Friday, July 08, 2005

minggu pertamaku

hari 1
aku menerjemahkan. i enjoy it! (sehari kemudian dimuat).


hari 2
aku ditugasi meliput sebuah press release. selesai liputan, sampai kantor jam 3, lalu nulis. gaya yang kupakai features. setelah selesai, dan kuserahkan pada redaktur, hmm... dibabat habis! aku jadi merasa seperti anak magang Hayamwuruk yang tulisannya lagi dibabat Basfin enam tahun yang lalu. (tapi masih dimuat, meski aku sendiri malu mengakuinya sebagai tulisanku)

lalu Mbak Elsa menaruhku di pos pendidikan.
what? pikirku (ini seperti menyuruh orang mencari kayu bakar, ketika orang-orang membutuhkan minyak tanah untuk memasak.)

tapi aku bersikap sebagai pemula yang baik. aku terima.


hari 3
aku liputan di UI. setelah kebingungan, akhirnya kuputuskan mengangkat berita tentang sebuah perusahaan pencari laba milik UI. (dimuat pada hari selanjutnya....fyuhhh...)


hari 4
ke UI lagi. coba peruntungan.

yup, ketemu wartawan Suara Pembaruan yang juga ngepos di UI. kita janji ketemuan di depan Istana Merdeka meliput aksi penolakan Perpres 36/ 2005.

ternyata mereka korban penggusuran. ada ibu-ibu dan anak-anak bersama mereka.

selepas dua jam, aparat membubarkan massa. empat orang ditangkap. para ibu itu bersholawat dan menangis. anak kecil itu juga. ayahnya adalah salah satu yang ditangkap aparat.

aku menepi dari kerumunan, menuju taman. di sana duduk sebentar, mataku terasa berat. tak ada orang melihat, aman. aku menangis.

lima menit kemudian, aku kembali meliput, kurangkum dan kuberitakan kepedihan mereka dalam tulisan features-ku. hasilnya? TIDAK DIMUAT.

sejak itu aku sadar. aku hanyalah kuli tinta, untuk mereka yang sepakat dengan perpres 36/ 2005.

“lihat tuh, penjual sio may itu. intel dia,” kata bian, wartawan Persda.
hmmm.....


hari 5
aku mendapat tugas ke mabes polri. abis jum’atan, aku segera bergabung dengan wartawan lain, mencegat Da’i Bahtiar. shit! i’m the only reporter with no recorder. (i’m not fully loaded!)

lalu aku menulis tentang tersangka Jemaah Islamiyah yang diindikasikan ditangkap aparat dengan kekerasan. tapi hanya ada satu narasumber yang bisa kutemui. menemui para korban di sel, tidak diperbolehkan. apa lacur? tulisan harus ada. hehe..

senior yang mendampingiku (atau tepatnya kudampingi) kebingungan, “kita nulis berita apa nih, Rif?”

aku nyengir, tapi di kantor tetap nulis, dengan keyakinan penuh itu tidak akan dimuat.

dan aku bener.


hari 6
libur. aku nemeni omku maen ke rumah temennya. di sana aku hanya berpikir, betapa menyenangkan hidup tanpa ikatan seperti ini, bisa menulis tanpa pesanan, selain pada kesadaran dan tanggung jawab kemanusiaan.

ada sesuatu yang terhimpit dalam dadaku, tidak akan kubiarkan hilang.

eh...aku juga sadar ternyata aku kurang lihai menulis hard news dalam ritme kerja yang cepat seperti ini. hehe.. maklum dari persma, yang terbitannya berkala!

tapi aku akan bertahan. ahh....

Anonymous said...
baru jadi wartawan ya, ihik-ihik. belum tau ya, jadi wartawan tuh nyebelin, dah gajinya kuecilnya minta ampyun, mending jadi pengedar kondom aja, he sori.... abis kamu nggemesin sih...
turabul-aqdam said...
toni! aku kutuk kau...
mmm..jadi mahluk paling buruk di bumi.

jadilah toni!!!!
turabul-aqdam said...
eh, kamu toni kan?
kalo nggak, ya maap.
kalo iya, aws lu toni!!!
Anonymous said...
kamu emang memnggemaskan kok.
Subscribe to: Post Comments (Atom)