Friday, May 08, 2020

AS vs China: Siapa Mengada-Ada Soal Corona?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih juga gusar terhadap China dengan terus menyerang Negeri Panda tersebut, menuduhnya “berbohong” dan gagal mengendalikan epidemi Covid-19 hingga berujung pandemi seperti sekarang.

Dia pun menyiapkan segala opsi untuk menekan dan menuntut pertanggung-jawaban Beijing, dan mengancam penghentian pendanaan terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang dituduhnya sebagai “pelayan China”.

Terbaru, Trump dalam konferensi pers tanpa sesi tanya jawab Jumat (29/5/2020) menuduh China: mencurangi, mencuri Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dan lapangan kerja AS, merebut Laut China Selatan dan “menutup-nutupi virus Wuhan” sehingga berujung pandemi.

Sebagai balasan, AS mengumumkan keluar dari WHO, mencabut hak keistimewaan Hong Kong, membatasi migrasi dan aktivitas studi warga China di AS, serta menuntut perusahaan China di Wall Street untuk mengikuti peraturan AS.

Benarkah China berbohong terkait wabah Covid-19 di negaranya, dengan dibantu WHO untuk “menipu” dunia? Atau jangan-jangan ini adalah sandiwara Trump untuk mengalihkan fokus publik dari kegagalannya mengatasi Corona?

Berikut ini penelusuran mengenai kronologi dan daftar tudingan AS terhadap China terkait Covid-19 dan fakta sebenarnya mengenai itu, berdasarkan pemberitaan media, jurnal ilmiah, dan laporan resmi pemerintah.

Latar Belakang
Isu penyidikan atas pandemi Covid-19 secara resmi dibawa ke meja internasional dalam ajang Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) yang digelar oleh WHO, badan resmi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam ajang tersebut, AS melalui Menteri Kesehatan AS Alex Azar dalam pidatonya menuding WHO gagal melakukan transparansi terkait pandemi, semetara ada “satu negara” yang bermain-main dengan kewajiban mereka soal transparansi.

“Dalam upaya untuk mengatasi wabah ini, setidaknya satu negara anggota mempermainkan kewajibannya terkait kewajiban transparansi, dengan harga yang harus ditanggung seluruh dunia,” tuturnya dalam pidato, mengimplikasikan ‘China’ sebagai negara yang dimaksud.

Dia juga menuding WHO gagal menjalankan misi utamanya untuk membagi informasi dan transparansi ketika negara anggotanya tidak transparan dengan niat baik. “WHO harus berubah, dan ia harus jauh lebih transparan dan akuntabel,” ujar Alex.

Sikap resmi itu mengiringi bombardir cuitan Trump mengenai “kebodohan” China, manipulasi WHO, yang juga didengungkan oleh negara lain seperti Jerman dan Australia. Belakangan, WHO menyepakati penyidikan bersama yang independen mengenai itu.

Periode “Bulan Madu” dengan China
Ada dua gelombang sikap Trump (AS) mengenai isu Corona dan China, dengan milestone atau tonggak penanda pebedaan sikap tertancap di tanggal 23 Februari, yakni saat karantina wilayah (lockdown) China dibuka dan episentrum pandemi bergeser ke AS.

Pertama, sikap Trump atas penanganan corona di China sangat positif, kemungkinan masih terbawa suasana damai pasca-penandatanganan kesepakatan dagang fase pertama. Trump memuji penanganan Covid-19 di China Xi sebanyak 11 kali sepanjang Desember-Februari.

Pada cuitan tanggal 24 Januari, atau sehari setelah Wuhan terkena lockdown total karena jumlah terinfeksi menembus 1.300 orang, Trump menilai China telah bekerja sangat keras untuk mengatasi virus Corona “Saya ingin berterima kasih pada Presiden Xi,” ujarnya.
I
Pujian kedua diberikan Trump kepada China dalam wawancara dengan Fox News pada 30 Januari. Sebagaimana diberitakan CNN International, Trump menyebut China “bekerja sangat bagus” meski sedang kepayahan.

Selanjutnya, Trump mengklaim telah berbicara dengan Presiden China dan menyatakan akan membantu China “di sisi manapun” yang mereka bisa bantu. Dia memberikan pernyataan itu dalam sambutannya di ajang Opportunity Now, yang digelar di Carolina Utara.

Keempat, Trump memuji Xi Jinping dalam cuitan pada 7 Februari, dengan mengklaim baru saja ngobrol lama dengan Xi, dan menyebut dia sebagai pemimpin yang “kuat, tajam, dan fokus penuh tenaga” pada penanganan Corona.

Dalam pidato sebelum bertolak dari Gedung Putih pada hari yang sama, Trump kembali menegaskan pujiannya pada China terkait penanganan Corona.

Tiga hari kemudian, dalam wawancara dengan Fox Business, Trump kembali menyatakan bahwa China sangat profesional mengatasi wabah Corona, dan dia yakin virus tersebut akan hilang pada April ketika memasuki musim panas.

Hal yang sama diulangnya dalam berbagai kesempatan berbeda, yakni ketika berkampanye (10 Februari), wawancara dengan Fox News (13 Februari), konferensi pers sebelum bertolak dari Gedung Putih (18 dan 23 Februari), dan ketika berkunjung ke India (26 Februari).

Maret: Tuduhan Trump Bermunculan
11 Maret : Robert O’Brien, penasihat Gedung Puth bidang keamanan nasional menuduh China menutup-nutupi. “Alih-alih menggunakan praktik terbaik, wabah di Wuhan ini ditutup-tutupi," tuturnya mengacu pada penahanan dokter yang buka mulut terkait wabah mirip SARS tersebut.

FAKTA: pemerintah Hubei pada 1 Januari memang menangkap dokter Li Weinlang dan 7 dokter lain karena menyebar “desas-desus” yang tak berbasis data lab. Namun, China melapor ke WHO pada 31 Desember mengenai keberadaan infeksi mirip SARS tersebut.

17 Maret: Trump menggunakan istilah “virus China” dan menampik kritikan yang menyebut dia bersikp rasis atau mempraktikkan xenophobia (menyebar ketakutan terhadap orang asing).

FAKTA: International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) pada 11 Februari menamai virus itu Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan wabahnya disebut sebagai Covid-19. Direktur CDC AS menyatakan ketaksetujuan atas sikap Trump tersebut.

21 Maret:  Trump menilai China terlambat memberitahu AS mengenai wabah tersebut, menyoroti tidak banyak diseminasi pemberitaan mengenai Covid-19 di masa awal kemunculannya di China.

FAKTA: dalam sebulan pertama kemunculan wabah (Desember 2019), China (terutama pemerintah Hubei) menutup akses publik atas kasus itu dan hanya mengizinkan sumber resmi, yang berujung penangkapan dokter Li Wenliang. China baru melarang penutupan informasi seputar wabah pada 21 Januari. China memang terlambat 1 bulan untuk bersikap transparan.

22 Maret: Trump kembali menuduh China bertanggung jawab atas penyebaran Covid-19, mengklaim bahwa Beijing seharusnya bisa memberitahu AS “tiga bulan” lebih dini dari tanggal ketika China memberitahu dunia soal wabah tersebut.

FAKTA: China melapor ke WHO mengenai gejala wabah Covid-9 pada 31 Desember 2019. Tiga bulan sebelum itu, alias pada 30 September jika mengacu pada klaim Trump, belum ada temuan kasus karena kasus pertama Covid-19 di China baru muncul pada 8 Desember.

1 April: Tiga agen intelijen AS, sebagaimana diberitakan Bloomberg, menuduh laporan korban Covid-19 di China tidak mencerminkan angka sebenarnya.

FAKTA: pada 17 April, China merevisi jumlah korban tewas akibat virus tersebut, menaikkannya hingga 50% dari angka semula, menjadi 3.869 korban jiwa. Mereka mengklaim revisi dilakukan karena angka semula, yang dilaporkan rumah sakit, belum akurat. China terbukti tidak akurat.

14 April: Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo dalam wawancara dengan Foxnews mengaitkan pandemi Covid-19 dengan keberadaan laboratorum virologi Wuhan yang diduga jadi tempat bocornya virus itu dari dalam lab.

FAKTA: laboratorium yang dimaksud, yakni Wuhan Institute of Virology (WIV), pada 2015 merupakan lab pertama di China yang meraih sertifikat standar keselamatan tertinggi dunia untuk lab bioriset (yakni BSL-4).

16 April: Menteri Pertahanan AS Mark Esper dalam wawancara dengan NBC menuntut China jujur menjelaskan mengenai asal-muasal virus Corona, dan mengklaim sulit mengetahui kondisi sebenarnya di China.

FAKTA: WHO telah melakukan kunjungan ke Wuhan pada 20 Januari. Bahkan WHO melakukan misi gabungan (yang melibatkan delegasi 25 negara, di mana CDC AS ikut di dalamnya) pada 16 Februari untuk mengetahui kondisi penanganan wabah tersebut. Hasilnya, virus Corona tergolong zoonotik dari kelelawar, yang berasal dari pasar Huanan.

29 April: Pompeo menuduh China menyebabkan kerusakan global karena virus corona menyebar ke seluruh dunia dan berutang pada dunia untuk memberi pertanggungjawaban.

FAKTA: Penelitian Universitas Paris berjudul “Asymptomatic Transmission, the Achilles’ Heel of Current Strategies to Control Covid-19” menemukan bahwa virus corona mudah tersebar. Berbeda dari flu biasa, pengidap Covid-19 tanpa gejala (asimtomatik) memiliki kandungan virus di droplet yang sama tingginya dengan bergejala sehingga transmisi sulit dibendung.

30 April: Trump mengklaim memiliki bukti bahwa virus SARS-CoV-2 lepas dari laboratorum virologi China, meminta China membayar ganti rugi.

FAKTA: Pada hari yang sama, New York Times melaporkan bahwa Gedung Putih menekan CIA untuk “menyediakan bukti” soal kesalahan China dalam pandemi Covid-19.

3 Mei: Pompeo mengklaim ada banyak bukti bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari laboratorum virologi Wuhan, dan tak meragukan bahwa itu adalah virus buatan manusia.

FAKTA: WHO mengatakan virus tersebut bukan buatan manusia, melainkan bermutasi secara alami. Hingga kini, Gedung Putih tak mempublikasikan bukti yang dimaksud.

15 Mei: Pompeo mengklaim ada banyak bukti bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari laboratorum virologi Wuhan, dan tak meragukan bahwa itu adalah virus buatan manusia.

FAKTA: WHO mengatakan virus tersebut bukan buatan manusia, melainkan bermutasi secara alami.

21 Mei: Trump menyalahkan China atas “kematian di seluruh dunia” akibat virus Corona.

FAKTA: Hingga kini, Gedung Putih tak mempublikasikan bukti yang dimaksud sebagai dasar kesalahan China.

29 Mei: Trump menggelar konpers, menuduh China mengabaikan kewajiban pelaporan ke WHO, dan menekan WHO untuk menyesatkan dunia terkait penanganan wabah Covid-19. yang merenggut lebih dari 100.000 nyawa warga AS dan lebih dari sejuta nyawa di dunia.

FAKTA: Hingga kini, Gedung Putih tak mempublikasikan bukti “tekanan China” atas WHO. Data Worldometers (per 31/5/2020) menyebutkan angka kematian akibat Covid-19 adalah 105.557 warga AS, tetapi hanya 370.870 di seluruh dunia (bukan sejuta seperti klaim Trump).

Politisasi Pandemi demi Hegemoni
Pemerintah China (dalam hal ini pemerintah Hubei) yang otoriter memang mengunci diseminasi informasi wabah Covid-19 di satu pintu. Tujuannya kemungkinan besar adalah untuk mencegah kepanikan di tengah momen penggerak konsumsi China yakni liburan Tahun Baru Imlek.

Pemerintah Hubei berkepentingan agar masyarakat tetap beraktivitas normal, karena bakal menggelar ajang festival makanan Imlek, dengan mengumpulkan 40.000 orang di ajang ‘makan bareng’ demi mencetak rekor Guiness pada 18 Februari.

Ajang ini tetap digelar meski pasien pertama teridentifikasi virus 42 hari sebelum itu, dan sudah ada data yang cukup mengenai tingginya penyebaran virus ini. Festival ini tetap digelar bahkan setelah pasien pertama di luar negeri yakni Thailand dan Jepang teridentifikasi.

Sikap ketertutupan Beijing ini terbukti keliru. Berbeda dari SARS yang berhasil mereka kendalikan pada 2003, virus corona strain terbaru ini memiliki karakteristik yang tak dimiliki SARS, yakni mudah menyebar berkat pengidap tanpa gejala (asimtomatik).

Namun, perlu pembuktian bahwa ketertutupan China itu memang diagendakan seperti terimplikasi dalam klaim Trump, dan bahwa China telah menekan WHO untuk menjalankan agenda itu. Bukti ini sampai sekarang belum ada, dan hanya berakhir sebagai tuduhan.

Berbasis tuduhan itu, Trump menyalahkan China setelah negaranya menjadi episentrum baru pandemi Covid-19 sejak Maret. Sikap resmi permusuhan dengan China diumumkan pada 20 Mei ketika Pompeo menegaskan bahwa krisis Corona mengakhiri “ilusi kedekatan AS-China.”

Mengutip, kolumnis Financial Times Gideon Rachman, aksi lempar batu (blame game) ini hanya bisa diakhiri dengan penyidikan bersama, yang muskil dilakukan karena pandemi hanyalah amunisi tambahan bagi perang dingin mereka—guna memperebutkan hegemoni.

Wall Street juga cenderung menilai semua ini adalah retorika politik Trump, karena tak berujung sanksi tarif atau ekonomi. Indeks S&P 500 dan Nasdaq kompak menguat, sebesar 0,5% dam 1,3% di hari konpers Trump, dan Dow Jones terkoreksi sangat tipis yakni 0,07%.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)