‘Indonesia butuh bursa matang’
Sejak krisis finansial meledak dua tahun silam dan menghajar ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, perhatian investor global beralih ke Asia Pasifik. Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan ekonomi kawasan tersebut tumbuh 4,5% pada 2009, sehingga mengundang selera investasi pemodal dunia.
Namun Indonesia berpotensi gagal memanfaatkan momentum itu dibandingkan dengan negara Asia lain karena isu tata kelola perusahaan (good corporate governance/ GCG). Persepsi rendahnya kultur GCG dan transparansi bisa memicu masuknya dana spekulan ke bursa nasional, dan bukannya investasi jangka panjang
Untuk mengupas keterkaitan GCG dengan bursa, Bisnis mewawancarai Kenneth Morrison, Managing Director Mazars Hongkong. Kenneth diundang Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) untuk rapat dengar pendapat seputar isu GCG dan pasar modal.
Pasar modal Indonesia tahun lalu masih melejit 82% terbaik ketiga dunia, meski isu GCG sempat mengemuka dengan munculnya beberapa kasus pasar modal. Bagaimana menganalisa fenomena ini?
Di pasar yang tingkat GCG emitennya rendah, investor menilai ada risiko lebih tinggi, sehingga mereka meminta pengembalian investasi lebih besar. Ini membuat pasar saham mudah berfluktuasi sangat besar. Indonesia saat ini membutuhkan bursa yang lebih matang. Ketika cakupan investasi makin luas di sebuah bursa, publik otomatis membutuhkan akuntabilitas lebih besar. Namun berdasarkan pengalaman di Hongkong, menciptakan kultur GCG [di pasar modal] memang membutuhkan waktu dan berjalan gradual. Anda membutuhkan pendidikan, belajar dari pengalaman di tempat lain. dan memperhatikan praktik internasional terbaik.
Artinya, GCG memiliki dampak langsung terhadap rasio PE bursa?
Di bursa China, rasio PE lebih tinggi dari bursa Hong Kong, karena pasar China dinilai lebih berisiko. Jika ada orang mau investasi, mereka akan memilih berspekulasi di China, tapi berinvestasi di Hong Kong. Di bursa China, saya tidak yakin investor tahu fundamental emiten. Mereka tidak berinvestasi secara matang.Iklim GCG yang tidak bagus membuat pasar investasi lebih riskan karena investor tidak tahu apa yang terjadi. Penerapan GCG dan transparansi akan membuat pasar investasi lebih matang karena orang bisa mengontrol risiko. Ini sangat penting bagi Asia Pasifik mengingat abad ini adalah eranya Asia, bukan AS atau eropa. Jika Indonesia bisa memenuhi persyaratan penerapan GCG dan kewirausahaan kompetitif, maka akan lebih banyak dana asing yang masuk.
Di bursa Indonesia saham grup tertentu mendominasi transaksi. Apakah ini juga mengindikasikan bursa kami belum matang?
Anda tentu sudah tahu jawabannya. Banyak investor paham prinsip laporan keuangan, namun hanya mengikuti selera dan nama besar perusahaan dalam berinvestasi. Mengubah ini dan menciptakan kedewasaan di bursa memang butuh waktu.
Apa yang akan luput jika Indonesia tak segera mengubah kondisi sekarang?
Ada potensi besar dana asing di luar, di tengah prospek ekonomi Asia. Pemilik dana tidak akan mengambil risiko menanamkan dana di Indonesia jika tidak ada transparansi. Jika kerangka kerja [pasar modal] bagus, mereka akan berinvestasi dan bukannya berjudi. Mereka akan melakukan investasi berprinsip nilai [value investing] yang bermanfaat bagi semua pihak.Indonesia saat ini juga anggota G-20. Ini bukan hanya persoalan keanggotaan namun juga posisi ekonomi yang strategis. Implikasinya besar karena Indonesia memiliki perusahaan besar yang berpotensi menjadi pemain dunia. Jika GCG dan praktik bisnis tidak berubah menuju standar internasional, saya tidak yakin Indonesia bisa meraup potensi di balik pertumbuhan pasar Asia Pasifik.
Rekomendasi anda?
Perlu kesadaran di kalangan korporasi bursa Indonesia. Bersama-sama, mereka perlu belajar dari praktik GCG di tempat lain atau praktik terbaik internasional, dan melihat bagaimana sistem serupa bisa dijalankan di Indonesia. Memang butuh waktu. Pada 1998-1999, di Hong Kong sedikit sekali ada komite pengawas di tubuh perseroan. Namun sekarang, bahkan perusahaan gurem pun memiliki komite tersebut. Jika persepsi dunia terhadap bisnis di Indonesia belum berubah yakni korupsi, maka anda harus mengubah fakta agar persepsi ikut berubah. Faktor persepsi ini penting mempengaruhi bagaimana pemodal melihat Indonesia membaik, bukan hanya dari sisi negara berkembang, tapi juga GCG dan iklim korupsi yang makin ditinggalkan.
Apakah kunci utamanya terletak di regulasi?
Pemerintah bisa membuat peraturan, namun pelaku bisnis harus sadar pentingnya GCG. Di Hong Kong, ada asosiasi direktur yang jika Anda bisa menjadi anggota, profil anda akan sangat tinggi karena mereka mensyaratkan penilaian GCG di perusahaan yang dipimpin anggotanya. Apakah di Indonesia memiliki organisasi seperti ini, yang mereka sendiri sepakat membuat iklim usaha menjadi lebih baik? Jadi, perlu kesadaran dari pelaku usaha untuk mengubah sesuatu, tidak hanya dari Bapepam-LK. Selanjutnya jika masyarakat bisa mengapresiasi faktor tak terukur (intangible) seperti GCG ini, pasar modal pun makin dewasa. Muaranya, peringkat investasi negara Indonesia akan jauh lebih baik dari negara lain.
Di mana posisi firma hukum dan auditor swasta seperti Mazaar?
Kami membantu dalam batasan pendampingan prosedural, pengukran risiko bisnis, kontrol, dan salah satu di antaranya bekerja sama dengan lembaga pemerintah.Secara teknis, kami mendampingi penerapakan tata kelola perseroan yang baik, hingga ke sistem operasi, sama halnya kami mendampingi regulator seperti Bapepam-LK. Kami ditanyai apakah di Hong Kong otoritas pasar modal bisa mengambil beberapa kebijakan A atau B untuk menciptakan pasar yang lebih baik.Kami memiliki penasihat keuangan di bidang penerapan GCG terbaik dunia, dengan berlokasi di 55 negara. Jaringan internasional yang kami miliki bekerja sama dengan mitra lokal. Kami belajar dari mitra internasional, namun juga menggunakan pendekatan lokal untuk membantu menerapkan GCG secara efektif.***
0 pendapat:
Post a Comment