JIL mendompleng ketenaran cak nur
Pada 15 Maret 2008 ini, Yayasan Paramadina merayakan “peringatan 1000 hari wafatnya Nurcholish Madjid”. Meski sudah wafat, sosok Cak Nur masih tetap menuai kritik. Salah satu kritik paling mutakhir adalah anggapan bahwa pikiran-pikiran Cak Nur terwariskan ke Jaringan Islam Liberal (JIL). Singkatnya, Cak Nur adalah JIL.
Memang antara Cak Nur dan JIL sering dianggap sama-sama liberal. Asumsi ini tampaknya cukup beralasan karena Cak Nur sendiri di tahun 70-an pernah mengusung gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Di sini antara Cak Nur dan JIL seolah terjadi titik-temu secara intelektual.
Apalagi, JIL juga mengakui bahwa gagasan-gagasannya terinspirasi oleh Cak Nur. Maka pencitraan Cak Nur sebagai JIL tak terhindarkan. Padahal gagasan liberalisasi Cak Nur sama sekali tak pernah meragukan dan mempertanyakan keotentikan Al-Quran. Di JIL justru sebaliknya.
Gagasan Cak Nur dan JIL jelas berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis. Buku Islam, Doktrin dan Peradaban, menjadi bukti. Karena itu, secara paradigmatik gagasan Cak Nur lebih sistematis.
Dibandingkan dengan JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas, yaitu, “memelihara yang lama yang baik dan mencari yang baru yang lebih baik”. Dalam hal menafsirkan Al-Quran, Cak Nur mengadopsi metode double movement, dari situasi sekarang ke situasi turunnya wahyu, lalu kembali lagi ke masa kini untuk menggali relevansi ajaran agama.
Sebaliknya, di JIL gagasan dan sistematisasi ide semacam itu tidak tampak. Gagasan-gagasan JIL baru sebatas percikan ide spontanitas yang tercecer di surat-surat kabar dan milis-milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual dan akademis. Karena itu, gagasan-gagasan JIL secara epistemologis masih rapuh. JIL sampai kini belum punya metodologi yang jelas dalam menafsirkan Islam.
Sejalan dengan itu tema-tema pembaruannya juga bisa dikontraskan, bahwa JIL tidak mewarisi Cak Nur. Cak Nur sangat kuat dalam penjelajahan intelektual pada tradisi Islam klasik untuk merespons tantangan modernitas dan kegalauan umat Islam di dunia modern. Dia sangat fasih berbicara mengenai pemikiran-pemikiran Islam klasik dan abad modern. Buku Khazanah Intelektual Islam yang ia sunting dan terjemahkan adalah bukti.
Bahkan, Cak Nur sangat fasih mengutip dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Ia ingin menjadi sosok pious thinker—pemikir yang saleh. Dan rupanya, kesalehan tersebut menjadi semacam ikon Cak Nur, baik dalam kehidupan intelektual, spiritual maupun ritual sehari-hari.
Sementara itu, di tubuh JIL kesalehan tersebut tidak menjadi kebanggaan ketika mengumandangkan gagasan-gagasan pembaruan. Di JIL benar-benar ingin sekuler. Dan, kelihatannya mereka bangga jika tercerabut dari piety atau tradisi. Mereka tidak begitu “apresiatif” terhadap tradisi Islam klasik.
Artinya, JIL benar-benar menjadi sekuler secara sempurna. Mereka ingin membangun formasi sosial-kultural baru yang sungguh-sungguh anti agama, jauh dari nilai-nilai spiritual. Maka, bisa dipahami bila JIL cenderung “anti masjid” dan sinis melihat aktivitas ritual ibadah praktis.
Tradisi pembaruan Cak Nur berangkat dari spirit pencerahan Amerika. Dalam spirit pencerahan Amerika, apresiasi agama sangat tinggi untuk sekularisasi. Agama tidak pernah dipandang sebagai musuh pencerahan dan sekularisme.
Sebaliknya, di JIL agama—khususnya Islam—selalu dimusuhi dan dikritik di luar dosis. Di JIL, semangat pencerahan tampaknya lebih datang dari Eropa yang memang sangat hostile terhadap agama. Meminjam istilah Alfred Stepan, spirit di Eropa ingin freedom state from religion; sementara spirit Amerika ingin freedom religion from state.
Dalam debat mutakhir, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar menjadikan scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public reasoning. Dan JIL tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur, penalaran publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.
Secara teknis, Cak Nur sangat santun dalam artikulasi pemikiran dan tulisan-tulisannya. Sebaliknya, di JIL tidak ditemukan sikap semacam itu. Cak Nur berhasil menarik simpatik pada orang-orang yang memusuhi dia sebelumnya.
Di JIL justru sebaliknya orang-orang yang semula simpatik malah berubah menjadi tidak simpatik. Cak Nur tampaknya memiliki—memakai istilah Toqueville—habits of the mind dan habits of the heart; pikiran dan hatinya sangat santun. Karena itu bisa dipahami jika Cak Nur itu sensitif terhadap perasaan ummat; suatu sikap yang sama sekali tak muncul dari tubuh JIL.
Dengan demikian, gagasan-gagasan Cak Nur agaknya lebih relevan dan punya masa depan. Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap ke dalam “fundamentalisme liberal” akan sulit hidup.
***
I found this essay in Gatra. The titled is Cak Nur Bukan Jaringan Islam Liberal, by M. Deden Ridwan. This columnist is working on a book entitled Cak Nur Bukan JIL. For I was "raised" by Cak Nur and had found how ridiculous Luthfi Asyyaukani (one of JIL's "cleric") while arguing his support on rice import, I proudly display this writing in my blog. as I remember, Luthfi was drinking a beer while we discussed about religion and politic. yes, he's a drunken ulama.. :)
0 pendapat:
Post a Comment