tradisi itu pun terulang
Sidang CGI (Consultative Group on Indonesia) kembali digelar untuk yang ke-15 kali. Kali ini, karena digelar dua pekan pasca gempa yang merenggut lebih dari 6.000 jiwa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pemerintah mengusung semangat solidaritas kemanusiaan ke dalam acara itu. Kondisi itu sama seperti tahun lalu ketika CGI bersidang pasca Aceh dihajar tsunami dan gempa melantakkan Nias.
Meski sebelumnya pemerintah sempat mewacanakan pengajuan utang baru untuk mendanai rehabilitasi Jogja, namun dalam sidang tersebut Wapres mencoba mendorong negara anggota CGI mengucurkan hibah untuk membantu pembangunan di kawasan bencana.
Karena itu, sebelum makan siang dimulai dan empat menit tepat sebelum sambutan Wakil Presiden Jusuf Kalla, layar di muka ruangan menyala menampilkan slide berdurasi sekitar 15 menit. Di situ digambarkan suasana pasca musibah gempa, jeritan para korban, puing-puing bangunan, anak-anak menangis, dan para pengungsi di bawah tenda. Lengkap dengan data, pesan, dan harapan, tentunya.
“They need your help...” demikian salah satu pesan muncul, membuat mata seorang pemuda Barat salah satu staff delegasi berkaca-kaca—sementara dua orang Indonesia yang duduk dua meter dari layar saling bercanda dan tertawa-tawa.
Wapres melugaskan keinginan hibah tersebut dalam sambutannya ketika mengharapkan bantuan negara-negara donor membantu pemerintah merehabilitasi kawasan poranda itu.
“Kami mengharapkan kontribusi dan dukungan Anda atas nama kemanusiaan untuk membantu Yogyakarta dan Jawa Tengah,” pintanya di podium.
Dan tak berapa lama setelah itu, suara protes demonstrasi terdengar dari luar menjawab sambutan Wapres, “bubarkan CGI sekarang juga! Ini harus jadi forum CGI terakhir...!”
Mereka adalah massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Melawan CGI. Sebagaimana dalam tradisi sidang CGI, masyarakat anti utang selalu datang mewarnai perhelatan besar ini. Bagi mereka, pemerintah harus mencari alternatif lain menutup kekurangan pembangunan di luar utang.
“Utang tidak pernah gratis. Selalu ada intervensi kebijakan ekonomi di balik itu,” teriak salah satu orator demonstrasi.
Namun di pihak lain, perwakilan pemerintah di dalam sidang bersama para delegasi anggota CGI tenang-tenang saja. Sebagian hanya melongokkan kepala melihat arak-arakan massa di di jalan Sudirman, sambil tersenyum.
“Biasa, Bu. Forkot [Forum Kota]!”tutur seorang petugas pengaman yang dibalas cengiran petugas lainnya.
Para demonstran akhirnya tertahan di bibir gerbang BI. Mereka hanya bisa berorasi dengan pengamanan belasan petugas. Protes dan tuntutan mereka berakhir di hall-hall megah BI sebagai gaung hampa karena Wapres dan Menkeu asyik menikmati makan siang dengan para delegasi CGI.
Seperti biasa, aksi itu pun bubar, sementara pemerintah memutuskan mengambil utang baru. Kali ini, beban utang itu—tak tanggung-tanggung—meningkat sepertiga (US$0,9 miliar) dari utang tahun lalu, yakni dari US$2,8 miliar (2005) menjadi US$3,7 miliar.
Tampaknya, tim ekonomi Boediono menilai tak ada alternatif lain menutup defisit anggaran selain utang, sehingga "memaksa" mereka tetap menerima beban dari CGI tersebut.
Sementara, hibah yang diharapkan datang dari negara-negara donor ternyata jumlahnya tak berubah, yakni US$1,7 miliar. Padahal beberapa hari pasca gempa Yogyakarta, LSM anti utang internasional Jubilee USA Network menggelar aksi meminta negara donor memberi moratorium bagi Indonesia.
Kali ini, tradisi forum CGI terulang untuk kelima belas kalinya dengan utang baru dikucurkan membebani keuangan negara. Pengucuran kembali utang CGI ke-15 itu makin memupuskan harapan bahwa tradisi menjeratkan diri pada utang asing akan terputus.
Tak jelas siapa pihak yang menang di sini. Meski barangkali tak ada pemenang, tapi yang jelas korban itu--menurut saya--tetap ada, yakni masa depan anak-anak saya dan anak-anak sahabat dan tetangga dekat saya... kelak mereka akan hidup di negara yang kering subsidi karena terhisap untuk membayar bunga utang...
Saat negara lain bisa memberi subsidi lebih untuk industrinya, industri negeri ini tertatih-tatih karena pemerintah tak punya keringanan fiskal. Dampak yang paling nyata, anak-anak saya dan anak sahabat saya kelak akan kesulitan mencari kerja... dan hidup di tengah masyarakat yang tak henti-hentinya dibelit persoalan kemanusiaan dunia ketiga; pencurian, perampokan, konflik massa, hingga pembunuhan.***
n.b. Semula, kupikir inilah tulisan yang harus kubikin untuk liputan kali itu. Karena ternyata bukan demikian adanya, maka berakhirlah dia di blog ini, menjadi serpihan renungan untukku, dan bangsaku. Sengaja dia kutulis dengan bahasa bangsaku, semoga mudah terpahami.
2 pendapat:
Korban gempa saja ada yang bisa merasakan sisi positif dari musibah ini, misalnya: yang tadinya terbelit utang dan karena tidak punya harta lagi setelah gempa, akhirnya dibebaskan utangnya setelah ia meou kasih mohon demikian.
Bedanya ya, Indonesia kan luas, tidak hanya Yogya. Yang beri utang mikir gini: You boleh pinjam ini uang, tapi you kasih ladang-ladang minyak dan pertanian you ke negara kami
Wkwkwkwk.
Kita hidup di negara yang begitu kaya, dengan rakyat yang begitu bodoh, dan pemerintah yang begitu lemah.
Di tengah kondisi seperti itu, hampir muskil satria piningit akan muncul.
kalau satria korupsi ya banyaaaaak.
X<
Post a Comment