Saturday, July 05, 2014

Catatan Pemilu 5: Mendobrak Tabu Politik

"It is the highest form of self-respect to admit our errors and mistakes and make amends for them. To make a mistake is only an error in judgment, but to adhere to it when it is discovered shows infirmity of character." (Dale Turner)

Seorang capres menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan ada "maling" di dalam partainya dan dalam kubunya. Dia membuka diri atas kemungkinan itu. Dan pendukung capres pesaingnya pun menyambut dengan sorakan bernada mengejek.

Saya bingung. Kenapa diejek? Justru, saya yang sudah sebal karena disuguhi debat tak berbobot dengan kesalahan-kesalahan kecil (Jokowi datang telat, Protokol Tokyo JK, Kalpataru Hatta, 'dongeng Kalpataru tak berhadiah uang'-nya Jokowi, dll) malah jadi semangat.

Tidak pernah saya menemukan seorang politisi yang blak-blakan di muka umum mengatakan bahwa terbuka kemungkinan ada maling di tubuh partainya. Saya yakin isu ini dihindari oleh politisi-politisi ulung.

Dan benar saja. Meme dan ejekan di dunia maya segera bertaburan menyambut pernyataan kontroversial tersebut.

Namun, saya memandang dari perspektif yang berbeda. Justru, ini menjadi nilai tambah bagi Prabowo (dan partai Gerindra). Partainya terbukti secara efektif menekan jumlah kader yang korup, yakni hanya 2 orang kader di seluruh Indonesia raya ini yang mendapat vonis pengadilan karena korupsi, dalam 8 tahun terakhir.

Dia tidak menjual prestasi itu di depatn TV. Sebaliknya, dia menilai harus mewaspadai adanya maling di kubunya. Dia mendobrak tabu politik, sebuah pilihan yang sejak rezim orde baru tidak banyak diambil politisi. Seingat saya, hanya Alm. Gus Dur yang mendobrak-dobrak tabu politik dengan berbagai pernyataan dan aksinya.

Ini tentu bukan pencitraan, yang umumnya di-setting untuk mendapat manfaat menguntungkan (misal: beli gorengan sembari membawa juru foto, masuk gorong-gorong sambil nunggu difoto, dll) karena dia rela menanggung efek buruk dari pernyataannya sendiri.

Bagi saya, tidak ada partai yang sempurna, selama anggotanya adalah manusia-manusia yang masih butuh makan, minum, dst. Manusia adalah tempatnya khilaf. Namun, yang menguji kemanusiaan dan membedakan kualitas mereka adalah bagaimana mereka menempatkan kesadarannya, ketika terbukti melakukan kesalahan.

Gerindra menunjukkan itu. Meski dia bukan yang terburuk (untuk urusan rapor korupsi), tapi dia terbuka mengakui bahwa ada peluang yang harus diwaspadai ke depan jika partainya (dan juga partai-partai lain) melakukan korupsi.

Dalam catatan saya, Gerindra juga menjadi satu-satunya partai di era reformasi yang secara terbuka menerima masukan mengenai kesalahan dalam perumusan manifesto. Mereka menghapus poin yang dinilai bermasalah dari manifesto. Padahal, 'manifesto partai' bagi parpol adalah sesuatu yang sakral.

Adakah parpol lain yang berani tak populer dengan merevisi kebijakannya yang dikritik publik? Tidak ada. Ketika PDI-P bersalah, tidak ada mekanisme kontrol. Ketika massa-nya merusak kantor TVOne, tak ada yang meminta maaf. Ketika mereka menjual Indosat dan gas Tangguh, tak ada yang meminta maaf.

Banyak suara bermunculan: Gerindra plin-plan, tak konsisten dst. Namun, bagi saya, justru beginilah partai yang ideal. Dia bisa menggembleng kader untuk tidak korupsi (di tengah akutnya problem korupsi di negeri ini), dan secara bersamaan membuka diri terhadap kritik, dan tak segan memperbaiki diri dan mengoreksi jika ada kesalahan dalam dirinya.

Gerindra juga berani tak populer dengan merangkul semua golongan, termasuk FPI. Orang mencibir, tapi mereka lupa bahwa Sukarno melakukan hal yang sama. Bahkan untuk kaum komunis yang sempat jadi momok sejak pemberontakan 1926 & 1948, dia menerimanya kembali dengan tangan terbuka.

Jadi, jika menurut anda langkah merangkul FPI ini langkah buruk, well I beg to differ. Bapak bangsa kita memberi contoh bagaimana merangkul semua golongan, merukunkan mereka, dan membinanya agar menaati hukum. Gerindra siap untuk tidak populer dengan mengajak serta kelompok islam ini--yang mungkin menjadi sasaran serangan pernyataan Franz Magnis.

Inilah fenomena baru partai politik (Gerindra) yang saya temui dalam pilpres. Politisi mereka melakukan hal-hal yang melawan tabu politik. Dan sekarang saya mengapresiasi itu, meski tidak pernah sekalipun mencoblos partai ini.

Namun di seberang dunia yang lain, akademisi justru melakukan hal-hal yang melawan tabu ilmiah (demi mengampanyekan capresnya).

Saya sering berdebat dengan berbagai kalangan mengenai berbagai topik, ketuhanan, agama, filsafat, hingga ekonomi. Kebanyakan dari lawan debat akan berusaha berkelit sebisa mungkin untuk menghindari kondisi di mana dia terbukti SALAH.

Ngeles, dengan berbagai trik falasi yang mudah ditebak. Dan model-model serupa saya temui selama musim pilpres ini, yang dengan gampang dan takabur menuduh pihak lain sebagai "akademisi nista" (untuk lebih singkatnya, mari kita sebut saja Anis) padahal dia sendiri yang ngaco. :)

Ada kawan di FB yang pasang status: "orang-orang pintar, terdidik blablabla menggadaikan keilmuan mereka demi membela penjahat HAM, blablaba"

Dan sekali waktu, kami bertemu dalam satu thread ketika dia bicara: "di amrika door to door itu biasa klo disini pelanggaran,klo di amrika pelanggar ham bisa ga masuk bursa capres klo di negri ini itu malah dianggap biasa dibela mati-matian malah sm kelas terdidiknya,"

Merasa ada yang keliru, saya pun kasih respon, yang intinya menunjukkan bahwa Human Rights Watch merilis laporan pelanggaran HAM di Gitmo pada Oktober 2004, ketika pilpres AS ramai pada November 2004. Faktanya, Bush Jr. terbukti kepilih lagi alias membantah KLAIM dia.

Artinya, jika mengikuti persepsi dia (bahwa TERDUGA HAM pasti pelanggar HAM), si Bush ini statusnya sudah penjahat HAM. Tapi fakta empiris itu mengatakan: dia terpilih jadi presiden dan runtuhlah KLAIM dia.

Apa respon dia? Mulailah berpetuah tak penting, tanpa mengakui kesalahan atau mengoreksi klaim dia. Ngeles. Saya berharap dia baca tulisan ini agar mengerti kenapa ada "orang terdidik" yang "menggadaikan ilmu" demi membela "penjahat HAM". Bahwa ada perbedaan persepsi (yang tak selayaknya berujung pada aksi penghakiman atas pihak lain).


Mengadili Anis

Jika kawan saya tersebut benar-benar tidak mabuk oleh bombardir propaganda media sosial, seharusnya dia juga melihat dan mengadili Anis di pihaknya sendiri. Kita tentu ingat ketika Anies Baswedan, tim sukses Jokowi yang dengan lantang berkata: "tidak sedikitpun punya beban moral untuk bilang: saya pilih Jokowi"

Pernyataan itu, menurut saya, mengkhianati logika sehat. Saya tidak menyangka seorang akademisi bisa berkata seperti itu. Bagaimana dia bisa mengatakan tidak ada beban moral ketika kita membantu seseorang untuk melanggar janjinya sendiri yang diungkapkan di depan publik?

Pembenaran yang muncul selalu saja: Jokowi tidak meninggalkan ibu kota, karena dia masih di sana jika jadi Presiden. Padahal, mereka tentu tahu bahwa ini bukan soal perpindahan geografis, melainkan perpindahan nomenklatur amanat. Dia dipilih menjadi Gubernur, baru 1 tahun, loncat mengejar jabatan Presiden.

Maaf, bagi saya, meng-endorse seseorang untuk LONCAT MENINGGALKAN JABATAN, sama artinya membangun stereotype secara nasional, bahwa peraih amanat konstituen boleh loncat meninggalkan jabatan dengan alasan: ada panggilan dari rakyat.

Kelak, bupati terpilih di manapun di Nusantara ini memiliki legitimasi serupa untuk loncat jadi gubernur dengan mengusung alasan yang sama. Ini tidak sehat untuk proses berbangsa dan tata pemerintahan. (Ini juga yang mendorong saya tak mau mendukung Jokowi. Saya tak ingin menjadi bagian dari pengrusakan sistem dan tata kepemerintahan secara massal.)

Bagi saya, it's morally problematic, lebih problematik dibanding mantan Jendral yang DIDUGA mendalangi penculikan 13 aktivis yang sampai sekarang hilang. Terduga belum tentu terbukti seperti yang kita tuduhkan, sementara Kutu Loncat membuktikan dirinya gampang meninggalkan amanat sejak dia mendaftarkan diri ke KPU.

Belum lagi soal doa iftitah, yang dikenal sebagai 'doa dalam sholat', dipelintir oleh Anies menjadi 'doa dalam pidato'. Padahal, pembukaan pidato (yang dimaksud Anies dalam klarifikasinya itu), dikenal sebagai mukadimah. BUKAN iftitah. Memang ada istilah 'pidato iftifah', tapi bukan untuk doa pembuka pidato, melainkan sebutan untuk pidato pembukaan (semacam keynote speech).

Melihat itu, kini saya menilai Anies tak lebih baik dari politisi lain macam Ical, Akbar Tanjung, dll. Bedanya, dia lebih artikulatif, jadi Dekan dari sebuah Universitas yang bekerja sama dengan Keluarga Panigoro (donatur PDI-P), dan belum berada di posisi yang secara politis problematik.

Ada lagi Anis lain, seorang narasumber saya yang kini menjadi Kepala Ekonom di sebuah bursa di Jakarta, yang memasang status: "Dunia militer dan pejabat publik itu berbeda. Tidak mungkin orang militer bisa menjadi pejabat publik."

Terhenyak, saya pun komentari: "John F. Kennedy (presiden di AS yang pertama menang melalui proses kampanye debat di TV) adalah mantan tentara. Dia menang dan bisa menjalankan tugas sebagai presiden, sebelum akhirnya ditembak."

Apa respon dia? Tidak ada komentar. :D Status tersebut langsung dihapus. Besoknya, dia bikin lagi serangan-serangan tak bermutu lainnya ke "capres lawannya." What the F? I mean.. is it how an academician behave?

Tapi sudahkah, dalam beberapa menit kita memasuki hari tenang. Negeri dan bangsa ini juga akan berusia 69 tahun dalam sebulan lagi. Saya yakin (dan semoga keyakinan ini benar) para pendukung kedua capres akan kembali manunggal dalam satu emosi kebangsaan, nanti pada 17 Agustus.

Siapapun presidennya, dia akan memimpin kita, membuat kita mendapatkan manfaat positif dari program yang mereka janjikan, eh.. jalankan. Dan, secara bersamaan dia akan membuka mata kita mengenai sisi negatinya.

Sisi negatif? Ya. Ingat, mereka tetaplah bukan malaikat, melainkan orang-orang yang bernafas, makan, dan perlu uang (yaaa,.. minimal untuk beli tas Channel untuk istri Jokowi, ataupun beli dedak untuk makanan kuda Prabowo).

Sebagai manusia biasa, mereka bisa khilaf, ingkar janji, dst. Dan jika itu terjadi, saya harap tak perlu ada yang patah hati. Jadikan pembelajaran, untuk mempercepat proses demokrasi kita. Publik harus bersatu untuk mengawal (jika mereka bekerja baik) dan menjegal mereka (jika mengkhianati amanat).

Kita boleh jadi telat beberapa abad menerapkan demokrasi, tapi kita berproses lebih cepat. Ingat, kita adalah negara demokrasi yang memiliki presiden wanita, ketika AS belum berani untuk itu. Kita adalah negara demokrasi pertama dunia yang menjadikan warga dengan disabilitas sebagai Bapak dan Ibu Negara (Alm. Gus Dur & Sinta Nuriyah).

Dan saya yakin, pembelajaran politik bangsa ini akan berjalan lebih cepat, jika semua pihak (TERUTAMA PARPOL) melawan tabu politik dengan belajar dari kesalahan dan ksatria mengakui serta mengoreksi kesalahannya itu.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)