Friday, August 12, 2005

sein zum tode

Sinar mentari merasuk menembus jendela. Di dalam ruangan yang berwarna kuning keemasan itu, sinarnya berpendar-pendar menyoroti beberapa gelintir orang yang membisu. Mereka larut dalam sebuah agony, duduk mengitari sebuah peti berpelitur cokelat di tengah ruangan. Di dalam peti itu, sebuah sosok pucat terbaring diam.

Di pojok ruangan, seorang lelaki membisu, terabaikan. Bola matanya mengamati orang-orang itu. Di matanya, semua orang itu seperti para pemain drama yang tengah berusaha menjalankan peran menangis.

“Satu…dua...tiga…”

Ujung jarinya menunjuk beberapa orang yang masih tersengal-sengal.

“Tiga orang mulai berhenti menangis, La.” bisiknya. Matanya memandang sosok di dalam peti itu.

Tiba-tiba datang seorang wanita tua. Ia memeluk ibu berkerudung hitam yang sedari tadi menatap kosong ke tengah ruangan. Beberapa saat setelah menyatakan kesedihan dan simpati, wanita tua itu secara mekanis menyapukan sapu tangannya ke muka, ikut menitikkan air mata. Aneh. Di mata lelaki itu, tindakan sang wanita tua lebih tampak seperti trik menyembunyikan wajah, menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Sementara itu di tengah ruangan, sosok pucat itu terbaring tenang. Sekelumit senyum menyembul di ujung bibirnya, begitu polos hingga sepertinya tak layak untuk dijadikan bahan kesedihan.

Lelaki di pojok ruangan itu kembali terpekur. Ia tenggelam dalam sebuah pertanyaan. Kenapa ia tak bisa menangis seperti mereka? Bukankah gadis itu, atau tepatnya sosok pucat di peti mati itu adalah sahabat karibnya? Bukankah mereka memiliki waktu-waktu menyenangkan bersama; berlarian di tengah hujan, menangis dan mengutuk kehidupan bersama, saling menitipkan dan menjaga rahasia? Bukankah,… mereka tak terpisahkan?

Lalu anehkah ia, tabukah ia jika tak turut menangis meratapi kepergiannya? Ia menundukkan kepala, menatap ubin ruangan lekat-lekat. Tiba-tiba, sebutir air keringat meleleh dari dahinya, mengembang di udara dalam sekian detik, dan akhirnya menghunjam permukaan berkilat lantai marmer itu.

Ia berbisik, "Aku memang tak menangis, karena aku mengenalmu, La. Mereka menangisimu seolah mereka lebih mengenal dan lebih memilikimu daripada aku. Mereka tak tahu bahwa aku telah menemanimu dan bersama-sama menghabiskan saat indah bersamamu. Kita berbahagia bersama hingga detik-detik terakhir hidupmu.”

Ia terdiam sejenak.

“Orang-orang ini, tak memberi apapun selain kesan dan perhatian luar yang bersifat keseketikaan. Mereka menangis, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri, untuk kesedihan yang membebani hati mereka, meratapi hilangnya sebuah materi dari dunia mereka. ”

Lelaki itu menemukan sebuah kenyataan. Keberadaan gadis itu dalam hidupnya bukan seperti anjing piaraan, yang jika ia tersesat dan hilang, maka layak ditangisi habis-habisan. Seseorang yang meratapi anjingnya yang hilang, menangis karena satu alasan: sedih dan kecewa, karena sebagian miliknya yang mengasyikkan telah hilang.

"...dan kawanku ini, bukanlah milikku. Ia memiliki dirinya sendiri. Di luar ikatannya denganku, ia memiliki ikatan dengan Sang Maha Memiliki. Bagaimanapun juga, suatu waktu ia pasti pergi meninggalkanku. Setidaknya, aku telah mengisi hidupnya dengan kebahagiaan. Dan itu, lebih bernilai dari ratap tangis sekeras apapun!”

Ia pun tersenyum, lalu kembali memandangi bayang wajahnya dalam ubin. Kali ini, sebuah pertanyaan besar mengemuka di benaknya.

“Jika tiba saatku untuk pergi, akankah ada seseorang yang tak menangisiku karena telah memberi kebahagiaan hingga di sisa hidupku?”

Untuk pertanyaan terakhir ini, ia hanya bisa tercekam membisu. Beberapa menit kemudian nafasnya terasa sedikit berat. Bayang wajahnya di ubin perlahan mengabur. Tanpa terasa, sebutir air meleleh, mengembang dan menghunjam bayang-bayangnya di ubin itu. Tapi kali ini bukan dari dahinya, melainkan dari sudut matanya.***

09.30, Taman Singosari

(selamat beristirahat. kita pasti akan bersama lagi, segera.)

turabul-aqdam said...
REQUIEM

ironisnya, aku belum merasa cukup memberikan kebahagiaan pada orang yang paling kucintai, madu dalam lukaku, penat dalam tangisku, hembusan dalam darahku.

aku baru bisa menabung kebahagiaan yang bisa ia lihat dari sisi-Nya.

di luar itu, aku angkuh padanya, beralasan inilah cinta-kebaktian yang sebenarnya, tak perlu diungkapkan tapi cukup dilakukan, terlepas dia tahu apa tidak. ikhlas, kata ulama.

dulu aku percaya konsep cinta dan pengabdian seperti itu, dan mempaktikkannya.

kini salahkah itu? kenapa sekarang aku menyesal? kenapa Tuhan merenggut dia, tepat 70 jam sebelum official event yang kan membuatnya bangga telah melahirkanku itu berlangsung?

Tuhan, aku mengikhlaskannya, tapi situasi ini terlalu menyakitkan.
zen said...
Seekor anak kelinci berniat pergi jauh. Maka bilanglah ia pada ibunya.
"Ibu, saya akan pergi jauh meninggalkan ibu."
Mendengar kata-kata anaknya, ibu kelinci menjawab: "Kalau kamu pergi jauh, ibu akan terus mengejarmu."
"Kalau ibu mengejarku, aku akan menceburkan diri ke sungai, menjadi ikan dan berenang sejauh mungkin," kata anak kelinci.
Ibu kelinci tersenyum seraya menjawab: "Kalau begitu ibu akan jadi nelayan yang akan menangkapmu dengan jala."
Si anak kelinci masih tak kehabisan akal. "Kalau begitu aku akan jadi burung saja. Terbang. Dan ibu tak akan bisa mengejarku."
Si Ibu masih juga tersenyum. Dengan bijak ia menjawab: "Kalau kamu jadi burung, ibu mungkin tak akan bisa mengejarmu. Karena itulah ibu akan jadi pohon saja sehingga kamu bisa hinggap tiap kali kamu kecapaian."
Anak kelinci yang nakal itu diam. Lalu ia berlari memeluk ibunya.

(Arif, masih ingat saya?)

10:04 AM
turabul-aqdam said...
Pejalan jauh,

Saya lupa siapa Anda. Mohon maaf, inilah permasalahan terbesar saya sekarang, yakni mulai melupakan repih demi repih ingatan. Saat ini, banyak hal baru yang harus saya ingat dalam waktu cepat.

Tapi tolong katakan maksud Anda dengan membuat kisah anak kelinci dan ibunya itu. Apakah Anda tengah berusaha menenggelamkan saya kembali dalam kesedihan—yang baru bisa saya atasi setelah melewati 90 hari?

Ke manakah saya akan hinggap, ketika pohon itu telah meranggas dan luruh sebagai debu yang berpusar menuju awan?

Saya harus kembali menjadi debu, tentunya. Dan saya sangat merindukan itu.


*rif
zen said...
Pejalan jauh itu saya. Zen. Masih ingat?
turabul-aqdam said...
ya..ya.. tentu. aku lupa penanda yang kau pakai di dunia maya. tapi petanda binner di baliknya, aku masih ingat, sobat!

lama kau menghilang dari peredaran tanpa kabar. kapan-kapan kirimilah aku beberapa karyamu.
zen said...
Beri tahu saya apa petanda biner yang kamu maksudkan. Soal karyaku, ah aku masih belum berkarya apa-apa pak Arief.
turabul-aqdam said...
petanda itu adalah kedirianmu di balik nama 'zen' atau nama 'pejalan_jauh'.

aku lupa pejalan_jauh itu penanda siapa, tapi aku masih ingat sosokmu di Dibyo Puri.

sekarang gantian kamu yang harus jawab pertanyaanku di atas. ..?
zen said...
Soal kisah Kelinci itu ya? Maaf Pak Arief kalau kisah itu bikin sampeyan gundah. Tak ada maksud apa-apa kok dari kisah itu. Kisah itu, yang aku petik dari cerita anaknya Hans Christian Anderson (sampeyan pasti ilebih paham siapa dia), hanya mengingatkan saya pada sejumlah perhentian yang biasa aku singgahi tiap kali lelah mengerkah. Pada akhirnya, kita memang membutuhkan tempat dan waktu untuk tetirah. Mungkin itu sebatang dahan di pohon. Mungkin itu sejulur garis pantai yang lengang. Mungkin itu sebuah cerita usang yang ditulis pada abad-abad yang telah lewat oleh seorang sastrawan yang sudah mendiang. Pada akhirnya, mungkin, kita memang membutuhkan rumah!

Oh ya, apa kabarmu? Kabarnya kau kerja di BI ya?

(mampir diblog-ku yang masih bersahaja ya...)
turabul-aqdam said...
oo.. i see.

aku memang membutuhkan rumah yang teduh, membuatku betah, yang begitu berharganya bagiku hingga aku rela membaktikan kesetiaanku padanya, sehingga aku rela menjalani hidup yang ampang ini.

selain ibuku, aku belum lagi menemukan sosok itu. payah! :)

blogmu apa?
zen said...
pejalanjauh.blogspot.com

(nanti aku diajarin mendandanin blog-ku ya. blog-ku masih sangat bersahaja)
turabul-aqdam said...
(semoga kau sempat baca ini, Zen)

aku baru aja menikmati blog-mu. aku emang tak salah menduga saat pertama melihat sosokmu di Dibyo Puri.

tapi tak ada account untuk anonymous di blog-mu. padahal, aku hanya memakai user-ku di dalam blog-ku.

aku suka menjadi anonymous di blog orang lain, di mana hanya yang mengenalku yang tahu diriku.

jadi ga bisa comment ke blogmu. :)

iya, aku di BI. tapi masih kontrak.

makasih atas kunjungannya.
zen said...
Memangnya sampeyan pernah menduga apa tentang ku kala di Dibya Puri silam? Bolehkah saya tahu apa dugaan sampeyan itu? Dan apakah dugaan itu menurut sampeyan betul?
Anonymous said...
..singgah sebentar di siang ini..

salam,

Astri
turabul-aqdam said...
halo astri, terima kasih ya?

blog kamu apa sih?
zen said...
di sini aku komen pertama kali di blogmu yang makin lama makin katrok ini! apdet atau kacrut?!!!
Subscribe to: Post Comments (Atom)