Sunday, April 29, 2007

dunia igo

Matahari tertutup mendung. Angin bertiup sangat kencang hingga tangkai dan dedaunan akasia di tepi lapangan sepak bola saling bergesek dan berdesir. Jakarta lagi ramah hari itu.

“GOOL…!”

Salah seorang anak di lapangan melonjak gembira. Tubuhnya melenting-lenting. Tapi ia segera tersadar. Tak ada yang istimewa. Permainan telah usai, mereka hanya saling berebut dan menendang bola ke satu gawang yang dijaga tiga orang.

Sudah sepuluh menit saya duduk di tepi lapangan. Bukan karena permainan bola itu, melainkan karena Igo. Bocah gundul ini saya dapati mengais plastik di tepian gang Daksinapati Barat (Rawa Mangun). Saya menyangka bocah itu pengais sampah cum pengemis amatiran yang belum pandai membuat orang iba. Sebagai pengemis, kaos dan celana kuningnya terlampau bersih.

“Mau permen?”

Ia tersenyum lebar, dan menggeleng.

“Minum?”

“Nggak.”

“Es?”

Mendengar kata ‘es’, matanya menyala, ia segera bangkit dan menarik tangan saya ke warung seberang jalan, “Iya, Om! Es, Om! Es, Om! Asiiiik!”

“Di sini!,” tangan mungilnya menunjuk ice box di muka warung, lalu mengambil fruit tang. Sebelum Saya sempat menarik dompet, bocah itu telah merogoh uang seribuan dari kantong celananya dan menamparkannya ke atas ice box. Tapp..! Saya bengong. Siapa menraktir siapa?

Kami kembali ke tepi lapangan.

“Umurmu berapa?”

“Lima taon.”

Refleks, saya menarik kertas catatan dari tas. Umur lima tahun, kelayapan mengais sampah di Jakarta. Apa yang dipikirkan orang tuanya?

Belum sempat saya menulis, Igo berteriak girang, “Om! Nggambar kodok, Om!” Kedua tangannya bertepuk, “Ama mobil ya? Dua,” jari kelingking, jari manis, dan jari telunjuk Igo terangkat.

“Dua apa tiga?”

“Pokoknya segini,” tiga jari kecil itu kembali mengacung. Kini kami membelakangi lapangan, menghadap jalan Daksinapati yang sepi. Dua tiga mobil lewat. Igo menunjuk salah satunya sebagai model gambar.

Igo mengamati garis yang saya buat. Tubuh kecilnya menempel erat di pinggang saya, “kok mobilnya moncongnya gitu?”

“Iyeee,…” belum sempat saya membela diri, Igo kembali protes.

“Kok nggak ada jalannya?”

Celoteh-celoteh berawalan ‘kok’ menerpa tiap goresan yang saya buat.

“Ya udah, sekarang kamu yang nggambar!”

“Nggak bisaaaa!” suara Igo meninggi.

“Nggambar kodok?”

“Nggak bisaaaa!”

“Bisanya nggambar apa?”

“Aku bisa nggambar ayam!” ia merebut pen dan kertas catatan dari tangan saya. Tangannya pun menari.

“…dah jadi. Ni kakinya.”

Gambar itu tak jelas. Mirip lukisan abstrak dengan garis-garis tak beraturan. Tampak bahwa fungsi koordinasi otak pelukisnya belum sempurna.

“Om! Cewek, Om!” tangan Igo terayun ke arah seorang wanita berdandan molek yang berjalan dari kanan jalan.

“Suit-suit…!! Cewek!” Igo menyanyikan nada sebuah lagu dangdut untuk menggoda cewek itu. Sang cewek tak peduli. Melihat itu, kuli bangunan yang sedari tadi bekerja dan menatap tajam ke arah kami, menyeringai. Penjual toko pun tersenyum.

Anak itu sangat lucu, dan berkeliaran bebas. Sekilas, saya berpikir, bagaimana bila yang di posisi saya saat itu adalah penculik. Anak selucu Igo, jelas berharga tinggi. Dan menculik anak yang juga sangat polos ini, pasti jauh lebih mudah daripada menangkap kucing liar.

“Rumahmu di mana?”

“Di sono!” tangan Igo mengayun ke arah bangunan yang sedang digarap para kuli.

Seorang tua, tukang sampah, menghentikan gerobak sampahnya dekat kami. Bau amis menyeruak.

“Itu embahku! Mbah..!!” panggil Igo.

Itu adalah kali kedua Igo memanggil tukang sampah berbeda sebagai embahnya. Malu-malu, sang orang tua membalas dengan lambaian. Kulitnya hitam legam, pelipisnya mukanya menonjol dan berkilat.

“Kamu punya Abang?”

“Banyak! Itu Abang-abangku semua.” Igo menunjuk para kuli bangunan.

“Ke tempatmu yo?”

“Ayo…ayo..ayo…!” tangan kiri Igo menarik kantong semen kosong yang tadi digunakannya untuk mengais sampah. Tangan kanannya menarik pergelangan saya. Kami memasuki bangunan yang tengah digarap, melewati para kuli yang akrab menyapa Igo. Di belakang proyek bangunan itu, tersembunyi empat kamar kontrakan.

Ibu Igo, Ida, tengah tiduran sambil mengisi TTS. Melihat saya, ia heran dan mulai bertanya. Tapi itu tak lama. Ia kembali asyik menggeluti TTS di depannya.

“Igo tu, emang sering maen sendirian. Nggak ada temennya sih,” komentar sang ibu. Matanya masih lekat menatap buku TTS di tangannya. Tak ada nada kekhawatiran di sana.

Di situ, saya sadar. Igo bukanlah pengemis. Sementara ayah Igo (seorang mandor bangunan) bekerja dan ibunya asyik mengisi TTS, Igo membantu “sang embah”, bermain sekaligus mengumpulkan sampah di jalanan.

Ketika keluar rumah dan melewati para kuli bangunan itu, mereka menyapa. Saya merasa, jika Igo memiliki “saudara” dan “embah” sebanyak itu, yang mengawasi dari kejauhan, maka ia pun akan berkeliaran bebas, tanpa khawatir akan penculik. Karena ia tahu, ia akan aman di kota yang sangat rawan ini.

***

My report, not for any media, but to follow my own heart, as a free journalist.. I'll do it more often. :D

dewihujan said...
Wahhh, untuk 'melemaskan' otak dari selubung angka ya...
Anonymous said...
great story rif :) aku selalu penasaran ama kehidupan org2 seperti ini :) kayanya fun banget yah jadi igo? hehehe.
turabul-aqdam said...
GIL, annnda benaaaaaaar... hehe..

MEL, it's always fun to be a child. kehidupan orang marjinal emang sangat penuh makna (meski ga penuh materi). contohnya gw,.. XD

ah, masa sih tulisanku bagus.. *senyum-senyum dengan pipi bersemu merah bata. :D
The Bitch said...
*nyari kata2 dari mbak gilang ato mbak amel tentang TULISAN BAGUSNYA omarip*

*berkali2 melototin monitor, tapi ga ada kata2 TULISAN BAGUS dari mbak gilang ato mbak amel*

*bertanya2 knapa omarip bisa ge-er mbak2 itu bilang tulisannya bagus?*

kesimpulan:
GE ER AMAT SI LUW?!
betewe, elu?! bersemu merah bata?!
kurang keren. katanya cuwek? cuwek koq merona?!

HUAHAHUAHUHAHAHAHA!!!

ps: sekarang gwa baru mo bilang... rip, tulisan lo keren bet. dah.
turabul-aqdam said...
PITO, amel bilang "great story.."

nah.. gw kan dah kadung Ge-Er, kupikir yang bagus tu tulisanku (bukan ceritanya)

hehe.. *senyum-senyum dengan pipi bersemu merah darah T_T
Anonymous said...
tulisannya memang bagus kok mas.. :)
turabul-aqdam said...
waaaa.. thanks ya astri...

BTW, blog kamu apa?
Subscribe to: Post Comments (Atom)