Karena kita bukan ikan mati
“Hanya ikan mati yang berenang terseret arus, dan kita bukan ikan mati," demikian komentar seorang kawan, di tengah aksi pecah rekor indeks harga saham gabungan (IHSG) sebulan terakhir.
Pernyataan itu terdengar relevan merespons lonjakan bursa saham Indonesia akibat aksi beli investor asing. Bursa saham Indonesia tahun ini memang mencetak kenaikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bursa saham lain ying tidak naik signifikan pada periode sama.
Pada penutupan pasar kemarin, IHSG menguat 0,62% atau 22,2 poin ke level 3.591,7. Lagi-lagi, itu adalah rekor penutupan tertinggi baru yang makin mendekatkan IHSG ke level psikologi baru 3.600.
Sepanjang tahun berjalan, IHSG naik 41,72% jauh meninggalkan bursa Malaysia, misalnya, yang hanya tumbuh 15,67% atau bursa Singapura yang naik 9,14%. Ya, bursa saham memang naik meninggalkan entitas sejenis di kawasan Asia.
Bagi analis PT Asjaya Indosurya Securities Reza Priyambada, pola kenaikan IHSG tahun ini bisa dibilang anomali, karena tidak diwarnai pelemahan pada tiga kuartal pertama, seperti yang biasa terjadi.
“Tren pelemahan ini terjadi terkait dengan adanya aksi ambil untung yang telah terjadi mulai awal tahun. Akan tetapi, kondisi ini tidak ditemukan pada tahun ini. Bila dihitung, IHSG dari akhir 2009 hingga pertengahan semester 2010 saja telah naik 14,97%,” paparnya.
Jika dilihat per kuartal, IHSG pada kuartal I naik 9,59%, dan selanjutnya menguat lagi pada kuartal II meski laju lebih rendah, yakni 4,91%. Jika dirata-rata, IHSG naik 7,25% per dua kuartal tersebut.
Di tengah momen puasa pada kuartal ketiga, laju kenaikan IHSGjustru makin menguat. Dari Juni 2010 hingga akhir puasa, indeks menguat kembali sebesar 10,89%. Akibatnya, pada kuartal ketiga saja IHSG berhasil menguat 20%.
Dari pola kenaikan indeks tersebut, Reza menilai investor asing tidak menurunkan minat menanam dananya di Indonesia sehingga berujung kenaikan seperti sekarang.
Situasi itu pula yang menjelaskan nilai kapitalisasi pasar di bursa sampai kuartal III ini mencapai Rp2.973,l triliun dengan nilai perdagangan Rp805,8 triliun. Capaian ini nyaris melampauai nilai kapitalisasi pasar per 2012 yang ditargetkan otoritas bursa, Rp3.000 triliun
Indikasi bubble?
Namun, sejalan dengan itu, kekhawatiran terjadinya bubble pun tak terelakkan. Kita belum lupa ketika Kepala Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai terdapat gejala bubble (gelembung) di bursa.
Perry mengatakan berdasarkan metodologi penghitungan apa pun telah menunjukkan bubble pada April. Namun, pelaku pasar acuh dan bursa terus menguat, menunda kekhawatiran tersebut.
Reza menilai sinyal bahaya1 terkait derasnya dana asing baru menyala ketika negara maju lepas dari krisis. “Bila kondisi AS, Eropa, dan kawasan Asia lain mulai 100% pulih, bukan tidak mungkin dana asing akan kembali ditarik dan dibenamkan ke kawasan tersebut.”
Tentu saja tidak semua berpandangan sama. Timothy Wong, Regional Head DBS Vickers/ DBS Group Reasearh, mengatakan dengan proyeksi rasio harga terhadap laba bersih per saham per 2011 sebesar 14% dan return 28%, Wong meyakini IHSG masih relatif murah. “Tentu ini bukan bubble, dan prediksi kami, tahun depan IHSG tembus level 4.135.”
Secara lebih spesifik, menurut Wong, potensi kenaikan indeks inijuga didorong tingginya laba bersih per nilai ekuitas, serta fakta masih murahnya IHSG apabila dikonversikan ke dolar AS. (lihat grafis)
Direktur Utama BEI Ito Warsito sendiri menilai kenaikan indeks dan kapitalisasinya itu dipicu oleh membaiknya sejumlah harga saham dan penambahan emiten baru. Dia menilai kalaupun ada indikasi bubble, hal tersebut masih dapat dikendalikan, a.l. dengan memperbanyak pencatatan saham perdana (initial public offering/ IP0) atau rights issue.
Bicara bubble, ada baiknya mengamati situasi ini dari kacamata kolumnis The Wall Street Joumal, Jason Zweig dalam melihat gelembung pasar obligasi yang tengah terbangun di Amerika Serikat.
Investor AS pernah terjebak dalam bubble yang mereka ciptakan di pasar obligasi ketika menyuntikkan miliaran dolar ke pasar itu pada 1987, tepat sebelum suku bunga melonjak menghajar pasar obligasi.
“Jika ada yang perlu disalahkan atas bubble obligasi, bukan Joe Schmo [investor ritel], tetapi Paman Sam [Pemerintah AS], dengan sedikit dorongan pemodal asing.”
Mengapa pemerintah? Jason memiliki alasan sendiri. Pemerintahlah yang mendukung terbentuknya gelembung itu melalui kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga jangka pendek, sehingga dana murah di pasar berlimpah.
Sesuai dengan logika umum, semuanya akan baik-baik saja jika pemerintah mengimbangi situasi tersebut dengan membuat kebijakan yang memungkinkan dana tidak hanya berputar di pasar modal atau sebaliknya tersedot keluar secara bersamaan karena kejutan negatif.
Ibarat kolam, air yang melimpah tidak hanya membuat ikan-ikan terseret, tetapi juga meresap ke permukaan sekitarnya, menopang humus dan hutan baru. Itu tentu mungkin dilakukan, karena kita bukanlah ikan mati.
2 pendapat:
Post a Comment