Wednesday, June 01, 2011

Mengejar bola liar Mega-Elnusa

Kalau ada birokrat pasar modal yang bersemangat mengkarifikasi ketiadaan aliran dana PT Elnusa Tbk ke reksa dana Harvestindo Istimewa, dialah Djoko Hendratto, Kabiro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Setelah sebelumnya cenderung menolak berkomentar mengenai dugaan aliran dana haram Elnusa ke PT Harvestindo Asset Management, Djoko mengundang wartawan ke kantornya, untuk mengumumkan hasil temuannya, empat hari setelah kasus tersebut meledak ke publik.

Dua hari sebelum itu, lembaga yang bertindak sebagai wasit pasar modal ini memang telah memberikan pernyataan resmi mengenai kronologi aksi Bapepam-LK, yakni meminta penjelasan manajemen Elnusa dan PT Bank Mega Tbk seputar kisruh depositonya.

Namun, penjelasan di atas kertas HVS dua lembar itu tidak cukup menjawab pertanyaan publik seputar peran Bapepam-LK mengawasi, mencegah, dan—kalau perlu—menangkal penyelewengan (fraud) dua perusahaan berstatus emiten tersebut.

Selepas itu, Djoko bertindak. Di ruangan kantornya, dia menyodorkan dua argumen jitu untuk menjelaskan absennya aliran dana itu. Pertama, tidak ada kenaikan nilai aktiva bersih (NAB) Harvestindo Istimewa, reksa dana yang dicurigai menjadi tempat mengendapnya sebagian dana deposito Elnusa.

Kedua, sejalan dengan absennnya kenaikan aktiva bersih tersebut, modal kerja milik PT Harvestindo Asset Management, penerbit reksa dana Harvestindo Istimewa, juga tidak mengalami kenaikan berarti alias masih di bawah Rp25 miliar pada periode tersebut.

Tentu tidak ada yang salah dari argumentasi Djoko. Namun penjelasan itu belum cukup menangkis dugaan aliran dana ke Harvestindo, yang berdasarkan keterangan Kepolisian, mengalir dari rekening giro Discovery ke Harvestindo pada 7 September dan 29 September 2009 senilai Rp70 miliar.

Apalagi, kasus besar pasar modal tidak pernah terdeteksi dari “data resmi” perseroan. Skandal PT Sarijaya Permana Sekuritas, misalnya. Tidak ada yang mengira perusahaan efek ini digerogoti kanker penggelapan dana, karena data laporan transaksi efek berjalan normal, meski di balik itu dana berputar silang-sengkarut tidak sejalan dengan transaksi yang dilaporkan.

Demikian juga dengan skandal PT Optima Securities. Piutang macet nasabah PT Optima Kharya Capital Management dengan mudahnya ditambal dengan dana nasabah PT Optima Securities hingga berujung pada kerugian total Rp700 miliar. Ini, tentu tidak terdeteksi jika hanya bermodal data di atas kertas.

Logika paling sederhana dan akal sehat niscaya akan mengatakan mudah bagi Ivan Ch Lita, pemilik Harvestindo Asset Management untuk memindah dana yang dikendalikannya dari satu keranjang ke keranjang lain yang sama-sama dikendalikannya. Maklum, uang tak ber-KTP.

Apalagi NAB produk reksa dana Harvestindo, yakni Harvestindo Maxima, sekonyong-konyong membubung menjadi Rp25,01 miliar dari posisi sebelumnya sebesar Rp0. Ini mengejutkan, karena perusahaan ini memiliki rekam jejak gagal bayar di produk Harvestindo Istimewa yang seharusnya memberi cukup alasan bagi investor menghindari produk MI tersebut.

Namun, lagi-lagi, dugaan itu tidak berujung menjadi kebenaran positif. Djoko hanya membenarkan ada dana yang masuk ke reksa dana Harvestindo Maxima. Hanya saja, dana itu berasal dari investor lain, bukan dari PT Discovery Indonesia. Lantas, dari mana datangnya uang Rp25 miliar itu? Apa keluar dari kantong Ivan lewat tangan pihak ketiga?

“Saya akan sebutkan, tapi kamu harus siap dipenjara, karena ini adalah kerahasiaan investor yang dijamin di Undang-undang Pasar Modal. Namun, kepolisian bisa menyidik dan cek silang pemilik dana tersebut dengan catatan di bank kustodian,” kata Djoko.

Dalam pengakuan terbarunya, Ivan bahkan tidak menyinggung Harvestindo. Dia mengaku menempatkan dana haramnya ke lima perusahaan berjangka. Pengakuan ini, membuat “bola” Mega-Elnusa menyasar gawang Departemen Perdagangan yang dijaga Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti).

Sampai hari ini, penyelidikan kepolisian masih berlangsung. Begitu pula pemeriksaan yang dilakukan Bapepam-LK terhadap Harvestindo Asset Management, perusahaan manajemen investasi yang diduga menampung sebagian dana Elnusa.

Saling hindar
Dalam perjalanannya, perkembangan bole Mega-Elnusa ini berujung pada aksi pagar-memagari wilayah kerja antara Bapepam-LK dan BI. Sebagai catatan, skandal investasi ini merupakan yang pertama pecah sejak Bank Indonesia (BI) dan Bapepam-LK gagal membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Adalah Ketua Bapepam-LK Nurhaida yang menangkis ‘bola’ ini pada 3 Mei, dengan mengatakan fraud itu terjadi di perbankan. Kebetulan, wilayah tersebut sedang disorot karena melayani produk investasi yang ditanam ke pasar modal dan produk keuangan nonbank, berlabel private banking.

“Elnusa menganggap itu deposito berjangka, sedangkan Bank Mega meyakini itu deposit on call. Perlu penelaahan untuk tahu mana yang benar, dan itu bukan kewenangan otoritas pasar modal,” katanya.

Bapepam-LK, lanjutnya, hanya bisa menjalankan fungsi sesuai koridor yakni memastikan kewajiban keterbukaan informasi kedua emiten disampaikan. Pada hari pertama skandal tersebut muncul, Bapepam-LK segera meminta keterbukaan informasi kedua belah pihak.

Karena itu, dia menampik anggapan bahwa wasit pasar modal tersebut tidak cukup responsif menanggapi isu tersebut, terlebih karena mereka juga ikut menelusuri dugaan adanya aliran dana ke Harvestindo dan berujung pada kesimpulan lembaga tersebut bahwa tidak ada duit ber‘KTP’ Elnusa di sana.

Menanggapi itu, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menyambut “bola” dengan tendangan balik. Menurut dia, hasil investigasi bank sentral menyebutkan bahwa skandal Mega-Elnusa bermula dari pasar modal, wilayah yang tidak mungkin diawasi BI.

“Kami tidak bisa masuk ke pasar modal walau diduga pada beberapa kasus perbankan terkait dengan fraud berasal di pasar modal," ujarnya (Bisnis, 4 Mei).

Bahkan, ungkapnya, penarikan dana itu mendapat legalitas antara oknum pemilik dana (Elnusa) dan perusahaan investasi terkait yakni Harvestindo. Namun, dia tak mengelak jika melibatkan oknum kepala cabang Bank Mega Jababeka

Melempar kesalahan pada salah satu regulator jelas tidak bijak, karena produknya beroperasi di perbankan meski keduanya berstatus emiten, sama seperti ketika pecah skandal PT Antaboga Delta Sekuritas dan PT Bank Century Tbk pada 2008.

Menaruh harapan bahwa Bapepam-LK mampu mencegah fraud di tubuh 400 perusahaan terbuka tentu saja lebay, sama seperti berharap BI mampu memitigasi bankir nakal macam Inong Melinda di Citibank.

Skandal investasi yang melibatkan pelaku perbankan dan pasar modal, dan beroperasi di lintas wilayah ini membangkitkan harapan publik akan adanya OJK. Namun, demi melihat sikap saling-hindar ini, ekspektasi kedua otoritas tersebut akan bersatu menjadi OJK pun kian jauh panggang dari api.

Mungkin perlu skandal Mega-Elnusa kedua dan ketiga untuk meruntuhkan ego sentrisme kedua lembaga tersebut. Dan jika benar adanya, tentu sangat memprihatinkan.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)