Friday, June 04, 2010

Ketika perusahaan RI dipinang bursa asing

Belanda dan Belgia boleh saja masuk di daftar pemilik bursa efek tertua dunia. Tapi untuk urusan ekspansi, Inggris tetap menjadi yang pertama dengan membangun Bombay Stock Echange sebagai bursa efek tertua Asia.

Jika pada 1875 Inggris sukses membangun ‘The Native Share & Stock Brokers' Association’ di India sebagai bursa efek pertama Asia, kemarin negara cikal-bakal sepakbola modern ini kembali menjadi yang pertama di antara self regulatory organization (SRO) Eropa yang memperlebar sayap ke Indonesia.

Upaya tersebut minimal terlihat dari kesediaan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Alan Hatfull menembus kemacetan Jakarta yang menyebalkan pada Senin lalu, demi mengunjungi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dan membuka sesi perdagangan.

Kunjungan Martin itu merupakan bagian dari program delegasi bisnis Inggris ke Indonesia untuk memperkuat hubungan sektor keuangan dua negara. Tidak tanggung-tanggung, Lord of Mayor of the City of London Alderman Nick Anstee ikut hadir dalam acara tersebut.

Beberapa jam kemudian, mereka ‘mengumpulkan’ perusahaan-perusahaan besar nasional dalam sebuah seminar, untuk mempromosikan peluang meraup dana ekstra melalui pencatatan saham ke London Stock Exchange (LSE).

Tatkala hadir di acara tersebut, saya teringat ikhtiar BEI sekira dua tahun lalu yang mendatangi kantong-kantong perusahaan besar di Sumatera. Direktur Utama BEI kala itu, Erry Firmansyah, turun langsung mengajak perusahaan lokal untuk menjadi emiten nasional.

Hanya bedanya, ikhtiar bule-bule tersebut jauh lebih ekstra karena harus terbang ribuan mil dan membawa dua pengelola pasar utamanya, yakni Alternative Investment Markets (AIM) dan Main Market. Tujuannya satu, yakni menjaring calon emiten potensial dari Indonesia.

Ya, anda tidak salah dengar. Mereka tengah membidik perusahaan-perusahaan Indonesia untuk diboyong ke papan bursa London. Target utamanya adalah perusahaan pertambangan, infrastruktur, dan telekomunikasi.

Mengapa perusahaan tambang? Jawabannya jelas terkait dengan posisi mereka sebagai sektor primadona di Indonesia, yang di bursa saham Indonesia saja mengontribusi sekitar 50%-60% pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) tiap harinya.

“Seperti perusahaan Asia lain, potensi perusahaan Indonesia menjadi emiten berskala global sangat besar. Saat ini, ada 134 perusahaan Asia yang tercatat di bursa London. Hanya ada 5 peusahaan Indonesia di sana,“ papar Direktur Depository Receipt Services Asia Pacific Citibank N.A. Valentina Chuang, pada Senin.

Kelima perusahaan tersebut adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, dan empat perusahaan tambang yakni Avocet Mining Plc, Archipelago Resource Plc, Kalimantan Gold Corporation ltd, dan Churchill Mining Plc.

Dana besar
Konsultan PT Grant Thornton Restructuring Wiljadi Tan menambahkan perusahaan infrastruktur juga selayaknya mencoba mencatatkan sahamnya ke bursa London, mengingat mereka memiliki kebutuhan pendanaan besar.

“Saya pernah diminta mencarikan kebutuhan pendanaan salah satu perusahaan infrastruktur senilai US$500 juta. Itu angka yang sangat besar dan sulit dipenuhi di pasar lokal. Langkah mencatatkan saham di bursa London bisa menjadi salah satu solusi,” tuturnya.

Di London, lanjutnya, terdapat banyak investor institusi Eropa yang memburu perusahaan berbasis pertambangan dan infrastruktur, karena struktur dan profil bisnisnya memenuhi horizon investasi mereka, yakni jangka panjang.

Matthew Gorman, auditor Stephenson Harwood, menambahkan selama kinerja keuangan perseroan kuat, dengan ditopang perilaku transparansi dan tata kelola yang baik (GCG), calon emiten bursa London hampir pasti akan diminati pemodal institusi di sana.

“Ditambah dengan saham beredar yang cukup, saham perseroan akan likuid di pasar London. Anda mungkin akan butuh menunjuk tim investor relation yang kuat untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka,” ujarnya.

Soal pendanaan dan GCG menjadi menarik karena mayoritas perusahaan tambang Indonesia saat ini berlomba-lomba menggali dana. Simak saja PT Bumi Resources Tbk yang berencana melepas 10% saham baru melalui mekanisme nonpreemptive rights, setelah meraih utang US$1,9 miliar dari CIC.

Demikian juga PT Adaro Energy yang baru saja melepas obligasi US$800 juta pada pengujung tahun lalu. “Langkah mencatatkan saham ke bursa asing akan memperkuat ekuitas mereka, sehingga rasio utang terhadap ekuitas kembali sehjat,” ujar Wiljadi.

Lalu bagaimana dengan biaya pendanaan (cost of fund)? Bukankah Deputi Meneg BUMN bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi Roes Aryawijaya pernah merekomendasikan Telkom cabut dari bursa luar negeri karena kendala biaya yang besar?

Associate Director Grant Thornton UK LLP Maureen Tai mengingatkan persoalan dana besar tersebut dipicu ketentuan Sarbanes Oxley Act (SOX) yang berlaku di AS, bukan London. Bisnis mencatat biaya audit yang bersifat wajib tersebut mencapai Rp100 miliar.

“Di London, persyaratan pencatatan lebih mudah dibandingkan beberapa bursa utama dunia lainnya. Biaya pencatatan berkisar 500.000 poundsterling (sekitar Rp6,5 miliar) per tahun, lebih murah dari bursa Hongkong, AS, dan Canada,” ujarnya.

Terkait dengan risiko konflik kepentingan investor asing terhadap gerak-langkah dan aksi korporasi emiten Indonesia jika sahamnya sudah dipegang melalui mekanisme pasar, Robin Stevens, akuntan Horwath Clark Whitehill, menilai selama pemegang saham pengendali mengunci 60% saham, maka keputusan final tetap di tangan mereka.

Namun demikian, sebelum meminati mencatatkan saham di London, ada baiknya pengusaha nasional menyimak ‘curhat’ Menteri Keuangan Agus Martowardojo seputar krisis Eropa yang berkonsekuensi pada mengetatnya kondisi interbank Eropa..

“Kalau perusahaan atau negara ingin menghimpun dana internasional, pemilik modal akan meminta return lebih tinggi. Itu sesuatu logis yang harus diantisipasi,” tuturnya kepada pers, usai Rapat Paripurna di Gedung MPR/DPR, kemarin.

Kondisi yang berimplikasi pada persepsi risiko para investor tersebut otomatis akan menjadi salah satu tantangan perusahaan Indonesia yang hendak melepas saham perdana (inital public offering/ IPO) ke London, ketika mereka hendak membentuk harga premium.

Jadi, siapkah perusahaan kita mengembangkan sayap menjadi emiten berskala global dengan masuk bursa London? Kita lihat saja apakah mereka siap memperkuat transparansi dan, yang terpenting, menaklukkan investor Eropa yang makin 'manja' karena resesi.***

Subscribe to: Post Comments (Atom)