Saatnya mengukur kekuatan kapital
“That's the good part of dying; when you've nothing to lose, you run any risk you want," (Ray Douglas Bradbury)
Gonjang-ganjing bursa sepanjang tahun ini menyebabkan industri reksa dana mengkerut. Dalam tiga bulan, nilai aktiva bersih (NAB) industri ini merosot Rp2,7 triliun, dari Rp92,19 triliun pada akhir 2007 menjadi Rp89,5 triliun pada April 2008.
Seperti karakteristik investasi portofolio umumnya, faktor psikologi berpengaruh besar dalam pergerakan industri ini. Apalagi, salah satu instrumen beraset terbesar yakni reksa dana saham terkait langsung dengan naik-turunnya indeks bursa.
Di satu sisi, gonjang-ganjing bursa menyebabkan NAB reksa dana saham menyusut, namun di sisi lain memberi hikmah kenaikan jumlah investor karena situasi fluktuatif membuat investor memilih menitipkan dana ke manajer investasi (MI) ketimbang mengoperasikannya sendiri di pasar.
Nah, pertanyaan mendasar yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana memilah produk reksa dana dan menetapkan keputusan (untuk menjual atau mengalihkan unit) di tengah membanjirnya reksa dana (sebanyak 508 produk)?
Menjawab itu, analis reksa dana PT Infovesta Utama Rudiyanto berpendapat investor harus melakukan self assessment untuk memilih jawabannya. Mereka perlu melihat kembali tujuan investasi dan kondisi kapitalnya.
Alasannya, ada beberapa manuver investasi yang bisa diambil untuk bertahan atau sukses menangguk gain di tengah kondisi sekarang, yakni pertama ofensif membeli produk baru (untuk yang belum memiliki unit reksa dana), kedua konservatif bertahan di portofolio reksa dana yang sudah dimiliki.
Ketiga, defensif dengan keluar sementara dari pasar, dan keempat mengalihkan (switching) portofolio seperti yang marak terjadi dari reksa dana pendapatan tetap ke reksa dana saham, dan kelima diversifikasi dengan mengambil portofolio tambahan.
Tiga manuver pertama umum dijumpai dalam keseharian industri reksa dana, yang menyebabkan pergeraikan naik-turun NAB setiap harinya. Pembelian produk baru umumnya terjadi karena masyarakat melihat return deposito makin kecil, sedangkan redemption (pencairan) biasa terjadi ketika investor reksa dana merasa gain yang didapatkan sudah cukup untuk direalisasikan.
“Jika investor merasa produk yang sekarang sudah tepat dan memberikan jaminan keuntungan optimal, tidak ada salahnya untuk bertahan,” tutur Rudiyanto.
Di sisi lain, lanjutnya, pilihan pengalihan dana dari satu produk ke produk lain (switching) bisa dilakukan jika produk yang dimiliki sekarang kurang memuaskan. Namun terkadang, investor harus mengeluarkan biaya administrasi ketika switching dilakukan dalam jangka pendek.
Tren switching
Tren yang berlangsung pada akhir 2007 adalah pengalihan portofolio dari reksa dana pendapatan tetap ke reksa dana saham. Namun seiring volatilitas bursa yang juga menekan kinerja reksa dana saham, investor harus bersabar menyimpan dananya di portofolio ini untuk jangka panjang.
Dalam sebulan terakhir, reksa dana saham tergerus rata-rata 18% hingga 20%. “Jika investor bisa menerima risiko ini, maka switch ke sini saja. Tapi jika tidak, maka lanjutkan saja [menyimpan dana] di produk yang sekarang.”
Sementara itu, langkah mendiversifikasi portofolionya di reksa dana berbeda, umumnya dilakukan dengan menetapkan salah satu pilihan utama investasi di reksa dana pendapatan tetap
Secara umum, Rudiyanto menyarankan investor melakukan penyeimbangan portofolio (portfolio rebalancing) untuk meredam dampak negatif volatilitas bursa. Caranya, dengan menarik keuntungan yang didapat untuk ditaruh di instrumen investasi di sektor lain yang lebih menguntungkan.
Selain itu, investor perlu mendiversifikasi dananya ke reksa dana pendapatan tetap yang memiliki underlying asset obligasi korporasi, tidak hanya surat utang negara (SUN).
“Indeks harga SUN saat ini naik-turun, sedangkan obligasi korporasi cenderung naik. Dalam kondisi ini, reksa dana pendapatan tetap yang berinvestasi di obligasi korporasi akan menjadi pilihan menarik,” tuturnya.
Per 30 Maret, indeks obligasi pemerintah terkoreksi 3,34%, sedangkan indeks obligasi korporasi justru naik positif 2,9%. Artinya, reksa dana pendapatan tetap yang ditanam di obligasi korporasi bisa mendapat gain sekitar 2,9% juga.
Sayangnya mayoritas MI, terutama MI-MI asing, menjual produk reksa dana dengan mengunakan SUN sebagai underlying asset investasi. Sebaliknya, reksa dana pendapatan tetap yang menanamkan dananya ke obligasi korporasi hanya beberapa MI, salah satunya Danareksa.
Risiko lainnya, NAB reksa dana pendapatan tetap yang mayoritas ditanam obligasi korporasi sangat rentan anjlok, karena transaksinya di pasar kurang likuid. Ketika MI yang mengoperasikan produk tersebut membutuhkan dana segar untuk membeli unit reksadana yang dicairkan, maka NAB tergerus.
Alasannya, MI tersebut tidak bisa menjual obligasi korporasi yang dipegangnya di pasar sekunder dalam waktu singkat. Selain itu, investor reksa dana jenis ini juga harus memerhatikan potensi gagal bayar obligasi yang menjadi underlying asset.
Di sisi lain, switching di saham hanya dimungkinkan jika investor memiliki berlebih yang tak dipakai dalam jangka waktu panjang. Investor harus bisa melihat kekuatan dananya sendiri dan toleransi risiko yang mampu ditanggung.
Pada titik inilah, situasi ‘horor’ yang sedang menimpa pasar sekarang bisa dihadapi dengan ketenangan psikologi, karena potensi risiko yang diterima bisa diukur dan bahkan berpotensi dibalik menjadi keuntungan di masa mendatang.
Mengutip ungkapan Ray Douglas Bradbury, penulis fiksi horor Amerika Serikat era 1920-an, investor bisa menghadapi saat genting di pasar modal tanpa takut menghadapi ‘kematian’ karena sudah tidak lagi khawatir terhadap potensi kerugian.
“Reksa dana adalah produk investasi jangka panjang. Jika investor bersabar, produk ini akan membukukan kinerja positif di masa mendatang,” tegas Rudiyanto.
0 pendapat:
Post a Comment