mereka yang tetap tenang ketika bursa goncang
Baron Rothschild, pernah memberi saran "boronglah saham ketika bursa berdarah-darah." Di tengah tekanan krisis subprime mortgage loan sekarang, saran tersebut ditinggalkan.
Bagi seorang investor ritel di Jakarta, sebut saja Toni, saran itu tidak
masuk akal. Jangankan memborong saham, menahan uangnya di kala saham anjlok pun dia tidak rela. Dia memilih memangkas kerugian (cut loss) ketika bursa anjlok pada 10 September.
"Jika saya tidak segera cut loss, pasti sudah rugi puluhan juta. Berkat cut loss, saya hanya rugi Rp15 juta," tuturnya mengomentari indeks, yang kala itu ditutup 1.885 atau tergerus 73,71 poin.
Toni memilih cut loss karena alasan sederhana. Dia memiliki amunisi bertransaksi saham karena berutang pada salah satu bank swasta. Nah, dengan memangkas kerugian, dia memiliki sisa amunisi untuk 'diadu' di hari perdagangan selanjutnya.
Selanjutnya, dia berusaha tidak ketinggalan mengambil momentum beli, tepat di detik-detik ketika saham 'panas' yang diisukan terkerek mengalami lonjakan harga. Jika hoki nyampir, dia dapat meraih capital gain minimal untuk membayar beban utang di ujung bulan.
Toni merepresentasikan pelaku pasar yang memilih memangkas kerugian (dengan menjual saham di tengah koreksi harga atau bearish bursa), daripada memborong atau menahan saham dengan harapan ada kenaikan harga dalam waktu dekat, alias 'nggak nyangkut'.
Horizon investasi demikian membuat indeks bursa Indonesia, dan juga bursa
dunia, gampang memerah karena investor memilih menambahi pemberat gerak (lagging mover) indeks dengan menjual saham di tengah badai koreksi.
Pada 10 September, indeks terkapar karena aksi jual paksa (forced sell) saham oleh broker karena tidak mampu memenuhi margin call. Margin call adalah kewajiban investor menambah nilai jaminan, ketika harga saham yang dibiayai dana talangan dari broker jatuh di bawah batas yang disepakati.
Ketika harga minyak dunia bullish, fasilitas ini menjadi instrumen penolong investor bermodal cekak mendapat keuntungan besar. Sebaliknya, ketika hujan koreksi mendera energi ini sepanjang dua pekan pertama September, mereka harus menelan pil pahit.
Ketidakmampuan pemodal menambah jaminan margin memaksa mereka melepas saham sektor komoditas, sehingga indeks terkoreksi berlarut-larut tanpa menghiraukan penguatan harga komoditas dunia.
Fenomena itu terlihat pada transaksi 12 September ketika indeks terperosok 66,1 poin ke level 1.804,06. Padahal, harga minyak menguat US$0,31 menjadi US$101,18 per barel dan harga CPO naik US$15,75 menjadi US$690,5 per ton.
Value investor
Analis PT Panca Global Securities Betrand Reynaldi mengatakan margin call berdampak signifikan terhadap indeks karena terlalu banyak investor menggunakan fasilitas ini, dan minimnya value investor (pemodal nilai) yang menyedot saham murah tersebut.
"Investor yang bertransaksi margin sangat banyak, mungkin mencapai 50% dari investor Indonesia. Seharusnya, investor yang mencari nilai saham [value investor] sudah mulai masuk, tapi nyatanya tidak juga ada," tuturnya.
Peta investor demikian membuat kebangkitan (rebound) indeks hanya mengandalkan momentum, yakni faktor temporer yang memberi alasan bagi pemodal momentum mengambil posisi beli, dan bukan faktor rasional dan analitis macam fundamental.
Fakta ini menunjukkan investor Indonesia lebih memilih bermain-main dengan momentum, ketimbang menjadi pemodal berorientasi nilai instrinsik seperti disarankan Rotschild 90 tahun yang lalu.
Dan ini cukup mengherankan jika memperhatikan dua fakta. Pertama, saran Rotschild itu terbukti membawa Warren Buffet menduduki posisi orang terkaya dunia. Kedua, bursa Indonesia telah berusia 31 tahun yang seharusnya cukup mendidik pemodal mengikuti langkah Buffet yang tidak hanya mengandalkan momentum semata.
Dengan strategi value investing, Buffet membuktikan bahwa spekulasi dan momentum tak selalu menjadi kunci kemenangan. Dia memborong saham di Wall Street berharga 'obral' yang tercecer pada resesi 1973-1974, dan sukses mengembangkan aset senilai US$100 (1954) menjadi US$20 miliar (2008).
Salah satu prinsip yang dipegang adalah be fearful when others are greedy and be greedy only when others are fearful. Prinsip ini banyak diikuti manajer investasi (MI) kelas dunia seperti Legg Mason Capital Management, Pzena Management Investment, dan First Eagle Funds.
Berkat prinsip investing value, Legg Mason berhasil membawa perusahaan investasinya membukukan kinerja melampaui indeks S&P selama 15 tahun (1992-2007) berturut-turut.
Riset Morningstar menyebutkan dalam 15 tahun itu, value funds (sebutan bagi perusahaan investasi yang menerapkan strategi value investing) membukukan return tahunan 8,7%, unggul dibandingkan dengan growth fund (perusahaan investasi dengan berbasis momentum pasar) yang hanya 8,03%.
Keberhasilan Legg Mason dan riset Morningstar itu tersilap dari mata MI dan investor negeri ini, sehingga perusahaan sekuritas dan investor yang menerapkan strategi value investing di Jakarta bisa dihitung dengan jari.
Tertekan
Di tengah krisis subprime, strategi value investing di AS ditertawakan karena banyak berinvestasi ke sektor perumahan dan keuangan yang babak belur. Kerugian Bear Stearns dan Fannie Mae saja membuat nilai investasi mereka jatuh lebih dari 30% pada 2007.
Tim Middleton, kolumnis The New York Times, mengritik pola investasi jangka panjang itu sebagai investasi orang mati. "Memang benar, value funds sangat hebat untuk jangka panjang. Namun dalam jangka panjang, kita semua mati," olok-oloknya dalam artikel The Death of Value Investing.
Tahun lalu, value fund AS rata-rata membukukan keuntungan investasi 1,42%, jauh di bawah keuntungan growth fund sebesar 13,35%. Salah satu yang terparah adalah The Weitz Value Fund, yang dijalankan veteran perang Wallace Weitz.
Selama 15 tahun terakhir, MI tersebut membukukan rata-rata keuntungan investasi 10,6% per tahun. Namun dalam enam bulan pertama 2008, keuntungan mereka anjlok 18,9% melampaui indeks Standard & Poor's 500 yang turun 11,9%.
Namun, Pzena Investment Management dalam terbitannya per Januari 2008 menyajikan fakta bagaimana resesi dunia hanya membuat value fund tertekan sementara, namun pasca resesi mereka akan bertumbuh jauh tinggi dari momentum fund. (lihat tabel).
Winston Sual, Direktur PT Panin Sekuritas Tbk mengatakan value investing sangat membantu investor ritel yang tidak setiap detik memelototi layar monitor dan tidak memiliki infrastruktur sekuat para bandar.
"Pemodal nilai tidak membeli saham berdasarkan informasi atau isu, tetapi berdasarkan analisis. Jika tidak mengetahui nilai sebuah saham, jangan membelinya meski harga saham itu meroket tiba-tiba," tuturnya.
Mereka tidak berusaha menentukan kapan waktu tepat (momentum) masuk pasar, namun menghitung apakah margin of safety tercapai. Margin of safety adalah rentang antara harga pasar terhadap nilai intrinsik saham.
Meski demikian, Kepala Riset PT Recapital Securities Poltak Hotradero menilai baik investor momentum maupun investor nilai tetap dibutuhkan keberadaannya untuk menjaga keseimbangan ekologi pasar.
"Jika semua investor menjalankan prinsip value investing Warren Buffet, maka contrary moves tidak mungkin timbul karena semua orang mengambil posisi investasi sama," ujarnya.
---------------
my original writing that makes me a lil bit ignorant to her, a little while ago.. This writing is dedicated to her.. :)
1 pendapat:
Sampai bertemu setelah lebaran ya... Wish me luck, soale mau kembali jalan ke peradaban tanpa listrik nih ^^V
Post a Comment