Wednesday, June 27, 2007

yang terlupa dari perselisihan itu

Lagi-lagi PT Jamsostek (Persero) menjadi sorotan. Seluruh perhatian media massa di Indonesia tertuju pada BUMN beraset Rp38 triliun ini setelah Serikat Pekerja Jamsostek (SPJ) menggelar konferensi pers pada Senin, pekan ini.

Dengan lantang, Ketua SPJ Abdul Latief Algaff menyatakan mosi tidak percaya atas kepemimpinan Iwan P. Pontjowinoto selaku Direktur Utama Jamsostek. Mewakili aspirasi 3.000 karyawan Jamsostek, dia meminta mantan Direktur Utama PT Batasa Tazkia itu mengundurkan diri.

"Iwan harus mundur. Dia sudah tak mendapat kepercayaan dari karyawan," serunya dalam konferensi pers.

Lebih lanjut dia mengingatkan insan pers selayaknya memerhatikan aspirasi itu, mengingat wartawan tak lain adalah peserta Jamsostek yang juga memiliki asuransi sosial di BUMN tersebut.

Mendengar hal itu, seluruh anggota SPJ yang hadir berteriak riuh mendukung pernyataan Latief. Namun sebagian besar wartawan tak banyak bereaksi.

Latief benar dalam satu hal. Wartawan memang masuk dalam daftar 28.809.000 pekerja pemegang kartu peserta Jamsostek (2005). Namun, menyeret-nyeret wartawan atau peserta Jamsostek (secara umum), inilah yang terdengar menjengkelkan.

Bukannya apa-apa. Peserta Jamsostek sering disodori persoalan internal Jamsostek mulai dari dugaan korupsi, kegagalan investasi (medium term notes/MTN bank global), dugaan penyelewengan dana (terkait kecilnya bunga Jaminan Hari Tua) yang dilaporkan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan terakhir kisruh internal.

Pada kondisi itu, para peserta 'dipaksa' ikut prihatin. Namun ketika kondisi Jamsostek adem ayem dan peserta ingin mengetahui detail investasi dana mereka untuk mengontrol pelaksanaan good corporate governance (GCG) di BUMN itu, duh, setengah mampus.

Inilah yang menyebabkan kalangan pekerja gerah. Simak saja pengakuan Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Yanuar Rizky. "Selama ini pekerja tak pernah mendapat akses lebih luas mengetahui brake down investasi Jamsostek. Surat permohonan kami [untuk mendapat laporan detil investasi dan keuangan Jamsostek] kini sudah berumur satu setengah bulan," ujarnya.

Yanuar menilai persoalan transparansi itulah yang menjadi akar sistemik konflik yang tengah terjadi. Ketiadaan transparansi menyebabkan peserta selaku pembayar premi tak mampu mengontrol investasi dana mereka di Jamsostek. Kondisi ketertutupan itu bisa menyebabkan potensi fraud.

Pada gilirannya, kepentingan politik di luar Jamsostek pun mudah masuk 'mencicipi' hasil investasi perseroan itu. "Jadi persoalannya bukan sekadar ganti orang, melainkan sistemik. Ada lubang di Jamsostek yang bisa membuat banyak Dirut jatuh di situ."

Dongeng
Berbicara soal ketertutupan itu, kita tak bisa melupakan konsep wali amanat yang kini digarap di DPR. Konsep itu nantinya memposisikan Jamsostek sebagai pemegang amanat pengelola dana jamsostek.

Situasi ini nantinya mensyaratkan transparansi Jamsostek sama seperti MI lainnya. Mereka harus mengelola dana tersebut sesuai sepengetahuan pemberi amanat (pekerja), dan melaporkannya kepada pemberi amanat.

Karena itu, ketika UU Wali Amanat digodok namun Jamsostek belum juga menunjukkan itikad baik berlaku transparan, maka wali amanat terlihat jauh dari pelupuk mata. Bukan cuma menjadi wacana, tetapi dongeng.

Dengan status perseroan seperti sekarang, Jamsostek terikat memberikan laporan keuangan dan investasi detail hanya pada pemegang saham.

Namun, sebagai asuransi sosial, Jamsostek bertindak selaku manajer investasi (MI) dana milik pekerja. Logikanya, para pekerja selaku pemilik dana pun seharusnya berhak meminta laporan pengelolaan dana secara detail dari manajer investasi tersebut.

"Bukan hanya laporan hasil investasi seperti sekarang, tapi juga break down bagaimana direksi memberi bunga JHT sekian, investasi properti di mana, dan sebagainya," tuturnya.

Jika pekerja tak boleh mengetahui detil investasi di tengah minimnya return yang kini diberikan (bunga JHT), maka seharusnya para pekerja dan pengusaha bisa mengalihkan dana JHT ke MI swasta seperti Schroeder, Danareksa, atau Trimegah.

Ironisnya, dalam kisruh Jamsostek sekarang persoalan transparansi itu tak banyak terangkat, baik dalam pernyataan resmi direksi, komisaris, maupun sembilan aspirasi SPJ. Padahal, persoalan inilah yang seharusnya bisa mencegah tarik-menarik kekuatan politik yang berkepentingan atas dana Jamsostek.

Pekan ini, Iwan memang mengisyaratkan transparansi Jamsostek dengan lontaran penambahan pasal hak informasi peserta Jamsostek di UU No.3/1992. Direksi juga menjanjikan sistem informasi program terbaru (SIPT) online November ini agar peserta bisa melihat dana JHT mereka.

Namun, itu baru wacana. Untuk menghapus posisi 'sapi perahan politik', diperlukan kehendak politik pemerintah, DPR, dan parpol untuk mengesahkan Wali Amanat. Bukan hanya direksi atau SP Jamsostek.

----------------------

tulisan ini saya buat setahun yang lalu ketika masih magang. saya keluarkan di blog ini, mumpung momennya pas. pas dua tahun lagi pemilu, pas parpol mulai mencari duit kampanye di BUMN-BUMN. :D

ikram said...
Ini berita yang dimuat atau tidak dimuat?

Sekali-kali posting berita yg dimuat di koranmu dong :P

Satu komentar terakhir: judul beritanya bagus, mirip judul lagu Iwan Fals.
turabul-aqdam said...
Kram, thanks y.. ini berita, tepatnya artikel, yang sudah dimuat.

kalo semua berita yang dimuat dimasukin ke blog, ntar blogger bisa rugi karena ga mungkin muat.

soalnya, tiap hari aku bikin tiga berita. :D
Anonymous said...
Kalo kapasitas abis, kan ada fasilitas nambah kapasitas rif, di blog. Mbayar tapi hehehe...
Anonymous said...
Tiga berita sehari dan masih sempat memblog??

*hormat
zen said...
Kram, tiga berita sehari masih sempat ngeblog, masih bisa sering ke jalan veteran dan macarin temen kantorku dan masih sempet begadang berdua sampe jam 3 pagi.

Ora ono gawean. Pacaran kok nggugah kancane sik turu! Katrok.

Udin wis nduwe yang, Ikram wis nduwe yang, saiki Arief yo duwe. Lha aku?

Hiks... hiks.... sekaligus Huahahahaha.....!
turabul-aqdam said...
ERRA, hehe.. enggak mau, mahal! dan mungkin ga perlu nyampe segitunya. Ikram kan usul 'sekali-sekali', bukan 'selalu' ato 'semua'. :D

*ngaku salah, gw


KRAM, aku tak mau membiarkan pekerjaan merenggut hidupku. kita emang kerja untuk hidup, tapi kan ngga hidup untuk pekerjaan. hehe..


ZEN, ralat! kemarin itu kami lagi diskusi, bukan pacaran! :p

dasar kampret, kami bertiga punya (satu) pasangan, lha kamu? belum (33) pasangan.
zenrs said...
Endi oleh2 mu? Opo oleh2 mu seko semarang?
turabul-aqdam said...
ZEN, sik.. sabar yo.. ki lagi arep nulis.. tapi gak sempet-sempet karena (mentang-mentang abis cuti) dikasih job tambahan oleh bosku tersayang. hehehe...
Subscribe to: Post Comments (Atom)