Ternyata, Pemerintah Beli Saham Vale di Harga Diskon!
Pemerintah secara resmi meneken kesepakatan untuk mengambil 20% saham tambang nikel raksasa Brazil, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melalui induk BUMN Pertambangan Mining Industry Indonesia (MIND ID). Murah atau mahal?
MIND ID resmi menandatangani perjanjian jual-beli saham pada 19 Juni 2020 atas divestasi 20% saham Vale bersama para pemegang saham mayoritas Vale Indonesia lainnya, yakni Vale Canada Limited (VCL) dan Sumitomo Metal Mining Co., Ltd. (SMM).
Ini merupakan akuisisi perusahaan tambang asing kedua yang dijalankan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba, yang diturunkan dalam amandemen Kontrak Karya (KK) tahun 2014 antara Vale Indonesia dan pemerintah Indonesia.
Penandatanganan pada Jumat pekan lalu itu adalah kelanjutan dari Perjanjian Pendahuluan pada 11 Oktober 2019. Dalam penjualan 20% saham ini, VCL akan melepas 14,9% saham dan SMM sebesar 5,1% pada harga Rp 2.780 per unit, atau senilai total Rp 5,52 triliun.
Setelah selesainya transaksi, kepemilikan saham di Vale Indonesia akan berubah menjadi VCL 44,3%, MIND ID 20%, SMM 15%, dan publik 20,7%. Transaksi penjualan ini ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2020.
Amanat UU telah dijalankan, tetapi apakah pemerintah menjadi pemenang atau pecundang dalam jual-beli ini? Tim Riset CNBC Indonesia menelusurinya dengan memperbandingkan harga akuisisi tersebut dengan harga pasar emiten berkode INCO tersebut.
Jika mengacu pada rerata harga saham perseroan dalam 30 hari terakhir, yang berada di angka Rp 3.080 per unit, nilai pembelian di harga Rp 2.780 tersebut terhitung masih lebih murah alias diskon hingga 9,7% atau lebih murah Rp 300 per sahamnya.
Secara akumulatif, nilai diskon tersebut mencapai Rp 590 miliar, karena jika pemerintah memebli saham perseroan di harga Rp 3.080, maka dana MIND ID yang tersedot untuk menuntaskan akuisisi tersebut bakal mencapai Rp 6,11 triliun.
Ini tentu menjadi harga yang menarik bagi pihak Pemerintah, karena bisa mendapatkan aset tambang tersebut pada harga yang lebih rendah. Dengan kata lain, negosiasi yang dilakukan berujung pada harga diskon, menunjukkan posisi tawar pemerintah yang kuat selalu pembeli.
Vale Indonesia juga merupakan perusahaan yang masih menguntungkan, dengan laba bersih senilai US$ 57,4 juta pada tahun lalu, turun 5,14% dibandingkan dengan laba bersih periode sebelumnya US$ 60,51 juta. Pendapatan emiten nikel ini tercatat masih meningkat, senilai US$ 782,01 juta, atau naik 1% dibandingkan dengan pendapatan tahun sebelumnya US$ 776,9 juta.
Aset Direbut Kembali, tapi Optimalkah?
Dalam pernyataan resminya, MIND ID menyatakan akuisisi itu merupakan mandat negara untuk mengelola cadangan mineral strategis dan mendorong hilirisasi industri pertambangan. Dengan memiliki 20% saham Vale Indonesia dan 65% saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), MIND ID memiliki akses terhadap cadangan nikel terbesar dunia.
"Transaksi ini menegaskan kepercayaan perusahaan-perusahaan tambang dunia terhadap MIND ID dan Indonesia secara keseluruhan. Kerjasama MIND ID dan PTVI akan menjadi sinergi yang saling menguntungkan dan saling melengkapi untuk memajukan industri pertambangan," kata Group CEO MIND ID Orias Petrus Moedak, dalam siaran persnya, Sabtu (20/6/2020).
Kebanggaan MIND ID tersebut memang beralasan. Indonesia merupakan pemegang cadangan nikel terbesar dunia, diikuti oleh Australia. Menurut data Statista, cadangan nikel terbesar dunia ada di Indonesia, sebanyak 21 juta metrik ton.
Australia berada di posisi kedua sebesar 20 juta metrik ton, dan menyusul kemudian Brazil yang menjadi negara tempat induk usaha Vale Indonesia beroperasi. Dengan kepemilikan saham Vale Indonesia, maka Indonesia kian menggusur posisi Brazil dalam hal penguasaan cadangan tersebut untuk kemudiaan berkolaborasi lewat perseroan.
Transaksi pembelian saham Vale Indonesia ini merupakan kesuksesan kedua pemerintahan Jokowi, setelah pada 2018, MIND ID mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia, yang selama puluhan tahun dikangkangi Freeport McMorran. Dana yang dikeluarkan untuk memboyong saham PTFI ini cukup besar, yakni US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55 triliun.
Namun sayangnya Freeport Indonesia mengumumkan tidak bakal membagikan dividen hingga 2020 karena EBITDA hingga periode tersebut akan merosot drastis akibat berhentinya produksi dari tambang terbuka Grasberg.
Di luar itu, pemerintah juga telah mengakuisisi sumur migas dengan cadangan besar, yakni blok Rokan dan blok Mahakam. Blok Mahakam diambil Pertamina dari Total pada Januari 2018. Saat itu Pertamina telat masuk ke Blok Mahakam dan tak ada proses transisi, sehingga tak bisa mengejar angka produksi seperti sebelumnya.
KIni, Blok Rokan juga menghadapi tantangan yang sama. Mulai Agustus 2021, blok minyak raksasa Rokan akan diambil alih PT Pertamina (Persero) dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), tetapi Pertamina tidak boleh masuk mengebor. Kedua perusahaan migas ini belum sepakat untuk menjaga produksi di masa transisi perubahan kepemilikan.
“Merebut kembali” aset nasional tentu satu hal yang positif, dan layak diacungi jempol. Namun memastikan bahwa aset yang sudah dimiliki kembali itu bisa dioptimalkan secara bisnis demi kepentingan nasional, tentu adalah pekerjaan besar lain yang harus diselesaikan.
Jangan sampai MIND ID menghadapi problem yang sama seperti Pertamina di kasus Blok Rokan dan Blok Pertamina. Beli mahal-mahal, tetapi manfaatnya tidak seperti yang diekspektasikan.***