sang aktivis
Hari beranjak siang di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tiga orang duduk menopang kaki di atas bangku panjang di muka gedung G. Salah seorang di antaranya adalah Eki.
Kini, ia duduk bersama kami di warung tenda. Ujung jarinya mengetuk gelas berisi coffemix hangat miliknya.
“O iya…!”
Matanya berbinar, seolah berhasil memecahkan teka-teki besar.
“Yang kemaren ditangkep di Bali waktu aksi, tu si Gendhon! Bakar gambar SBY [Presiden Susilo Bambang Yudhoyono].”
Sehari sebelumnya, ketika berpapasan di muka kantor Didaktika (majalah mahasiswa UNJ). Eki menyinggung penangkapan itu, namun ia lupa nama sang tertangkap.
“Terakhir aku ke Jogja waktu temen-temen Arena (majalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) diserang FPI (Front Pembela Islam). Mereka sempet ke Jakarta dan saat itu udah setting aksi di sini.”
Ia menghisap rokoknya, batang rokok kedua.
“Ya aku bilang ke mereka, ‘kalau temen-temen mau, lima orang aja udah cukup buat aksi. Pasti, nanti jadi isu nasional. Tapi temen-temen harus mikir efek dominonya. Di Jakarta sih FPI nggak mungkin nyerang persma. Mereka belum berani masuk kampus. Tapi di daerah? Di Solo? Jogja?’”
Nokia biru gelap di depannya bergetar. Sedetik kemudian, sebuah dialog lewat HP terjadi, membentuk pagar virtual antar kami dengannya.
Eki adalah mahasiswa UNJ angkatan ’98. Ketika gerakan mahasiswa ‘98 pecah, ia berada di antara kerumunan massa yang menyerbu DPR. Selepas peristiwa itu, ia bergabung dengan Forkot dan membentuk Famred (Forum Mahasiswa untuk Rakyat dan Demokrasi). Saya mengenalnya dua tahun lalu ketika ia menjadi Pemimpin Redaksi Didaktika.
“Kamu pernah ketemu Pengki? Di mana dia sekarang?”
Saya menggeleng. Beberapa nama aktivis pers mahasiswa kembali terlontar dari mulutnya, mulai dari Iwan Foresmayo (Forum Pers Mahasiswa Yogya), Jeffri PPMI (Paguyuban Pers Mahasiswa Indonesia), Rozi SPA (Student Press Association), lengkap dengan komentar dan kisah masa lalunya dengan mereka.
“Joni (seorang aktivis pers mahasiswa di Jakarta, bukan nama sebenarnya, Red.) tuh, ‘buron’ dia!”
“Anak-anak (aktivis Forkot, Red.) dah tahu kalo dia spionase pemerintah. Cuman kita nggak bisa mbuktiin secara hukum. Ya gara-gara dia juga, tragedi Tri Sakti terjadi. Anak-anak dah pingin mbunuh dia.”
Pada masa pergerakan era ‘98 hingga 2000, spionase di kalangan mahasiswa memang banyak terjadi. Eki dan kawan-kawannya di FPMJ pernah menangkap salah satu dari mereka.
“Cewek, pake jilbab. Kita pindahin dia ke ruang teater sini. Jam dua malem tuh pake motor. Ngakunya sih Islam, tapi pas jilbabnya kita buka, eh pake kalung salib! Udah kan, anak-anak mau moles dia. Dah mau disetrum! Tapi gue bilang ‘…kalo lo kaya gitu, apa bedanya dengan militer? Katanya kita anti-kekerasan?’ Sejak itu gue ma temen-temen UNJ keluar.”
Bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyum simpul. Nyinyir.
“…padahal yang ngelahirin FPMJ ya anak-anak UNJ,” lanjutnya.
***
Sekarang, saya tidak tahu apakah Eki lulus atau DO (drop out/ dipecat dari status mahasiswa). Yang jelas, masa kejayaannya sebagai mahasiswa telah habis. Namun, sisa idealisme masih nyampir di sikapnya. Ketika ditawari jabatan oleh seorang mantan aktivis FPMJ yang sempat jadi caleg Golkar, Eki menolak tegas.
“…Elo salah ngajak orang,” katanya saat itu. Senyum nyinyir khas itu tak akan pernah bisa saya lupakan.***
9 pendapat:
oh iya, idealisme.
Arif disebut "mantan" karena sekarang sudah tak gondrong dan secakur yang dulu...bener nggak asih, atau masih jadi aktivis?
DIN, kamu memang sepantasnya merasa bangga karena bisa duduk semeja dengan EKI dan ARIF. XD
Huahuahuahua!
Militer bukan cuma menyetrum. Tapi juga memaksa. Dan dalam hal ini, mereka tak jauh beda dengan militer.
Tapi ya, silakan menyebut diri mahasiswa. Dan aktivis, pula.
*masih nyinyir.
mampus kowe, ref! Hihihihi... ;-)
(si novi piye?)
ah.. kalo Ikram mah enteng, masih mudah diatasi.. XD
KRAM, justru si Eki itu menolak cara-cara itu, makanya dia keluar dari organisasi itu. baca lagi dee... :D
sodara-sodara, si Novi sudah menelpon saya. saya janji ketemu dia ntar sore jam 3. segitu dulu, laporan selesai! *hehe..
Aku menulis "mereka" untuk menyesuaikan dengan kawanmu yang memakai kata ganti orang pertama "kita" (artinya dia ikut serta dalam tiap perbuatan itu, setuju atau tidak).
Kamu tuh yang mesti baca lagi DEH(tm) :P
Kamu dan Eki bersikap sama soal menolak aksi buka jilbab ala militer. Sayangnya, kamu menganggap dia sama seperti "aktivis" lainnya justru ketika dia memilih berbeda.
Kalau aku sih, menghindari generalisasi. Karenanya, aku menaruh hormat pada Eki (yang meski ada di tengah mereka saat itu dan mengalami pergolakan batin), namun akhirnya berani mengambil mempertahankan idealisme, bukan sekadar idealisme.
Itu, menurutku layak untuk dicatat, bukan dengan judul "aktivis", melainkan SANG AKTIVIS.
Post a Comment