Wednesday, February 13, 2008

tentang nasionalisme kita

Nasionalisme adalah suatu bentuk ideologi, demikian kata James G. Kellas dalam The Politics of Nationalism and Ethnicity (1991). Ketika globalisasi kapital melanda, konsep ini dianggap kurang relevan dibicarakan. Pasalnya, modal dan keuntungan dapat menembus batas nasionalitas negara dan warga negaranya, dengan bahasa universal sama yakni keuntungan.

Namun pada awal 90'an, semua itu mulai diragukan. Ketika Arab Saudi mengalami booming petrodollar, AS ketar-ketir melihat banyaknya petrodolar itu yang ditanam di perusahaan-perusahaan Amerika. Para pengamat ekonomi dan pelaku bisnis di negeri Sam itu khawatir modal dari Arab itu akan mengubah peta kekuatan kapital dan politik di sana.

Kekhawatiran serupa kembali terulang 23 Juni 2006, ketika China National Offshore Oil Corporation (CNOOC)-semacam Pertamina-nya China-bermaksud membeli perusahaan energi Amerika, Unocal. Harga yang ditawarkan adalah US$18,5 miliar, atau US$1,5 miliar di atas tawaran pesaingnya, ChevronTexaco.

Transaksi itu menjadi fenomenal setelah Konggres AS memutuskan mengintervensi proses pembelian itu, terkait dengan latar belakang CNOOC yang merupakan perusahaan migas terbesar ketiga dari China.

Mereka membahas tuntas pembelian itu dan akhirnya melakukan voting untuk menentukan sikap. Hasilnya, hanya lima suara memutuskan mengizinkan pembelian itu, dan 398 suara lainnya memerintahkan pembatalan pembelian.

Resolusi yang mereka pakai untuk itu adalah 'kekhawatiran akan mengancam keamanan nasional AS, karena Unocal merupakan salah satu perusahaan pemasok energi terbesar di AS'.

Dari situ, terlihat betapa pemerintah dan parlemen AS menerapkan nasionalisme untuk menimbang investasi. They're nationalists in investment..

Konsep nasionalisme
Dari 'drama' itu, konsep nasionalisme menjadi relevan dibicarakan kembali. Sebaliknya, liberalisme kapital dan demokratisasi modal dipertanyakan. Pemerintah AS yang menjadi surga liberalisme kapital ternyata memproteksi modal dalam negerinya.

Alasannya bisa jadi beragam. Bisa karena kepentingan bisnis, bisa juga karena kepentingan nasional. Yang jelas, mereka terbukti masih 'berhitung' ketika hendak menjual aset yang dinilai mempengaruhi ketahanan negaranya.

Selain itu, tampak bahwa pemerintah AS masih menganggap penting fungsi pemerintah sebagai regulator bisnis bagi sektor swastanya, dan memainkannya secara optimal untuk melindungi kepentingan pemilik modal dalam negeri (kepentingan nasional?). Mereka tak membatasi modal, tapi mengklasifikasi dan meregulasi pemegang modal itu.

Lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Pemerintah kita tampaknya memahami hal itu. Setelah melewati berbagai proses privatisasi, akhirnya mereka menjalankan roda ekonomi makro dengan basis 'nasionalisme'. Hanya saja bukan 'nasionalisme' investasi seperti AS, melainkan 'nasionalisme' utang.

Departemen Keuangan baru-baru ini menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) ritel dengan pasar utama investor dalam negeri berkekuatan kapital menengah ke bawah. Dalam dokumen strategi pengelolaan utang yang dibuat, mereka menjelaskan SUN sekunder itu harganya akan dipecah-pecah agar terjangkau kocek investor dalam negeri.

Dalam dokumen yang sama, Depkeu mengakui SUN yang dibeli investor asing memang cenderung berisiko tinggi oleh risiko valas, dan memberatkan anggaran. Karenanya, mereka melirik pasar investor nasional.

Kesimpulan umum memang tak bisa diberlakukan di sini. Kebijakan itu bisa jadi diambil bukan karena persoalan nasionalisme an sich.
Tapi tak apalah. Tak ada [nasionalisme] investasi, [nasionalisme] utang pun jadi.

Subscribe to: Post Comments (Atom)