Thursday, November 19, 2009

menyambut tahun ‘fundamentalis’ bursa

Sejak akhir tahun lalu, periode 2010 disebut-sebut sebagai awal pulihnya ekonomi global dari resesi akibat kebusukan kredit properti Amerika Serikat (AS). Betulkah ekspektasi itu telah terserap sepenuhnya dalam kenaikan indeks selama 2009?

Hingga 16 Desember 2009, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah menguat 85,44%, atau tertinggi di antara bursa se-Asia Tenggara. Dari sisi keuntungan dolar AS, bursa nasional juga mencatat posisi tertinggi ketiga dunia setelah Brazil, sebesar 122%.

Apa saja ‘mesin’ penggeraknya? Dalam laporan akhir tahun, Kepala Riset PT Indopremiere Securities Lily Sentosa mencatat saham pelibas krisis tahun ini tak lain adalah saham komoditas dan penunjangnya, alias saham-saham berfundamental kuat.

Laba per saham (earning per share/ EPS) emiten minyak sawit mentah (CPO) tercatat naik 78% dari estimasi, alat berat (74%), farmasi (74%), energi (58%), semen (39%), batu bara (32%), dan transportasi laut (11%). Total, laba per saham (EPS) bursa nasional untuk 2009 tercatat 7% lebih tinggi dari estimasi Indopremiere pada awal 2009.

“Membaiknya EPS tidak terlepas dari pergerakan harga komoditas yang bersangkutan. Harga CPO telah pulih 70% dari harga pada awal 2008. Kinerja EPS terburuk dicatat sektor tambang nikel dan timah masing-masing lebih rendah 38% dan 64% dari estimasi awal kami,” paparnya dalam riset per 14 Desember.

Kondisi itu terbilang fantastis karena berlangsung di tengah kepungan berbagai sentimen negatif berupa resesi ekonomi dunia, gejolak Cicak-Buaya, gagal bayar Dubai World, hingga ketegangan Menteri Keuangan versus Panitia Khusus (Pansus) Bank Century.

Kekuatan pondasi ekonomi nasional membuat pemodal bertahan memutar dananya di pasar modal, yang berujung pada kinerja fantastis IHSG hingga akhir tahun. Di tengah resesi dunia sebesar -1,1%, laju produk domestik bruto (PDB) Indonesia tercatat 4,2% pada triwulan III, dan BI Rate sebesar 6,5% yang membagi rentang bunga 6% dari suku bunga AS.

Kini, logika membawa kita pada pertanyaan; akankah situasi itu terjaga tahun depan, mengingat sifat alami pasar bergerak dengan dorongan ekspektasi dan cenderung turun ketika ekspektasi terealisasi? Lugasnya, apakah 2010 menjadi tahun koreksi di tengah tingginya PER setelah naik pada 2009?

Analis PT Mega Capital Indonesia Ratna Lim menilai pertanyaan demikian cenderung menafikan perubahan fundamental yang mengikuti pemulihan ekonomi tahun depan, meski hal itu telah diekspektasikan pada 2009.

“Ketika ekonomi dunia pulih pada 2010, sektor komoditas justru berpotensi lebih cerah lagi karena tidak hanya didukung faktor kenaikan harga yang sifatnya spekulatif, namun juga faktor fundamental berupa kenaikan permintaan dunia,” tuturnya.

Naiknya kinerja sektor komoditas, dan sektor lain ketika ekonomi dunia pulih, otomatis mendongkrak laba (earning) emiten dan mengimbangi kenaikan harga saham di pasar yang telah terbangun sejak 2009.

Pada ujungnya, rasio harga saham terhadap laba per saham (PER) bursa nasional pun kembali murah, dan mengundang aksi pembelian investor asing di tengah positifnya ekonomi dunia.

Target IHSG
Dengan optimisme yang sama, Senior Country Officer PT JP Morgan Securities Indonesia Rizal B Prasetijo menilai IHSG berpotensi sangat kuat melampaui level psikologis 3.000. Target itu dipatok dengan asumsi tidak ada sentimen negatif kejutan pada tahun depan.

Berdasarkan asumsi rasio harga terhadap laba per saham (price to earning ratio/ PER) tahun depan berkisar antara 14 kali-15 kali, konsensus pasar global menetapkan laba per saham (earning per share/ EPS) bursa nasional naik 14% tahun depan.

“Namun, menurut saya itu terlalu konservatif. Jika tidak ada kejutan tambahan yang menekan pasar, EPS bursa kita bisa naik 25%, sehingga indeks bisa melewati level psikologis 3.000 pada tahun depan,” tuturnya di sela Temu Investor baru-baru ini.

Dia mengaku jumlah investor institusi asing yang berupaya masuk bursa nasional 6 bulan terakhir melalui JP Morgan terus meningkat. Mereka mengekspektasikan peringkat utang jangka panjang Standard & Poor's untuk Indonesia bisa naik menjadi BBB- (investment grade) dari posisi sekarang BB-.

CIMB Securities Regional Equity Strategist Chang Chiou Yi mencatat dana global mulai menyerbu negara-negara berkembang (emerging market) sejak Mei, dengan nilai US$13,7 miliar. China, Indonesia, dan India merupakan tiga anggota negara emerging market di Asia yang masih membukukan pertumbuhan ekonomi.

“Sejalan dengan kondisi ekonomi makro dan menurunnya kekhawatiran risiko, dana mengalir menuju emerging market Asia mengikuti pemulihan ekonomi sejak Maret 2009, dan mulai melemah pada Agustus,” tuturnya di hadapan 800 investor global, baru-baru ini.

Rezim suku bunga rendah di mayoritas negara dunia diperkirakan masih berlangsung hingga tahun depan, sehingga memicu berlimpahnya dana murah bersamaan dengan suku bunga LIBOR (London interbank offered rate).

Risiko pasar modal diperkirakan baru meningkat pada semester kedua 2010, ketika tekanan inflasi meningkat. Di semester kedua itulah, aspek fundamental akan menjadi ‘bumerang’ bagi emiten berupa kenaikan bunga investasi dan tertekannya daya beli masyarakat.

perikecil said...
oo..ini ya artikel yg menang lomba? hehe
turabul-aqdam said...
bukan yang ini, sayang.. satunya lagi, yang soal monkey business.
Subscribe to: Post Comments (Atom)