke Karyadi seorang diri? Atau aku langsung menerabas masuk agar aku bisa memberikan darahku dalam 45 menit yang sangat berharga itu? Wiwik menghampiriku. Kesedihanku memuncak lagi. Aku berurai air mata lagi.)
Aku berhasil juga menemukan ruangan itu. Arif duduk dengan kepala tertunduk. Dia sibuk menghubungi sana sini untuk mengabarkan ikhwal kematian ibunya. Aku tak bisa menahan tangisku.
Arif menyalamiku. Aku langsung terduduk kuyu. Terlambat! Ibunya sudah meninggal. Aku bahkan sudah tak lagi mendapati ibunya terbaring di bangsal. Perawat sudah mengurus jenazahnya di ruang sebelah.
Sempat terlintas dalam benakku ber-bag-bag darah yang pernah kudonorkan yang kutak tahu: sia-sia kah? Berhasil menyelamatkan nyawa orang lainkah? Kalaupun iya, apakah ia menjadi sangat berguna pada kondisi yang betul-betul urgen seperti ini?
Juga waktuku. Berapa jam yang pernah kulalui–sekali lagi-sia-sia? Sementara 45 menit yang sangat berharga telah berlalu begitu saja.
(Ada suara sirine di luar sana–entah mobil jenazah, entah ambulan. Kemarin di dalam mobil serupa, ada tubuh ibu Arif yang terbujur kaku.)
Arif menenangkanku. Melihatku menangis, dia jadi ingin menangis lagi. Dia sedang menerima telpon, entah dari siapa. Kusangka dari Basfin. Arif menyebut-nyebutku yang menangis segala. Sesekali dia mengelus kepalaku dan menepuk-nepuk pundakku.
Siapa menenangkan siapa? Kenapa Arif yang kehilangan ibunya, tapi aku yang histeris? Hmmm, aku histeris karena egois–karena aku begitu menyesal datang terlambat hingga ibunya tak lagi tertolong. Beberapa saat kemudian aku baru tahu kalau itu telpon dari Gilang.
Tak lama, Mbak Mei menyusul. Suasana duka masih cukup intens hingga beberapa saat kemudian. Aku, Mbak Mei, dan tiga orang lainnya segera mengabari siapa saja yang bisa dihubungi. Udin masih juga tak bisa kuhubungi.
Setelah mendengar cerita dari Arif, akhirnya aku baru tenang. Dokter sendiri menyatakan sejak hari sebelumnya bahwa ibunya alamat tak tertolong. Entah sudah berapa kantong darah ditransfusikan. Tetapi pendarahan tak bisa dihentikan. Seperti kantong bocor, diisi dari satu sisi tapi bocor di lain sisi.
Arif membawa sebuah biji sawo. Ibunya memungut sawo itu sebelum diopname lalu memasukkannya ke dalam tas. Sampai sawo itu busuk, dia tak sempat memakannya. Arif menerjemahkannya sebagai keinginan yang tak kesampaian: tak sempat menyaksikan kakaknya membangun rumah; tak sempat menyaksikan kakaknya yang lain melahirkan; tak sempat menyaksikannya wisuda; bahkan sekadar makan sawo yang dipungutnya pun tak kesampaian.
----
Aku pamit pada Arif untuk menjemput Udin di Hayamwuruk. Kami mungkin akan turut melawat ke Jepara.
Udin begitu tenang mendengar kabar kematian ibu Arif. Dalam hati aku merutuk: kenapa dia tidak merasa bersalah sedikitpun? Padahal aku kesal bukan main gara-gara hp-nya tak bisa kuhubungi. Baru setibaku di sana, 5 SMS-ku untuk Udin terkirim. Sialan! Aku benci berurusan dengan teknologi yang tak beres!
Hingga pukul 11.00 tak ada jawaban dari Otong, Tirta, dan kawan-kawan lain, aku dan Udin memutuskan segera pergi ke Karyadi. Kami masih harus berurusan dengan helm pula. Terkutuklah siapapun yang mencuri helm-ku. Mengingatnya, ada kalanya aku tak ikhlas bahwa siapapun yang mengambil helmku adalah orang yang memang lebih membutuhkan helm itu.
Kami berpapasan dengan rombongan jenazah ibu Arif di persimpangan menuju bangsal tempat ibu Arif dirawat. Arif tampak tenang sekali. I know him, I suppose. Dalam hati mungkin dia menahan diri sekuat mungkin untuk tak menunjukkan kesedihannya. Dia bercanda dengan beberapa kawan HMI-nya, menggoda beberapa suster dan anak-anak Kedokteran. Arif, Arif ,...
Jenazah ibu Arif dimandikan. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Arif memandangi tubuh ibunya yang telanjang, tampak begitu pucat. Sosok yang pernah mengandungnya, melahirkannya, mengasuhnya, membesarkannya (seperti ibuku). Darah masih mengalir dari rahimnya. Kasihan sekali..
Jenazah dibawa pulang ke Jepara untuk disholatkan, seperti wasiat mendiang. Ibu Arif ingin pamit pada tetangganya di Lebuawu. Namun dia ingin dimakamkan di Kendal, rumah orang tuanya. Aku dan Udin turut.
Tapi kami kecele setiba di Jepara karena ternyata jenazah langsung dibawa ke Kendal tanpa menunggu hingga sore. Aku dan Udin kecapekan setiba di Hayamwuruk. Malam tadi, jam 9 aku sudah tidur.
Kematian ibu Arif begitu membekas dalam ingatanku. Pun pada akhirnya aku tetap bisa menerima dengan rasional bahwa tanpa pertolonganku sekalipun ibunya tetap akan meninggal, tapi aku lebih merasai betapa berharganya waktu pada saat-saat yang betul-betul dibutuhkan.
---
Akhirnya, aku bersetuju dengan Mbak Mei. Kematian ibu Arif mengingatkanku untuk menjaga ibuku dengan lebih baik.
Hayamwuruk, 24 Juli 2005
10.05
*************************
Kisah ini ditulis seorang kawan pada hari ketika ibu meninggal. Terima kasih, Leny..
0 pendapat:
Post a Comment