Thursday, January 03, 2008

mengukur ruang insentif 2008

Cobalah anda bertanya pada ekonom lulusan universitas manapun soal minat investasi dunia pada 2008. Bisa dipastikan, jawabannya tidak akan jauh-jauh dari faktor penghambat: efek lanjutan subprime mortgage loan, kenaikan harga minyak mentah dunia, dan perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS).

Ya, kondisi perekonomian tahun ini memang diproyeksikan suram (gloomy), sehingga membuat para pemimpin negara G-20 sepakat memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,5%, itupun dengan tambahan catatan 'masih berisiko terkoreksi lebih dalam'.

Kondisi seperti itulah yang mungkin dihadapi pengusaha swasta pada 2008, dan menjadi batu ujian bagi pemerintah dan skuad ekonominya yang memimpikan investasi berdatangan bagai durian runtuh sesuai jargon '3 pro': pro growth, pro jobs, and pro poor.

Bagi SBY-Kalla, tantangan ini bahkan menjadi ujian berbobot terbesar bagi kredibilitas mereka, mengingat 2008 adalah momen terakhir untuk melakukan-meminjam istilah pasar modal-windows dressing, memoles kinerja menyambut pemilu 2009.

Sejauh ini, kendali pertumbuhan investasi tampaknya masih akan dipegang pemerintah. SBY-Kalla akhir tahun lalu meluncurkan sembilan jurus pengaman anggaran negara yang siap dipraktikkan menghadapi tiga skenario terburuk harga minyak mentah dunia.

Kebijakan anggaran ini memang berujung pada trik paling baheula menstimulasi investasi dan dunia usaha di sektor riil, yakni menggelontorkan belanja pemerintah agar sektor swasta dalam negeri terpacu bergerak. Ini penting untuk memastikan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) masih terakumulasi positif setahun ke depan.

PMTB merupakan komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB). Investasi pemerintah yang dicatat sebagai PMTB adalah pengadaan, pembuatan, serta pembelian barang-barang modal baru dari dalam negeri, serta barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri.

APBN sejauh ini memang menyumbang 86% PMTB, dan swasta-menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Luthfi-membantu 14% sisanya.

Ibaratnya, pemerintah akan menjadi orang tua yang baik dengan membeli barang jualan anak-anaknya sendiri, tepat ketika barang tersebut tak terjual karena orang sekampung lagi miskin semua.

Mereka mengalokasikan dana Rp101,6 triliun (2,4% PDB) di APBN yang siap disuapkan ke mulut para pelaku usaha domestik, untuk membantu nadi bisnis berdenyut sesuai proyeksi.

Di luar itu, pemerintah akan menggenjot penjualan saham-sahamnya di BUMN ke pasar modal (initial public offering/ IPO) maupun penerbitan saham baru (rights isssue) BUMN untuk memastikan perusahaan pelat merah menyumbang angka PMTB dengan gelontoran investasi untuk ekspansi usaha.

Meski terdengar ganjil karena menyuruh BUMN berekspansi besar-besaran di kala ekonomi dunia sedang gloomy, namun rencana ini setidaknya akan menjadi insentif tersendiri bagi pasar modal dan bagi pelaku usaha, terutama mitra BUMN.

Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal berupa perbaikan mekanisme plus perluasan cakupan industri dan daerah yang akan menerima insentif fiskal sesuai PP 1/2007. Masalah ini masih dibahas intensif di Tim Percepatan Ekspor dan Percepatan Investasi (PEPI).

Aroma insentif pajak juga tercium kuat tahun ini menyusul PP pemberian diskon pajak 5% untuk PPh perusahaan yang tercatat di bursa, dengan kepemilikan saham publik di atas 40%.

Tak cukup ruang
Di luar kebijakan anggaran, bisa dikatakan tidak ada ruang bagi pemerintah untuk mengobral insentif demi menarik minat investasi sesuai jargon '3 pro' kesayangan mereka.

Ekonom Faisal Basri menilai pemerintah tahun ini tidak dalam posisi leluasa memberikan insentif, mengingat pemerintah sendiri akan tertekan mengendalikan neraca APBN akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.

Menurut dia, kebijakan paling tepat adalah mengurangi berbagai akar persoalan investasi seperti keterbatasan infrastruktur, perizinan berbau pungli, birokrasi biaya tinggi, sumber energi, hingga perburuhan.

"Tidak perlu insentif pembebasan pajak ataupun fasilitas pajak. Jika pemerintah mampu membenahi hambatan-hambatan di pelabuhan, birokrasi, infrastruktur, maka itu sudah sangat cukup untuk menarik investasi ke Indonesia," tuturnya belum lama ini.

Namun alih-alih mengurangi hambatan investasi, pemerintah justru menjelma menjadi problem investasi dengan menampilkan 'drama' ketidakpastian di sela kebijakan-kebijakan canggih yang dibuat.

Pemerintah memang telah menyempurnakan dua regulasi yang sangat terkait dengan dunia investasi yakni UU No.28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU No.40/2007 tentang perseroan terbatas.

Jangan lupakan juga keberanian mereka mengegolkan UU No.25/ 2007 tentang Penanaman Modal, yang sejak awal dicurigai 'mengobral kekayaan negara' sehingga nasibnya berakhir sebagai polemik di Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/ WEF) justru mengganjar prestasi itu dengan memangkas indeks daya saing Indonesia 2007-2008 ke posisi 54, dari posisi sebelumnya yang masuk 50 teratas.

Survei terhadap 11.000 pebisnis tersebut menganggap isu transparansi pembuatan kebijakan di Indonesia masih sangat buruk. Dari 131 negara yang disurvei, Indonesia ditaruh di posisi 131 alias terburuk.

Meski hasil survei masih bisa diperdebatkan, namun para pebisnis dunia tersebut setidaknya membahasakan kritik yang mungkin tersilap, yakni lubang kebijakan berupa intransparansi yang berujung pada ketidakpastian regulasi.

Regulasi investasi masih berposisi sebagai macan kertas dan belum menjamin adanya kepastian implementasi.

UU KUP, misalnya, sejak disahkan sampai sekarang belum dilengkapi dengan peraturan teknis lebih rendah sebagai panduan pelaksanaan di lapangan. Demikian juga dengan UU penanaman modal yang nasibnya masih terombang-ambing di MK.

Berbagai PP dan KMK untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, sampai sekarang belum berdampak apapun terhadap pembebasan lahan dan pembangunan jalan tol.

Karena itu, sekaranglah saatnya mesin birokrasi bekerja mengartikulasikan 'insentif ekspektasi' di ranah politik, menjadi insentif praktis yang memberi keyakinan investasi di sektor riil.

Dengan begitu, "pro growth, pro poor, and pro jobs" tidak berakhir menjadi jargon kosong bertameng ribuan dalih, melainkan benar-benar menjadi prestasi pemerintahan di negeri yang lagi miskin insentif.

***

Happy new year, Indonesia.. this writing's dedicated to you, through Bisnis Indonesia's special edition.

ikram said...
Ah, ini sih kita juga bisa baca di Bisnis Indonesia online..

*balasdendam hahaha
turabul-aqdam said...
nggak.. ga mungkin! soalnya, edisi khusus "arah Indonesia 2008" baru keluar tanggal 14! waaa... jadi aku sembunyiin dulu deh..

hihihihi...
Anonymous said...
oo..ini ya tulisan yang menggetarkan lantai 7 itu? hehehe... tetep lho, ga aku baca ampe selesai :D
Nggak ada kata-kata hutan, matahari dan sungai-nya sih ;p

Love u honey.. You are the best
zen said...
menggetarkan lantai tujuh maksude opo? gempa piro skala richter?
turabul-aqdam said...
ERRA, I love u..

ZEN, love u too... wakaakakakakak..
ikram said...
Arif you don't love me anymore?
zen said...
blog kampret. rak tau apdet. kacrut.
Subscribe to: Post Comments (Atom)