Friday, July 04, 2014

Catatan Pemilu 4: Belajar (lagi) Berdemokrasi

"I'm tired of hearing it said that democracy doesn't work. Of course it doesn't work. We are supposed to work it."  (Alexander Woollcott)

Negeri ini telah berdiri selama 69 tahun.

Namun sejak Negara Kesaturan Republik Indonesia berdiri pada 1945, bangsa ini baru menikmati  demokrasi yang nyata (demokrasi yang demokratis) selama 30 tahun. Rinciannya, 14 tahun berdemokrasi sejak Indonesia merdeka hingga Sukarno mengeluarkan dekrit (1945-1959), dan 15 tahun sejak Suharto tumbang hingga sekarang ini (1999-2014).

Di antara dua jeda waktu itu, proses demokratisasi bangsa ini terputus. Selama 39 tahun, kita tak menjalankan proses demokrasi (yang benar-benar demokratis), yakni selama 7 tahun di era demokrasi terpimpin rezim Sukarno (1959-1965), dan 32 tahun selama rezim Suharto.

Karena itu, saya bisa memahami jika di sekitar saya sekarang ada banyak logika pemerintahan yang berkontradiksi dengan demokrasi mengemuka, dan dipakai untuk mendemonisasi (mensetankan) satu calon. Atau sebaliknya, dipakai untuk mengglorifikasi (mendewakan) calon lain.

Berikut ini beberapa logika kacau berdemokrasi yang banyak saya dengar atau temukan di media sosial, atau di keseharian. (Jika anda menemukan contoh lain, silahkan tambahkan dengan memasukkannya di kolom komentar blog ini.)

1. Jokowi itu gak punya beban masa lalu, dia bisa mengubah negeri ini tanpa harus takut tersandung apapun.
2. Tuh, belum apa-apa sudah bagi-bagi jabatan. Makanya, koalisi itu jangan gendut. Udah gendut, isinya penjahat semua. Kalau koalisi ramping kan ga ada bagi-bagi jabatan.
3. Kalau Prabowo naik jadi presiden, kita kembali ke masa orde baru. Media akan dibreidel. Lihat saja! Kalau kamu masih mendukung Prabowo, ya pantes! Belum pernah diculik sih!


Saya akan kritisi satu-per satu. Pertama, soal keyakinan bahwa 1 orang, 1 sosok, bernama Jokowi bisa mengubah negeri ini. Alasannya? Dia tak memiliki beban masa lalu (dalam hal pidana korupsi--dengan asumsi dia tak terlibat bus karatan Transjakarta--dan pelanggaran HAM). Karena itu, ada optimisme bahwa Jokowi bisa menyeret pelanggar HAM, bisa memerangi korupsi.

Well, sah-sah saja kita optimistis. Namun, tetap harus realistis dan mengacu realitas. Realitas yang ada saat ini: kita hidup di alam demokrasi modern, di mana 1 orang presiden tidak memegang kekuasaan sendirian. Ada lembaga legislatif yang mengawasi presiden, dan ada lembaga yudikatif yang mengawal pelaksanaan Undang-Undang.

Kita bukan negara kerajaan. Yang manakala memiliki raja bersih, berani, tegas, adil, amanah (ya.. anggap saja Jokowi sosok tersebut), maka semuanya akan bisa dijalankan sesuai dengan kebijaksanaan sang raja Jokowi tersebut.

Realitas yang ada, negara kita adalah negara demokrasi dengan sistem presidensial. Apa itu presidensial (in case ada yang belum tahu, seperti teman yang mengajukan argumen nomor 1)? Ia adalah sistem pemerintahan, di mana penguasa (eksekutif) dipilih lewat pemilu, dan ada lembaga legislatif yang mengimbangi kekuasaannya.

Hint: MENGIMBANGI KEKUASAAN. Jadi, maaf. Harapan bahwa 1 orang Jokowi bisa mengubah semuanya adalah ilusi. Apalagi jika melihat konstalasi politik sekarang, di mana PDI-P tak lagi dominan (tak seperti pada 2001 ketika Indosat lancar jaya dijual tatkala PDI-P mendominasi Senayan).

Jikapun ada perubahan, maka tak serta-merta perubahan itu bersifat menyeluruh. Misal, penegakan hukum. Jikapun ada pengadilan HAM, maka yang disasar Jokowi adalah kubu lawannya (Prabowo, Kivlan, dll).

Wiranto, Hendropriyono? Saya tidak yakin akan dihajar, apalagi JK. Kenapa? Mereka lah yang mengusung Jokowi, bergandengan mesra dengan Megawati. Siapa Mega? Itu tuhh.. sosok yang seneng melihat cucian kakinya diminum pendukungnya, patron Jokowi yang menegaskan bahwa Jokowi itu cuma 'petugas partai'.

Lalu, bagaimana dengan Prabowo? Bukankah kalau dia berkuasa, kemungkinan terjadinya perubahan juga kecil, bahkan lebih kecil dari Jokowi? Well.. Sama seperti Jokowi. Kalaupun ada perubahan dalam hal penegakan HAM dan hukum, kemungkinan juga parsial (tebang-pilih), tak menyeluruh.

Apakah pengadilan HAM akan dihapus, terutama karena dalam manifesto Partai Gerindra disebutkan bahwa pengadilan HAM adalah berlebihan (overbodig)? Belum tentu. Karena apa? Lagi-lagi kita harus kembali ke realitas politik. Dia bukan raja yang bisa mengubah hukum negara seenak udel.

Perlu proses politik panas di DPR untuk menghapus Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang pengadilan HAM. Tekanan internasional akan bertubi-tubi (dan di tengah kondisi negara yang sedang terpuruk seperti ini), saya yakin tak ada orang (termasuk Prabowo) yang mau berisiko menambah persoalan dan menambah musuh.

Kedua, soal bagi-bagi jabatan. Jika Prabowo berkuasa, menteri yang ditunjuk adalah menteri dari parpol pengusung. Sebaliknya, Jokowi berjanji tidak akan "berdagang sapi" melainkan menunjuk orang yang ahli di bidangnya untuk menjadi menteri.

Lagi-lagi, kita harus kembali pada realitas. Di negara demokrasi manapun, menteri adalah jabatan politik. Minister, is a politician. Mereka berasal dari partai, dan bekerja dengan dibantu sekelompok Deputi Bidang (yang memang jabatan teknis) dan memiliki expertise atau kepakaran di bidang masing-masing.

Tahukah anda bahwa setelah seabad lebih negeri ini cuma bisa "mengekspor tanah" ke luar negeri, baru tahun ini kita memiliki kebijakan hilirisasi mineral? Di masa kepemimpinan siapa? Oh, Jero Wacik, yang tak punya expertise sama sekali di bidang energi dan mineral (semula, doi adalah menteri pariwisata). Artinya, yang bekerja memang tim di dalam.

Meski terdengar aneh, tetapi 'praktik dagang sapi' itu adalah konsekuensi dari demokrasi. Menteri-menteri yang dikirim parpol itu "mengontrol" pemerintahan dari dalam. Jika koalisi Prabowo-Hatta menang dan membagi kursi menteri, maka parpol di dalam koalisi itu "menguasai" departemen-departemen yang bersangkutan.

Jika Prabowo hendak "bermain" dalam proyek kementerian, mengacak-acak, dst, maka dia tak bisa seenaknya. Justru, dia harus lewat palang pintu parpol mitranya, mitra yang membantu kemenangan dia. Ada utang budi politik yang membuat posisinya secara politis pun setara, atau minimal bikin dia tak bisa bertindak seenaknya.

Apa yang mereka sebut 'dagang sapi' tak lain adalah perimbangan kekuasaan eksekutif di antara berbagai kelompok politik (agamis, nasionalis, sekuler, dll). Kecuali, 'dagang sapi' yang kita maksud adalah lelang: siapa yang berani setor termahal untuk dapat kursi menteri. Ini keliru!

Menurut saya, koalisi pelangi justru lebih baik, daripada koalisi partai kecil yang didominasi satu partai. Jika Jokowi menang, maka PDI-P menjadi satelit kekuasaan eksekutif. Menteri bisa saja dari kalangan profesional. Tapi siapa yang mengangkat dia jadi menteri? Presiden, sesuai izin PDI-P. Mitra koalisi seuprit tak bisa ngapa-ngapain.

Nah, apakah setelah itu menteri profesional itu bisa mengambil kebijakan profesional nan idealis sehingga "mengubah keadaan"? Bisa. Tapi secara bersamaan, dia akan tunduk pada Jokowi, yang kita kenal tunduk pada kebijakan partai. Tak mungkin dia bisa menolak kepentingan politik PDI-P (yang kata Mega, sudah "berpuasa" dari kekuasaan selama 10 tahun--sehingga ingin lekas berbuka?).

Apalagi, sang menteri tak punya dukungan politik dari gerbong parpol. Sulit baginya untuk tidak menuruti kehendak partai patron sang presiden, dan kemungkinan besar menjadi kambing yang akan dihitamkan untuk menutup "permainan nakal" parpol satelit.

Anda tentu ingat kasus Bailout Bank Century bukan? Menkeu Sri Mulyani "kabur" ke Amerika akibat kasus ini. Karirnya habis. Jika dia politisi, dan memiliki dukungan parpol, maka tak akan semudah itu dia "dikorbankan" dalam kasus Century. Saya menduga, Sri Mulyani akhirnya mafhum dengan realitas ini, sehingga dia sempat membentuk Partai Sri.

Bagaimana dengan koalisi gendut berisi penjahat? Hmmm.. ini repot. Betul bahwa di kubu Prabowo banyak orang bermasalah. Tapi mohon jangan dilupakan, di kubu Jokowi juga banyak orang bermasalah. Apalagi, indeks korupsi dari PDI-P juga yang tertinggi di antara partai lain.

Lalu kenapa predikat "penjahat" ada di kubu Prabowo, tapi seolah tidak ada di kubu Jokowi? Saya menduga karena efektivitas penggunaan jargon "right side", plus tokoh 'petugas partai' yang pandai mengemas citra positif. Jadi, fakta-fakta demikian tersilap.

Dan, ya.. media. Jangan heran, PKS yang hanya memiliki 1 kader korup (dalam 8 tahun terakhir kiprahnya), langsung mendapat predikat partai 'mafia daging sapi.' Padahal, cuma 1 orang. Bukan 81 orang seperti di PDI-P. Jika jadi oposan (tak punya akses banyak ke pengambilan kebijakan di ranah eksekutif) saja sudah korup banget, bagaimana jika PDI-P sudah berkuasa?

Bukankah jumlah total tervonis koruptor di kubu Jokowi lebih kecil dari total di kubu Prabowo? Betul. Karena mereka berkumpul di kubu Prabowo, secara matematis demikian. Tapi jangan lupa, sebelum "para penjahat" itu berkumpul di Prabowo, Jokowi juga mendekat "penjahat" yang sama untuk membentuk koalisi. Misalnya, GolkarPPP.

Artinya, persoalan kasus korupsi kader parpol bukan pertimbangan penting dalam koalisi Jokowi. Namun, saya salut. PDI-P (secara cerdas) men-screening koalisinya agar ramping sehingga less-evil (Repot kalau menampung gerombolan politisi yang citranya sudah terpuruk itu, sementara dia sendiri sudah buncit dengan kader koruptor).

Jujur aja, kalau bicara soal HOPE dalam pemberantasan korupsi, saya lebih melihat di Gerindra ketimbang PDI-P. Tapi kalau bicara koalisi, saya melihat kedua kubu sama saja. (CATAT: ini spekulatif. Namun, saya akan membuat artikel, untuk memantik diskusi, dalam tulisan selanjutnya. Ada tradisi politik di negeri ini yang tak jua berubah, termasuk di PDI-P. Dan perubahan, saya lihat justru ada di partai Gerindra--yang justru tak pernah saya coblos)


Terakhir, soal kekhawatiran bahwa Prabowo akan main bredel media dan kembali ke orde baru jika dia berkuasa. Jujur saja, saya kok tidak yakin dia akan berbuat seperti itu. Kenapa? Silahkan baca argumen di atas soal: demokrasi itu bukan kerajaan.

Selain itu, saya yakin yang berpendapat Prabowo akan main breidel itu bukan orang yang terdidik. Jika yang meyakini itu adalah jurnalis, maka dia pasti belum pernah baca UU Pers. Dalam UU Pers, tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak azasi warga negara (pasal 4) dan terhadap pers nasioal tidak lagi diadakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). 

Jadi, jika Prabowo mau bredel media, dia harus revisi itu undang-undang pers No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan juga UU No. 40 tahun 2000 tentang Pers. Ini tak gampang. Dia harus berhadapan dengan kekuatan parpol lain di DPR, dan juga kekuatan massa, besar, kecil, tua, muda, ganteng, jelek (termasuk saya, yang kebetulan masuk di kategori jurnalis ganteng *fitnah.com :D).

Jadi, kalau anda lihat meme 'baru nyesel' bergambar Wanda Hamidah dengan narasi: "nanti punya media dibreidel, baru nyesel,.. nanti engga bisa baca buku, baru nyesel.. dst, maka jawab saja: "Justru saya nyesel Mbak Wanda cakep-cakep kok gak bisa baca,  terutama baca UU Pers. " :)

Demikian juga dengan paranoia bahwa Prabowo akan kembali ke rezim orde baru. Duh. Apa dipikir gampang ya, menerapkan kembali dwi fungsi ABRI? Jelas tidak. Zaman sudah berubah, DPR sekarang lebih galak dan lebih berkuasa ketimbang TNI.

Belum lagi perlawanan massa, seperti yang terjadi di Mesir (untuk kasus ketika pemberlaku syariat Islam berkuasa dan ingin semena-mena)? Ingat, ada kelompok liberal di Indonesia yang bisa mengundang dukungan internasional untuk mencegah aksi tersebut (sama seperti di Mesir dan Turki).

Saya pikir, simplifikasi-simplifikasi seperti itu tak bisa dianggap sebagai kebenaran mutlak. Kita ini hidup di alam dan realitas demokrasi modern. Jangan pakai logika ala kerajaan: penguasa sentral dan harapan tersimpan pada 1 orang, menteri cuma abdi raja, dan 1 penguasa bisa seenaknya.

Masa Belajar singkat
Lalu, kenapa logika feodal ini bisa terbawa oleh kita yang hidup di era demokrasi modern seperti ini? Jawabannya, menurut saya, bermuara pada satu persoalan: singkatnya pembelajaran 'demokrasi yang nyata'.

Mayoritas penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih dan paling aktif berbicara soal politik di media sosial saat ini adalah generasi echo baby boomer (generasi yang lahir di era 1980-an hingga awal milenium baru tahun 2000).

Mereka yang paling senior dari generasi ini (lahir 1980), sekarang berusia 30-an tahun ke bawah, lagi galak-galaknya bicara politik dan perubahan. Sementara generasi paling yunior yang punya hak pilih (lahir 1997) saat ini berusia 17-an tahun. Mereka juga lagi giat-giatnya di dunia maya (entah untuk pamer selfi, cari pacar, informasi budaya pop, dan--kemungkinan kecil--juga bicara politik).

Di luar generasi echo baby boomer ini, ada Generasi X (yang lahir antara 1960 hingga 1980). Mereka, yang berusia 30 tahun ke atas hingga 50-an tahun, sekarang lagi duduk di mesin-mesin politik negeri ini, misalnya nyapres (seperti Jokowi yang kini berusia 52 tahun).

Mereka ini, dengan mesin partai dan organisasi massa, juga lagi giat-giatnya memenangkan capres (baik yang di kubu Jokowi maupun Prabowo). Secara umum, mereka (menurut pengamatan saya di media sosial) aktif juga di dunia maya, dengan intensitas dan partisipasi yang kurang-lebih sama seperti generasi echo baby boomer.

Dari peta demografi tersebut, sekarang mari kita lihat generasi mana yang mengalami dan merasakan (tak cuma mendapat pendidikan formal soal) demokrasi yang benar-benar demokratis (era reformasi sampai sekarang).

Berdasarkan data Sensus Penduduk Nasional BPS termutakhir (pada 2010, alias 4 tahun lalu), masyarakat yang berusia 15-70 tahun mencapai 161 juta jiwa. Pada 2014, mereka semua memiliki hak pilih karena yang berusia 15 tahun kini sudah berusia 19-an tahun).

Dari data BPS itu, generasi echo baby boomer (yang kini meramaikan media sosial) mencapai 82 juta-an orang, atau separuh lebih dari pemilih.  Mereka mengalami sendiri proses demokrasi nan demokratis pada era reformasi sampai sekarang. Berapa lama pendidikan politik itu mereka rasakan? Jika menghitung era reformasi sampai sekarang, maka jawabannya: 15 tahun.

Ya, hanya 15 tahun. Untuk sebuah proses democracy building, ini waktu yang sangat singkat, masih hijau. Bandingkan dengan negara "eksportir demokrasi" Amerika Serikat yang telah berusia 200 tahun lebih, atau 2 abad. Atau "mbahnya demokrasi" Inggris yang telah berusia 300 tahun lebih, atau 3 abad.

Saya termasuk bagian dari 80 juta generasi echo baby boom itu, yang BARU mendapat pembelajaran aplikatif 'demokrasi yang nyata' selama 15 tahun terakhir.  Karena itu, saya menangkap betul sindiran Alexander Woollcott, Jurnalis majalah The New Yorker AS. Saya, Anda, kitalah yang seharusnya membuat demokrasi ini berjalan. DEMOKRASI. Bukan kerajaan. Jadi, mari tinggalkan logika kerajaan dalam berdemokrasi, mulai detik ini juga.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)