Tuesday, July 01, 2014

Catatan Pemilu 1: Klaim Kebenaran di Alam Demokrasi

“Everything is relative in this world, where change alone endures.” (Leon Trotsky)

Seorang kawan, secara simpatik, mengajak saya mendukung Jokowi-JK dengan penjelasan yang secara umum menunjukkan keburukan Prabowo. Saya tersenyum menghargai pilihan dia, dan memberi penjelasan seadanya, terutama soal: belum tentu mencoblos karena tidak sempat mengurus form.

Jikapun bisa mencoblos, saya saat ini berpikir mendukung nomor 1 (dan ini tentu saja bisa berubah dalam 8 hari ke depan).

Satu hal yang pasti, saya tak ingin hak politik saya hilang (meski saya mungkin tak akan bisa atau sempat untuk mencoblos, karena hari itu harus masuk kerja full shift). Setidaknya, saya bisa berbicara demi melihat argumen tak sehat berseliweran di sosial media, logika jernih hilang, data parsial dijadikan landasan mutlak menilai (baca: menghakimi) pilihan pihak lain, dst.

Karena itu, saya memutuskan untuk membuat tulisan mengenai pemikiran saya. Belum tentu benar, tentu saja. Tetapi setidaknya bisa menjadi landasan untuk berdialektika, jika memang tak cukup meyakinkan guna mengajak teman-teman menghargai orang lain yang tidak berada di "pihak yang benar" (on the right side).

Ya, on the right side. Istilah ini ramai dan sempat diperbincangkan di blog tentang makna konotatifnya yang bisa dianggap: "saya memilih fasis". Di bahasa Inggris, term ini memang biasa dipakai untuk mengidentifikasi kaum ultra kanan atau nasionalis fasis.

Namun, saya yakin tim Jokowi tak akan sebodoh itu mengirimkan pesan bahwa mereka adalah fasis, apalagi jika mereka getol memakai isu ini untuk menjatuhkan Prabowo dan kubunya. Saya cenderung menduga bahwa mereka memakainya karena maknanya yang ganda: memilih di sebelah kanan (kartu suara) yakni Jokowi-JK, atau.. berada di pihak dan pilihan yang benar. Dua-duanya pas dengan anggapan dan pesan yang ingin mereka cetak ke publik.

Dalam realita, saya menangkap bahwa simpatisan Jokowi-JK mengejawantahkan jargon ini dengan memakai makna kedua, yakni: berada di pihak atau pilihan yang benar. Jokowi tak salah, karena dia itu orang baik, ramah, murah senyum, sederhana, tidak "segila" dan (masa lalunya) tak seproblematik Prabowo.

Kalau ada yang salah, maka akan dicari pembenaran. Misal: "tuh kubu sebelah juga sama!" atau.. "Alah cuman gitu aja dipersoalin. Persoalin tuh yang bunuh-bunuh orang." Lalu, dengan tanpa ragu akan teriak: "Gila, menghalalkan segala cara demi menang!" ketika melihat simpatisan Prabowo (individu maupun institusi media) blunder, seolah-olah kubu Jokowi selalu benar, tak pernah blunder.

Dan itulah pilihan yang benar, menurut mereka. Dengan spirit itu, saya pun tidak heran jika ada sebagian dari mereka yang menganggap kubu Jokowi adalah Pandawa, sedangkan kubu Prabowo adalah Kurawa. Good versus Evil. Kebenaran melawan kejahatan.

Maka terciptalah meme itu, dua versi. Pertama, versi yang menjadikan Wiranto sebagai Bima, dan kedua yang menjadikan Abraham Samad sebagai Bima (mengganti Wiranto yang--mungkin baru mereka ketahui--kena perintah penangkapan atau arrest warrant dari PBB terkait Timtim).

Mungkin ini menjelaskan mengapa dalam pilpres kali ini saya jarang sekali menemukan teman-teman di sosmed yang menggunakan pendekatan konstruktif dalam memandang kedua capres. Misal: "Oh, Prabowo unggul di A, tapi Jokowi juga kuat di B." Atau, pendekatan skeptis untuk keduanya: "Oh, program keduanya sama-sama ada flaw, tapi saya tetap milih X."

Yang saya temukan adalah parade konfrontasi verbal dan saling menembakkan misil argumen ke pihak lawan. Tak peduli misil itu adalah misil curian, misil yang dibuat melanggar "konvensi Jenewa" soal alur logika, atau sebaliknya misil WMD yang asal mleduk. Yang terpenting adalah menghajar pihak lain (entah itu dari berita fiktif, meme penuh kebohongan, gambar bernarasi yang terdengar benar meski mengaburkan fakta, dst).

Praktis tak ada upaya untuk berkomunikasi, atau mendengar argumen pihak lain. I, and my group, are right. You, and your wolfpack are wrong, and go to hell! Sesederhana itu.

Seumur-umur, baru kali ini saya menemukan jargon serendah ini (saya bisa saja salah, dan mohon bantu tunjukkan fakta bahwa jargon serupa yakni 'benar-salah' dipakai untuk mendemonisasi kelompok pesaing di alam demokrasi negara lain). Jargon yang agak mirip dipakai kaum ultrakanan, yang memaknai "right or wrong, my country" secara ekstrim.

Dan ini, seharusnya dipakai kubu Prabowo jika mereka memang fasis (sejak dalam pikiran)seperti yang banyak dituduhkan kubu Jokowi. Sayangnya, tidak. Justru grup Jokowi yang secara bawah sadar "merevolusi mentalitas masyarakat" untuk memandang kelompok politik lain di alam demokrasi nan damai ini sebagai the other yang buruk, antitesis dari kebenaran kelompoknya.

Ketika mereka (sebagai kaum yang benar) memandang 'Prabowo & simpatisannya', mereka memandang liyan yang bukan semata 'berbeda pilihan politik dengan saya', tapi liyan yang 'melawan saya dan kebenaran kelompok saya'. Enemy, bukan competitor. Annoying pest, bukan sparing partner. 

Jika mental seperti ini menyebar akut ke akar rumput, dan salah satu pihak kalah, amok akan sulit dihindarkan. Ini yang menjadi kekhawatiran saya.

Lalu apakah distingsi biner benar-salah itu inti dari demokrasi? Bahwa saya yang benar, melawan mereka yang salah? With all my respect.. saya pikir: TIDAK. Demokrasi berangkat dari filosofi kerendahan hati, bahwa semua manusia tidak sempurna sehingga perlu mekanisme kontrol yang dilakukan oleh manusia lain.

Demokrasi bisa berjalan melalu komunikasi dan dialog, bukan saling "lempar bom" demi melukai pihak lain atas pilihan politiknya. Dan, komunikasi politik yang efektif hanya bisa dicapai jika kita sejak awal memposisikan diri sebagai pihak yang "bisa jadi keliru", sehingga perlu mendengarkan pendapat pihak lain dan pilihan mereka yang "bisa jadi benar".

Bahwa jika pada akhirnya tidak tercapai kata mufakat, maka biarlah voting 9 Juli yang menentukan. Sebelum itu terjadi, siapapun tidak selayaknya mengklaim berada di posisi yang benar dan pihak lain salah. Jika spirit yang kita bawa adalah spirit binner seperti itu, kita mengupas satu batas pemisah penting antara 'inklusivitas demokrasi' dengan 'ekstrimisme'.

Dan di beberapa kasus, saya melihat gejala ekstrim yang dialasdasari pola pikir "kami benar dan kamu salah" ini mengemuka. Misalnya, pernyataan beberapa orang di sosial media soal: "kalo Prabowo menang, pasti ada kecurangan" yang segendang sepenarian dengan pernyataan Anies Baswedan, "Kalau  Prabowo unggul di survei, itu berkat kampanye hitam atas Jokowi yang 9 kali lipat lebih besar."

Artinya, mereka sedang bicara "kemenangan pihak lain dicapai karena kami dijahati. Kemenangan mereka adalah kemenangan evil, yang salah, curang terhadap kami, dan bukan karena mereka memiliki keunggulan kompetitif dibanding kelompok kami."

Anies seolah lupa bahwa black campaign juga menerpa Prabowo, mulai dari fasisme, antek amerika, plin-plan, pembunuh, penculik, dll. Dalam mentalitas 'pengangkang kebenaran' semua itu dinihilkan. tidak ada istilah "dizalimi" untuk "orang jahat". That's what they are, bad people deserve it

Mereka, termasuk Anies, alpa bahwa dalam perspektif demokrasi modern, baik Prabowo maupun Jokowi adalah dua sisi dari mata logam yang sama. Mereka anak panah dari busur partai (yang tak sepenuhnya putih seperti malaikat). Mereka sama-sama meradang ketika melihat tanah negeri ini dirampas negara lain, sama-sama berkomitmen membangun negara ini, sama-sama nasionalis, sama-sama memiliki program positif.

Lalu apa perbedaan mereka? Menurut saya, hanya soal pendekatan, prioritas program dan visi yang berbeda. Di tataran praktis, mereka berbeda dari sisi kemampuan persona ketika tampil di depan publik (pidato, debat, kemampuan penguasaan materi persoalan, dll). Untuk yang ini, kita boleh mengritik, karena di sinilah demokrasi berjalan: saling mengritik ketika ada flaw.

(Di titik ini, Anda pasti usul satu hal: rekam jejak. Pembunuh dan penculik untuk Prabowo, dan orang sederhana & merakyat untuk Jokowi. Untuk topik ini, insya Allah saya akan menulis di seri kedua yang jadi semacam 'pledoi' atas preferensi saya ke Prabowo, saat ini).


Sebagai penutup kali ini saya ingin mengingatkan bahwa salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita. Kita akan ikut menikmati buah dari program dan kerja sang pemenang (meski kita tak memilihnya), dan tetap memiliki kuasa penuh mengevaluasi mandat yang telah mereka terima (ketika mereka ingkar pada amanat yang diembannya).

Demokrasi itu tidak sempurna, tapi kita kian membuatnya bopeng ketika menganggap kita sendiri yang benar di kubu malaikat, sementara pihak lain di kubu setan yang tak layak ikut memegang kemudi negara ini. ***

Subscribe to: Post Comments (Atom)