seabad memimpikan swasembada kapital
Tonggak sejarah kebangkitan ekonomi di negeri ini sebenarnya terpancang lebih lama dibandingkan kebangkitan politik. Tiga tahun sebelum Boedi Oetomo berdiri, pengusaha (swasta) batik di Solo membentuk Serikat Dagang Islam (SDI) yang kongkrit berjuang di ranah ekonomi, sebelum menjadi organisasi perjuangan kemerdekaan.
Fakta ini setidaknya menunjukkan pergolakan kemerdekaan bangsa ini terikat erat dengan persoalan struktur dasar (base-structure) peradaban, yakni persoalan ekonomi, dan bukan semata buah tarik-ulur konflik antar bangsa.
Terlebih, tragedi kolonialisme di Nusantara berawal dari koinsidensi sejarah terkait dengan bisnis dan modal, yakni kehadiran kongsi pemodal primitif seperti VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang menginvestasikan ribuan gulden di negeri ini empat abad lalu.
Dan sekarang, setelah lebih dari seabad pengusaha nasional sadar membangun kekuatan bisnis di bawah negara berdaulat, bangsa ini ternyata belum juga lepas dari persoalan keterpurukan kapital, baik di tingkat institusi nasional, maupun pasar modal.
Ketika Malaysia dan Singapura berlomba-lomba berekspansi mengirim kapital mereka ke luar negeri lewat Khasanah Berhad dan Temasek Holding, bangsa ini hanya bisa gigit jari karena BUMN nasional masih terpisah-pisah, sebagian dibelit restrukturisasi, dan sebagian lain sahamnya dilego demi menutup defisit anggaran.
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah tercatat telah menjual kepemilikannya di BUMN-BUMN andalan sekitar Rp25 triliun. Angka itu sama artinya dengan potensi kapital BUMN yang tidak digunakan untuk memperkuat basis kapital negeri ini.
Belajar dari Singapura, pemerintah perlu bergerak membentuk kongsi ‘VOC modern’ van Indonesia layaknya Temasek atau Khasanah. Waktu seabad sepertinya sudah sangat cukup untuk membuka mata pemerintah bahwa peran dan ekspansi kapital sangat penting di tengah persaingan pasar keuangan global.
Privatisasi BUMN
Tahun ini, kementerian BUMN bisa bernafas lega karena kewajiban privatisasi yang diemban hanya Rp500 miliar. Meski demikian, privatisasi masih dijalankan demi memperkuat struktur pendanaan BUMN. PT Krakatau Steel (KS) mendapat giliran pertama tahun ini.
Ironisnya, pemerintah justru menyarankan manajemen memertimbangkan opsi strategic sale (penjualan pada investor strategis), menyusul proposal pembelian raksasa baja dunia seperti ArcellorMittal, Bluescope, dan Tata Steel.
Manajemen KS ngotot mencatatkan sahamnya di bursa (initial public offering/ IPO) untuk meraup dana ekspansi, menafikan situasi pasar yang sedang bergejolak.
Komisaris KS Taufiqurrahman Ruki menandaskan perlunya mensterilkan produsen baja nasional ini dari keterlibatan asing, mengingat perannya yang strategis di bidang penyediaan alutsista militer.
Polemik ini membawa kita pada 23 Juni 2006, ketika Konggres Amerika Serikat menjegal investasi China National Offshore Oil Corporation (CNOOC)—semacam Pertamina-nya China—ke perusahaan energi Amerika, Unocal.
Meski harga yang ditawarkan senilai adalah US$18,5 miliar, atau US$1,5 miliar di atas tawaran pesaingnya, ChevronTexaco, namun 398 anggota Kongres sepakat memerintahkan pembatalan pembelian.
Resolusi yang dipakai adalah: 'kekhawatiran akan mengancam keamanan nasional AS, karena Unocal merupakan salah satu perusahaan pemasok energi terbesar di AS'.
Sulit kiranya tidak menyebut sikap kongres AS ini sebagai bentuk nasionalisme investasi. Kongres melihat kepentingan nasional bangsa mereka terancam dengan pengambil-alihan saham aset swasta itu.
Kasus KS akan menjadi batu ujian sejauh mana momen kebangkitan (ekonomi) nasional, yang berusia seabad lebih ini, mengilhami para pengambil keputusan terkait strategi akumulasi kekuatan kapital di BUMN.
Kekuatan investor
Di sisi lain, industri reksa dana yang disebut-sebut sebagai instrumen pemerataan berkah pasar modal terhadap rakyat kecil, ternyata baru dinikmati 0,1% penduduk ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Abi Prayadhi, hanya ada sekitar 260.000 akun investor reksa dana, jauh di bawah negara tetangga Malaysia yang sudah menjaring 11 juta investor.
“Itupun dengan catatan bahwa satu pihak bisa memiliki beberapa akun reksa dana berbeda,” tuturnya dalam sebuah acara penghargaan reksa dana, Februari lalu.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) terus berbenah memperbaiki pasar modal dengan meningkatkan jumlah produk seperti exchange traded fund (ETF), kontrak invstasi kolektif efek beragunan aset (KIK-EBA).
Otoritas bursa pun gencar menarik pemodal domestik untuk masuk ke pasar, salah satunya dengan roadshow obligasi negara ritel (ORI), atau menjaring calon investor melalui program tahunan.
Mereka menargetkan jumlah investor dua juta orang pada 2010, setelah tahun lalu hanya memiliki 600.000 investor dengan komposisi 60% investor lokal dan 40% asing.
Namun sampai sekarang, kapitalisasi bursa saham PT Bursa Efek Indonesia (BEI) baru mencapai Rp1.754 triliun atau 60% terhadap produk domestik bruto (PDB), masih kalah dibandingkan dengan bursa Malaysia yang kapitalisasi pasarnya mencapai Rp1.900 triliun atau 129% dari PDB.
Lingkaran setan pun terbentuk. Keterbatasan modal di bursa terjadi karena terbatasnya pemodal domestik. Bagaimana mungkin pemodal domestik bertambah jika pertumbuhan ekonomi tak juga menguat akibat sulitnya sektor riil mendapat modal ekspansi (salah satunya) dari pasar modal?
Jika kondisi ini berkelanjutan, kekuatan kapital negeri ini pun mengalami pasang-surut akibat dominasi peran modal asing di negeri ini, tanpa kita memiliki buffer kapital untuk menjaga keseimbangan ekonomi.
Ironisnya, ‘penjajah-penjajah’ kecil masih bercokol di negeri ini dengan menggerogoti penerimaan negara yang menyebabkan pembangunan ekonomi gagal. Selama penjajah internal ini tetap ada, lingkaran setan tersebut hampir muskil diputus.***
==============
My article. Undisplayed for.. dunno.. what d u think?
2 pendapat:
Btw alasan lain, mungkin karena rentetan kritik yang dirasa terlalu pedas jika dipajang di kolom utama sebuah surat kabar ternama..
IMHO..
Post a Comment