Wednesday, August 13, 2008

merdekakan diri, merdekakan bursa..

Tiap kali mendekati peringatan ulang tahun kemerdekaan, indeks sering terkoreksi, demikian kelakar seorang broker di PT Bursa Efek Indonesia.


Bisnis mencatat, perayaan kemerdekaan RI dalam lima tahun terakhir memang lebih banyak disambut dengan koreksi pada hari terakhir perdagangan sebelum libur 17 Agustus, yakni pada perdagangan 16 Agustus 2004, 2005, dan 2007.

Fakta tersebut setidaknya menunjukkan bahwa perdagangan di bursa efek tidak ada urusannya dengan momen kemerdekaan, sentimen nasonalisme, maupun isme-isme lainnya.

Sofistikasi dan kerumitan bursa semata-mata berjalan di atas fatsun sederhana, yakni ‘hal-hal jang terkait dengan tjara beroleh laba (capital gain) dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja’. Di situ, faktor ekspektasi dan informasi asimetris menjadi pernik penentu merah-hijaunya bursa.

Ya, pasar modal memang tidak memiliki nilai sakral apapun terkait dengan perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Bursa bukan sebuah lembaga yang mencatatkan kisah heroik layaknya batalion Pembela Tanah Air (Peta) atau Palang Merah Indonesia (PMI).

Kita tidak bisa menilai peran pasar modal terhadap proses pembentukan negara bangsa (nation state) ini melalui pendekatan mundur ke belakang (historis).

Sama seperti bank, bursa adalah lembaga warisan kolonial Belanda yang tidak berperan signifikan dalam revolusi fisik. Keduanya menunjukkan peran membentuk bangsa setelah kekuatan legiun macam Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak lagi cukup.

Makna kemerdekaan bagi pelaku pasar modal pun tidak selayaknya dimaknai dengan pola pikir historis yang sempit mendefinisikan kemerdekaan dalam konteks ‘merdeka dari’ penjajah.

Karena kemerdekaan adalah jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur seperti diilhamkan Soekarno, maka tolak ukur yang perlu dipakai untuk menilai peran pasar modal adalah sejauh mana dia menjadi instrumen yang ‘merdeka untuk’ memakmurkan bangsa.

Prihatin
Nah, di ranah perbincangan inilah kita kembali patut untuk prihatin. Catatan PT Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) lagi-lagi membeberkan fakta bahwa pasar modal baru menyentuh ‘hajat hidup’ 275.000 orang (investor), atau sekitar 0,12% dari penduduk negeri ini sebanyak 230 juta orang.

Apalagi, data KSEI tersebut juga memasukkan investor asing yang porsinya disebut-sebut masih mencapai 50% dari jumlah investor resmi. Kongkrit, jumlah investor lokal baru sekitar 137.500 orang.

Ditambah dengan jumlah investor reksa dana, yang menanamkan dana para investor ke dalam portofolio saham dan obligasi di pasar modal, jumlah investor pasar modal disebut-sebut mencapai dua juta orang.

Namun, angka itu belum layak dibanggakan mengingat negara tetangga kita Malaysia yang berpopulasi lebih rendah telah memiliki 11 juta investor di industri reksa dana.

Di sisi lain, modal yang berpusar di dalamnya baru dinikmati 383 emiten, dengan kapitalisasi pasar Rp1.801,6 triliun, atau sekitar 60% terhadap nilai ekonomi negara ini (produk domestik bruto/ PDB).

Kapitalisasi itu lagi-lagi masih lebih rendah dibandingkan dengan bursa Malaysia yang kapitalisasi pasarnya telah mencapai 120% dari PDB.

Yang perlu diperhatikan juga, pasar modal Indonesia belum sepenuhnya merdeka untuk merangkul unit usaha kecil dan menengah untuk turut merasakan berkah dana yang bisa digunakan untuk berekspansi.

Data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyebutkan sepanjang sejarah pasar modal Indonesia, baru ada tujuh UMKM yang tercatat di bursa yakni satu UMKM pada 2003, tiga UKM pada 2004, dan satu UKM tiap tahunnya pada periode 2005-2007.

Itulah yang membuat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) sempat mengeluhkan terganjalnya potensi pencatatan saham 1.700 UMKM ke bursa, karena aset mereka yang hanya Rp10 miliar atau tidak sesuai dengan ketentuan bursa.

Padahal, sektor UMKM inilah tercatat memiliki andil besar terhadap pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi. Data PT Bank Mandiri Tbk menyebutkan sektor UMKM menyumbang 55% PDB dan menyerap 85 juta tenaga kerja dengan kontribusi terbesar dari agrikultur.

Di titik inilah kita perlu mengevaluasi diri. Di alam kemerdekaan, otoritas pasar modal dan bursa, segenap pelaku pasar, termasuk juga media massa relatif tidak terkekang. Semua pihak bisa bermanuver apapun untuk menciptakan sebuah pasar modal yang benar-benar memberikan andil terhadap penciptaan kemakmuran.

Namun sayangnya, kebijakan dan langkah yang diambil oleh semua pihak tersebut belum cukup untuk memperkuat peran pasar modal Indonesia, yang kini telah berusia 31 tahun.

Perlu kerja lebih keras lagi untuk mewujudkan bursa efek Indonesia benar-benar merdeka menjadi pendukung terwujudnya kemakmuran bangsa (the wealth of nation) seperti yang telah dicapai bursa negara-negara maju.

Cermin ekonomi
Meski demikian, ada satu pola menarik yang patut dicermati dalam 31 tahun perjalanan pasar modal ini. Pasar modal Indonesia setidaknya bisa menjadi cermin pergerakan sektor riil.

ECM Strategist PT Trimegah Securities Satrio Utomo mengatakan bursa Indonesia menunjukkan peralihan peran yang cukup signifikan, dari semula bursa yang ditopang sektor konsumer menjadi bursa yang ditopang sektor berbasis sumber daya alam.

“Saat ini, bobot indeks mencerminkan negara agraris yang kaya sumber daya alam, dibandingkan dengan periode 2002 yang pergerakannya didominasi saham telekomunikasi dan rokok,” tuturnya kepada Bisnis.

Data Bloomberg menyebutkan sektor pertambangan dan perkebunan kini menyumbang 24,1% bobot indeks harga saham gabungan (IHSG), atau melampaui sektor keuangan yang hanya 23,78%.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa tren perkembangan pasar modal masih mengikuti arah perkembangan sektor riil. Pasar modal belum keluar dari jalur pembangunan perekonomian dan menjadi bagian integral dari pertumbuhan ekonomi.

Fenomena sama juga terjadi jika melihat komposisi investor pasar modal. Sentralisme dan keterbatasan jumlah investor dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa kekayaan belum tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat.

Pun, kenaikan jumlah penduduk kaya berkat komoditas tidak serta-merta mendongkrak jumlah investor pasar modal. Kaum kaya di Indonesia ini sepertinya belum terbebas dari pola pikir klasik, yakni berinvestasi ke dalam aset ril dan bukannya ke aset portofolio.

Masyarakat belum bisa mengaplikasikan prinsip para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan, yakni prinsip keberanian berspekulasi untuk mengambil risiko dalam mencapai tujuan.

Berpuluh-puluh tahun yang lalu, prinsip tersebut diambil Cut Njak Dien, Sisingamangaraja, Diponegoro yang berani mengambil risiko besar mencapai kemerdekaan, dengan menenteng golok dan panah untuk melawan bom dan senapan.

Di sinilah masyarakat perlu memerdekakan diri dari ketakutan mengambil risiko dalam berinvestasi, untuk kemudian membawa bursa sebagai salah satu senjata mengisi kemerdekaan.

***

My original writing for independence day reflection, before my boss edited to be this one.

Anonymous said...
Hi, as you may already found I am newbie here.
In first steps it's very nice if someone supports you, so hope to meet friendly and helpful people here. Let me know if I can help you.
Thanks and good luck everyone! ;)
Anonymous said...
Great stuff here, definitely going to check it out later :)
Anonymous said...
hi

i am new here

just wana say hi to all

DxSEO
Anonymous said...
I intended to create you this very small remark to thank you yet again for all the gorgeous suggestions you have contributed here. This is certainly pretty open-handed of people like you to convey publicly just what a number of people could have made available for an e-book in making some cash for themselves, precisely now that you could possibly have tried it if you ever considered necessary. These things also worked to become a fantastic way to comprehend other people online have the same dream similar to my personal own to grasp a lot more with regard to this condition. I know there are lots of more pleasant opportunities ahead for folks who browse through your website.
Anonymous said...
thanks for this nice post 111213
Anonymous said...
Wow, I like your blog !
Subscribe to: Post Comments (Atom)